BEBERAPA tahun terakhir di Bali banyak berdiri lembaga pendidikan Agama Hindu yang sering disebut Pasraman, yaitu lembaga pendidikan khusus bidang Agama Hindu yang mengajarkan berbagai pengetahuan yang berlandaskan pada disiplin spritual dan nilai-nilai keyakinan Agama Hindu.
Agama Hindu adalah keyakinan hidup yang bersumber dari pengetahuan suci Weda. Penerapannya dalam kehidupan tidak bisa lepas dari keyakinan sekala (kebendaan/ material/nyata) dan niskala (spirit/maya/ keyakinan).
Unsur sekala dan niskala bukanlah sesuatu yang “mistis” tetapi sesuatu yang bisa dijelaskan. Misalnya ketika kita kepanasan, kita menghidupan kipas angin, kipas pun berputar menghembuskan angin yang menyejukkan. Angin tentu tidak terlihat oleh mata, tetapi dampak dari adanya hebusan angin, membuat tubuh kita tidak kepanasan.
Semua orang meyakini hebusan angin bisa menyejukan, tetapi orang tidak bisa melihat angin. Jadi rasa “sejuk” yang disebabkan oleh hebusan angin adalah sesuatu yang nyata (sekala), tetapi angin tidak terlihat oleh mata (niskala).
Dalam kehidupan orang tentu tidak harus bisa melihat angin terlebih dahulu agar percaya dengan fungsi kipas angin, tetapi cukup merasakan bahwa dengan menghidupkan kipas angin niscaya angin akan berhembus sehingga bisa menyejukkan tubuh kita. Dari contoh tersebut, maka keyakinan sekala dan niskala pun sedang terjadi pada diri seseorang.
Dalam Agama Hindu pun sudah dijelaskan bahwa dalam menimba pengetahuan bisa kita diraih dari tiga cara yang disebut “Tri Pramana” yaitu : Agama Pramana (buku/kitab suci), Anumana Pramana (dengan merasakan, dalam hal ini dengan panca indra kita) dan Parktiasa Pramana yaitu dengan mempraktekkan langsung.
Di Bali penerapan Tri Pramana tersebut sangat nyata dalam kehidupan budaya masyarakat di Bali yaitu apa yang kita lihat dalam praktek kehidupan di Desa Pakraman (Desa Adat) yang berlandaskan pada ajaran Agama Hindu yang dimaksudkan untuk menerapkan semua unsur kehidupan manusia secara makro dan mikro tentang pengetahuan hukum penciptaan (Utpeti), pemeliharaan (Stiti) dan penyucian (Pralina) yang kita kenal dengan ajaran Tri Murti.
Tri Murti oleh masyarakat Hindu di Bali diterjemahkan dalam segala lini kehidupan baik dalam diri pribadi (Pawongan), wilayah (Palemahan), dan nilai-nilai keyakinan (Parahyangan) yang ketiganya berjalan dan dijalankan secara bersamaan dan wajib selalu dijaga keharmonisannya atau keseimbangannya dalam setiap aktifitas kehidupan.
Pawongan diterjemahkan dalam tatanan pengetahuan pawetonan/otonan, Palemahan diterjemahkan dalam kesadaran tatanan wewarigan (sifat-sfiat alam) dan Parahyangan diterjemahkan dalam pengetahuan Rerainan (Hari Suci/Berketuhanan). Dalam kehidupan budaya Bali hubungan-hubungan harmonis ketiganya melandasi pemahaman terhadap falsafah “Tri Hita Karana”yaitu: hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan atau Sang Pencipta.
Dalam kehidupan budaya Bali falsafat Tri Hita Karana jelas merupakan hasil cipta, karsa dan karya manusia yang berlandaskan pada ajaran Agama Hindu (Gama Bali). Artinya kesadaran, pengetahuan dan keyakinan diri manusia (Pawongan/Jati diri orang Bali) adalah sesuatu yang paling berpengaruh dan dominan dalam proses pembelajarannya.
