SEBAGAI orang yang merasa mengenalnya sejak tahun 1990-an ketika sama-sama belajar menulis puisi, apalagi kemudian pernah sama-sama menjadi orang Bali Post, saya tidaklah terlalu kaget membaca pesan I Gusti Putu Artha di akun facebook tentang keputusannya masuk partai politik. Dalam akun yang menerakan nama Igusti Putu Artha itu, setidaknya ia menulis dua pesan penting, Jumat 2 Juni 2017, terkait keputusannya itu, yang kemudian dimuat di salah satu media massa di Bali.
Pertama ia menulis tentang keputusannya untuk memulai “Hidup Baru”:
Saya ingin mendayagunakan potensi, kompetensi dan kapabilitas saya lebih maksimal. Oleh karena itu, saya mohon doa restu akan memulai “hidup baru” sekaligus merespons tantangan dinamika politik yang belakangan ini demikian kencang. Dan saya ternyata tak cukup hanya berteriak di luar lapangan.
Baru saja saya diterima oleh Sekjen, Ketua OKK, Ketua Badan Hukum, dan 2 ketua DPW. Saya ditunjuk dan ditugaskan sebagai Ketua Komisi Saksi Nasional DPP Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebuah badan otonom yang mempersiapkan infrastruktur saksi secara nasional.
Saya mengenal secara lebih intens IGP Artha (begitu pernah namanya dipopulerkan) ketika ia menjadi pimpinan organisasi mahasiswa tertinggi di Unud. Saat itu, sembari kuliah, saya belajar menjadi wartawan di sebuah tabloid kecil di Jalan Hayam Wuruk Denpasar pimpinan Putu Wirata Dwikora (kini dikenal sebagai Ketua BCW). Di tempat magang itulah saya kerap mendapat cerita tentang Artha dari teman sesama magang yang memang kebanyakan dari aktivis Unud.
Dari Umbu Landu Paranggi (pengasuh ruang sastra di Bali Post) kemudian saya tahu, Artha ternyata juga menulis puisi sejak dari tempat duduknya di bangku SMAN 1 Singaraja dengan nama samaran Karisma Parthama. Saya kaget juga, karena puisi karya Karisma Parthama memang cukup sering saya baca saat masih SMA di Tabanan. Dari Umbu pula saya tahu bahwa Artha kemudian memutuskan berhenti menulis puisi
Alasan Artha, sebagaimana dikatakan Umbu, ia meninggalkan puisi karena ingin fokus menjadi intelektual. Saya bersama sejumlah teman penulis puisi agak aneh juga mendengarnya saat itu. Ada yang nyeletuk, “Apakah penyair bukan intelektual?!”
Namun beberapa tahun kemudian (bahkan hingga kini) saya paham, intelektual yang dimaksud Artha adalah seseorang yang bergerak, mengatur formasi, dan menyerang, tentu masih tetap dengan alat utama literasi sebagaimana penyair, untuk mengejar sekaligus menyebarkan kebenaran. Dengan kata-kata yang mengandung berbagai adonan lain semacam narasi, premis, dan argumentasi, diucapkan secara agresif, meski kadang dengan bumbu agak berlebihan, untuk mempengaruhi orang dan lingkungannya agar “berubah” menjadi lebih baik.
Dari sudut seperti itu, tentu beda dengan penyair yang lebih kerap bergerak dengan gaya introvert sekaligus terkesan ekslusif. Artha bergerak dengan gaya ekstrovert sekaligus terkesan inklusif. Dengan gaya semacam itu, Artha memang mewakili salah satu gaya gaul Bali Utara yang kadang penting untuk “bergerak dulu, berpikir kemudian”
Ketika dipercaya mengelola Tabloid Wiyata Mandala milik Bali Post, tampaklah ia mulai menyusui cita-citanya. Ia dengan mudah mengajak sejumlah teman-temannya aktivis pers kampus di Unud untuk bergabung. Dan jadilah tabloid bagi pelajar itu sebagai salah satu media yang pada pertengahan tahun 1990-an sempat memberi pengaruh besar terhadap perkembangan literasi di sekolah-sekolah di Bali.