Oleh karenanya sangat berhubungan dengan kesadaran dan pemahaman orang Bali dalam proses pencapaian atau proses pendidikannya, dimana ada beberapa tahapan yang harus dijalani selama usia hidupnya dimana hal tersebut dalam Agama Hindu dikenal dengan istilah “Catur Asrama” yang terdiri; Brahmacari, Grehasta, Bhiksuka dan Wanaprastha.
Catur Asrama harus dilalui melalui proses pendidikan dan pembelajaran yang secara lengkap oleh para suci atau leluhur kita terdahulu diterjemahkan ke dalam konsepsi dan tatanan Desa Adat atau Desa Pakraman yang di Bali diterapkan sejak pemerintahan Raja Bali Dharma Udayana Warmadewa pada abad XI tahun saka 910-933 atau tahun 998-1011 masehi melalui proses panjang yang kita kenal dengan peristiwa Samuan Tiga.
Peristiwa Samuan Tiga terwujud atas masukan para wiku/bagawanta yang menguasai ilmu keagamaan, pemerintahan dan kemasyarakatan yang kita kenal dengan tokoh Paca Tirta yang terdiri dari Mpu Semeru, Mpu Gana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bradah.
Jadi berangkat dari jejak sejarah dan tatanan dasar kehidupan orang Bali yang ditanamkan oleh Sida Angga Siwa (peletak tatanan budaya Bali) maka keberadaan Pasraman yang bernafaskan Agama Hindu di Bali tidak bisa lepas dan hendaknya tetap dilakukan di wilayah Desa Pakraman atau Desa Adat masing-masing. Dan tatanan/konsep tersebut terbukti cocok dengan kondisi alam Bali, sebuah pulau kecil di tengah gugusan pulau-pulau Nusa Antara (Nusantara) dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Terbukti Desa Pakraman bertahan hampir berabad-abad hingga kini.
Penerapan Catur Asrama di Wilayah Desa Pakaraman
Catur Asrama dalam kehidupan pribadi bisa dijabarkan yaitu; masa Brahmacari (menuntu ilmu), Grehasta (masa berumah tangga), Bhiksuka (masa pematangan) dan Wanaprastha (masa pelepasan keterikatan). Masa-masa menjalani Catur Asrama ini pun bisa dibedakan berdasarkan usia misalnya 0-30 tahun masa Brahmacari, 30-60 tahun Masa Grahasta dan 60-70 tahun Masa Bhiksuka dan lebih dari 70 tahun masa Wanaprasta.
Dalam kehidupan di Desa Pakraman penerapan Catur Asrama pun bisa kita lihat yaitu; Masa Brahmacari yaitu Seka Truna-Truni, Masa Grehasta (Krama Pengayah), Masa Bhiksuka (Tetua, Pemangku dan Penghulu Desa), dan Masa Bhiksuka adalah warga desa yang sudah pensiun dari kerja-kerja adat atau bekerja mencari sumber penghidupan.
Dilema Desa Pakraman Kekinian
Saat ini di tengah perkembangan jaman, dimana banyak warga Desa Pakraman harus tinggal jauh dari kampung halamannya untuk bersekolah, bekerja atau berdomisili sehingga tidak bisa pulang melaksanakan kewajibannya secara optimal. Kondisi itu hampir terjadi di semua wilayah Desa Pakraman di Bali saat ini.
Namun melalui kesepakatan kondisi itu tetap bisa dikelola secara pantas melalui keputusan Desa Pakraman secara adil dan bijaksana. Harus adil karena berdasarkan tatanan budaya Umat Hindu di Bali, Desa Pakraman adalah wilayah tempat berlakunya petunjuk kerohanian atau spiritual berlandaskan pada ajaran Agama Hindu. Namun harus diakui karena tuntutan “modernitas” kini banyak warga Desa Pakraman yang tidak paham, tidak yakin dan tidak tahu lagi intisari tatanan yang ada di wilayah Desa Pakraman yang dalam penerapannya apa yang disebut dengan hukum adat di Bali.
Petunjuk Kerohanian
Desa berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Dis” yang berarti petunjuk kerohanian. Petunjuk-petunjuk kerohanian yang ada diwilayah desa di bali dirangkum menjadi sebuah buku petunjuk keagamaan yaitu “Upadesa” yang pada tahun 1958 saat awal-awal pendirian PHDI, oleh I.B Mantra, IB. Doster dan kawan-kawan dijadikan panduan mengajar agama hindu di sekolah-sekolah.
Walau bukunya baru disusun tahun 1958 tetapi kandungan di dalamnya sudah ada sejak waktu yang sangat lama. Sama seperti “Pancasila” walau di tetapkan sebagai dasar negara Indonesia (NKRI) pada tahun 1945 tetapi makna di dalamnya terkandung tatanan sosial dan budaya yang sudah lama ada di nusantara. Jadi “Upadesa’ berarti petunjuk-petunjuk rohani. “Hita Upadesa” artinya petunjuk untuk mendapatkan kebahagian rohani.
Sedangkan Pakraman berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Grama” atau dalam bahasa Inggris disebut village. Kata village inilah diartikan “desa” dalam bahasa Indonesia. Dalam praktek bahasa Indonesia memang banyak ada gramatikal dan/atau proses gramatisasi (pergeseran makna bahasa sesuai konteks).
Jadi “Desa” berarti petunjuk-petunjuk kerohanian yang berlaku dalam satu Grama atau Desa. Kata “Grama” lama-lama menjadi “Krama”, yang berarti suatu tempat atau wilayah dimana petunjuk kerohanian berlaku atau diberlakukan. Singkat kata “Desa Pakraman” adalah suatu penguyuban hidup dalam suatu wilayah tertentu dimana kehidupan bersama itu diatur oleh suatu batasan-batasan berdasarkan ajaran agama yang selaras dengan pengetahuan alam (Weda) sehingga berdampak membangun Human Spirit, yang di Bali kita kenal dengan istilah Tri Hita Karana. Sebutan Desa Adat yang ada di Bali dewasa ini sesungguhnya adalah Desa Pakraman seperti maksud di atas.
Belakangan marak muncul gagasan untuk membangun Pasraman, untuk itu sebaiknya pola, kurikulum dan tempat yang digunakan untuk belajar agama harus terus diarahkan dan dilakukan di wilayah Desa Pakraman (desa adat). Kalaupun ada anggapan hal itu sulit dilakukan saat ini di beberapa Desa Pakraman janganlah hal itu menjadi kendala, bagaimana pun Desa Pakraman adalah benteng budaya Bali yang sudah teruji berabad-abad. Seperti pepatah sesenggakan Bali (perumpamaan) menyebutkan, “Sing dadi ngambulin kamen uwek”.
Selanjutanya petunjuk-petunjuk kerohanian yang ada di wilayah Desa Pakraman (Gama Bali yang berlandaskan ajaran Agama Hindu) secara budaya diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk upacara suci (Yadnya) yang secara umum digolongkan menjadi lima yadnya utama (Panca Yadnya) yaitu : Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya dan Bhuta Yadnya.
Oleh masyarakat Bali Hindu penerapannya dijalankan secara bersamaan (simultan) ke dalam tiga hubungan wilayah yaitu; Parahyangan, Palemahan dan Pawongan (Tri Hita Karana) yang kalau kita kupas lebih dalam akan terkandung hukum-hukum kebenaran (suci) yang secara mendasar terdiri dari hukum Penciptaan (Utpati), Pemeliharaan (Sthiti) dan Penyucian (Pralina ) yang mengandung makna Tuhan sebagai penguasa alam semesta bermanifestasi menjadi Tri Murti yang dipuja disetiap Pura Kahyangan Tiga di Desa Pakaraman.
Sekali lagi tidak salah jika “Desa Pakraman” di Bali sesungguhnya adalah “Pasraman” yaitu tempat kita belajar agama Hindu di Bali yang telah eksis berabad-abad. Jika kita bermaksud membuat pasraman semestinya tidak harus membuat pasraman yang baru, tetapi kembali memberdayakan desa pakraman tempat asal kita masing-masing. Suksma. (T).