Dari tabloid pelajar, ia kemudian meloncat ke Denpasar Post (masih punya Bali Post). Di awal berdirinya pada awal-awal masa reformasi, Denpasar Post (belum disingkat jadi Denpost) sangat tampak diniatkan sebagai media khusus politik. Dari tampilan awal dan isi tulisan-tulisannya, media itu memang sangat kentara punya aroma politis. Mungkin sebab aroma itulah Artha mau meloncat ke situ. Dari situ, jalan menuju gelanggang politik, sesungguhnya sudah ia rintis dengan sadar atau tanpa sadar.
Kita tahu, Denpasar Post kemudian dipermin branding-nya menjadi Denpost dan diotak-atik kembali jadi media umum. Beberapa tahun kemudian Artha keluar, lalu masuk ke jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali. Dari KPU Bali meloncat ke KPU Pusat. Pensiun dari KPU ia mengukuhkan diri sebagai konsultan politik profesional. Dari situlah ia kemudian menebarkan literasi politik lewat berbagai media, termasuk media sosial, termasuk rajin jadi narasumber di TV, terutama ketika ia menjadi salah satu anggota tim Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta.
Lalu, ia mengumumkan diri untuk masuk parpol. Lebih tepat ia masuk Partai Nasdem. Bukan konsultan politik namanya jika ia tak tahu apa yang akan dipertanyakan warga kepadanya tentang keputusannya itu. Maka ia menulis di akun facebook-nya tentang alasan-alasannya masuk Nasdem.
Saya kutip beberapa kalimat dalam akun Igusti Putu Artha yang ditulis sekitar Juni 2017:
Karena itu kepada petinggi Nasdem saya katakan, saya tidak berambisi dan tertarik jadi anggota DPR RI. Jika pun saya diperintah karena penugasan partai saya siap. Namun jangan di Bali. Saya memilih di Sulteng agar bisa melayani warga Sulteng yang kebetulan sebagian besar transmigran Bali juga. Selebihnya saya ingin profesional sebagai pekerja partai. Keliling Indonesia menyebarkan virus kebaikan politik. Saya ingin memastikan paradigma baru politik bersih, politik berkeadaban dan melayani.
Lalu, Rabu 3 Januari 2018, ia kembali menulis alasan dan mempertegas tulisan-tulisan sebelumnya.
Saya kutip tiga paragraf terakhir:
Itu sebabnya, saya ingin menjadi bagian dari “tentara politik” yang akan siap bertempur di Pemilu 2024. Dan saya harus terjun ke panggung politik. Agenda politik saya adalah memastikan partai yang setia luar dalam dengan empat konsensus dasar menguasai parlemen. Agenda saya adalah memastikan NasDem menjadi pemenang pertama atau sekurang2nya rangking dua pada Pemilu 2024. Jika ini terjadi dan bergandengan tangan dengan PDI Perjuangan serta partai sehaluan maka tugas politik saya tuntas setidaknya hingga 2034. Kelak, biarlah generasi pelanjut yang meneruskan menjadi garda depan empat konsensus dasar.
Atas dasar itulah sy masuk NasDem. Saya memilih partai ini melalui pengamatan lima tahun masuk keluar DPP partai di Jkt. Sy sampai pada satu kesimpulan partai semua baik namun NasDem yang sejauh sangat tegas komitmen atas empat konsensus dasar dan niat besar menjadi partai bersih.
Untuk menjaga kebersihan motif politik saya itu, saya telah meminta kepada partai saya untuk tidak mencalonkan saya sebagai apapun dalam jabatan-jabatan di legislatif dan eksekutif. Saya ingin fokus keliling Indonesia membentuk kader2 partai, petarung-petarung ideologis yang siap menjadi garda depan menjaga empat konsensus dasar (selebihnya saya masih bisa mencari sesuap nasi sebagai konsultan politik dengan profesionalisme yang saya miliki selama ini).
Dari sejumlah alasan yang ditulis pada Juni 2017 dan awal tahun 2018 ini, saya memperhatikan satu hal: bahwa teman saya itu (setidaknya sebagaimana ia tulis) tak punya ambisi kekuasaan. Ini tentu agak aneh, karena selama ini sangat kentara banyak orang biasa, orang-orang professional, atau orang-orang kaya, berbondong masuk parpol semata-mata karena ingin menjadi angota Dewan, lalu meloncat jadi kepala daerah.
Dengan politik, orang yang biasa-biasa saja ingin jadi penguasa dan kaya. Dengan politik orang yang sudah kaya ingin berkuasa agar bisa mengamankan kekayaannya. Orang-orang profesional ingin mendapatkan lebih banyak dari apa yang diperoleh dari kerja profesionalnya.
Untuk hal ini, Soegeng Sarjadi (1942-2014), seorang pengusaha yang punya perhatian besar terhadap tata laksana Negara, kepemimpinan, dan politik, pernah menulis:
Praktik politik di republik ini hanya bersandar pada perebutan kekuasaan. Di sini berlaku diktum ”menang mukti kalah mati”. Perjuangan untuk menjadi pimpinan partai tidak lebih dari sekadar hasrat ingin berkuasa dan kaya. Mukti bukan mereka artikan sebagai pengabdian tulus untuk memanggul konstitusi dan bekerja keras demi rakyat, seperti yang dilakukan para bapak bangsa, melainkan sekadar mulya (hidup enak): naik mobil mewah, rumah bagus, tabungan besar, baju bermerek, makan enak, dan dihormati.
Praktik politik sebagaimana ditulis Soegeng Sarjadi sepertinya masih ajeg hingga kini. Selama saya menjadi wartawan di Bali saya menemukan sejumlah pembuktian bahwa banyak orang biasa-biasa saja (tanpa keahlian apa-apa) masuk parpol dengan merangkak dari bawah, dari jadi pengurus ranting, lalu anak cabang, lalu cabang, lalu sukses, berkuasa dan kaya. Itu diikuti teman-temannya yang lain.
Banyak juga pengusaha kaya tiba-tiba masuk politik. Padahal kekayaannya sudah cukup membuat dia berkuasa. Tapi para orang kaya itu, dengan kekayaaannya “membeli” parpol dan langsung berada di pucuk pimpinan, lalu berkuasa.
Padahal, dengan kekayaannya, mereka sesungguhnya diharapkan menyumbangkan kekayaan untuk membangun lembaga pendidikan, lembaga riset, atau lembaga penelitian, sesuai dengan bidang usaha yang digelutinya. Jika ia pengusaha di bidang pertanian, ia bisa saja membangun lembaga riset soal pertanian untuk menghasilkan SDM dan produk pertanian unggul.
IGP Artha tentu bukan orang kaya-raya. Ia seorang profesional yang punya ambisi membangun pendidikan politik di dalam partai politik, dengan mengibaskan keinginan-keinginan untuk berkuasa. Ambisi luhur semacam itu memang mengundang banyak pertanyaan dan kecurigaan, namun ia punya waktu untuk membuktikannya.
Untuk itu, ia menulis semacam jawaban dari kemungkinan kecurigaan orang-orang:
Orang yang miskin secara finansial seperti saya merasa nyaman ada di Nasdem karena karakter dan komitmen parpol ini yang kuat. Kelak jika saya merasa ada yang bertentangan dengan sikap, komitmen dan karakter yang saya yakini selama ini, percayalah tanpa beban saya akan pergi dan tak pernah masuk parpol lagi. Sekali lagi, karena saya tak berambisi dalam kekuasaan politik apapun. Saya hanya ingin profesional sebagai pekerja politik sesuai kapabiltas dan kompetensi saya selama ini untuk kebaikan bangsa! Terima kasih. (T)