DI bawah tangga itu terdapat ruang kecil yang mungkin saja tak pernah menarik untuk dilihat. Atau mungkin, memang ruangan itu yang tidak menawarkan sesuatu yang sedap untuk disantap mata. Ruang itu dipenuhi dengan debu, jaring laba-laba, tumpukan laci usang, dan benda-benda bekas instalasi Jurusan Pendidikan Seni Rupa. Tempat ini berada di Kampus Bawah Undiksha Singaraja, tepatnya di antara ruangan kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Bali dan ruang kuliah Jurusan Pendidikan Seni Rupa, dekat parkir belakang Kampus Bawah.
Tempat itulah yang menjadi tempat latihan sekaligus tempat pentas monolog yang berjudul “Matahari Terakhir” karya Putu Wijaya dalam rangka Wisata Monolog Teater Kalangan, Selasa 26 Desember 2017. Saya sendiri akan menjadi aktor dalam pementasan itu.
Mementaskan monolog memang suatu hal yang menarik, awalnya ini bukan masalah “menjadi” atau “merasakan” orang lain. Yang tertanam dalam benak saya ketika menerima naskah monolog ini adalah betapa asiknya menggeliat lincah dan berteriak-teriak keras di hadapan penonton. Hal itu pasti memukau. Ternyata, belum banyak hal yang mampu saya serap meskipun sering mendengarkan pembicaraan tentang teater. Baru dalam proses latihan berlangsung, saya merasakan betapa susahnya bermain permainan satu ini, karena harus “menjadi” atau “merasakan” orang yang akan dihukum mati dan tinggal di ruangan sempit dengan teman imajinasi dan matahari.
Di tengah kecemasan memainkan monolog, I Wayan Sumahardika, sebagai sutradara mengingatkan bahwa yang saya lakukan itu adalah salah satu jalan untuk belajar menjadi manusia. Ya, manusia yang lebih baik tentunya. Konteks penyampaiannya adalah ketika dengan diam-diam rasa putus asa menyusup sebab saya tak mampu memahami naskah tersebut. Di ujung kata-kata itu tersimpulkan suatu maksud yang akhirnya disampaikan dengan gamblang, “Kau harus memahami psikologi tokoh dalam naskah, jadi tubuh dan pengucapan teks akan ditentukan oleh pemahaman tersebut”.
Meskipun disampaikan pada pertengahan latihan, sesunggahnya hal ini sudah dilakukan juga di awal, yaitu mendiskusikan naskah yang akan di pentaskan ini. “Apa maksud kalimat pertama?”, “Apa maksud paragraf ke sekian?” “Apa maksud tokoh ini berkata ini?”
Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang menjadi sahabat saya sepanjang proses berlangsung. Meskipun memahami keseluruhan naskah masih menjadi tugas rumah yang paling berat, saya rasa seiring berangsurnya waktu, hal itu akan tercapai walaupun tidak sepenuhnya atau dengan kata lain, memahami dengan cara saya sendiri.
Meskipun dengan pola hidup saya yang datar dan sangat mekanis, memahami psikologi tokoh yang ditinggal kekasih bukanlah suatu tantangan yang berat. Tetapi, tokoh dalam naskah yang satu ini mengalami konflik dalam diri yang lebih dari itu. Pertama, ia ditinggalkan oleh kekasihnya, lalu dipenjara dalam ruangan sempit, dan akan dihukum mati.
Tekanan psikologi yang sangat kompleks ini, membuat saya benar-benar kelimpungan untuk memahaminya. Berbagai referensi sudah dijamah, baik dari bacaan ataupun dari internet khususnya youtube. Tetapi tetap saja memahami tokoh ini menjadi beban yang cukup berat karena ketika sudah di panggung, saya harus membuat penonton paham dan yakin bahwa saya adalah tokoh yang seperti dimaksud.
Pilihan bentuk pementasan ini adalah respon terhadap ruang. Untuk kapasitas pemain baru seperti saya, hal ini juga berat. Dengan ruangan yang sempit dan berbentuk kaku, tubuh saya tak boleh kaku, karena itu akan menjadi tidak sedap dinikmati penonton. Bertambah rumit ketika respon ruang itu dipilih sebagai bentuk pementasan, terlebih penyikapan ini berbeda dari pementasan yang selama ini saya tonton.
Latihan pun dilakukan langsung di tempat pentas dengan harapan saya benar-benar memahami ruang sempit itu. Beberapa kali di ruang ini tubuh saya terbentur dengan dinding, ruangan sempit memang selalu memberi kesempatan besar untuk terjadi benturan. Sutradara mengatakan, “Ruang seperti ini menunjukkan betapa kesadaran tubuh menjadi sangat penting, kau seharusnya tidak terbentur apabila menyadari punya tubuh” tugas rumah terasa semakin berat. Pemahaman terhadap naskah, tokoh, lalu kesadaran terhadap tubuh dan ruang.
Pada beberapa pilihan gerak, saya merasakan kelenturan yang sulit digapai. Gerak yang semestinya dilakukan dengan dinamis justru membuat beberapa otot terasa pegal, bahkan sakit. Ini saya rasakan ketika latihan pertama hingga ke lima, sedangkan pada latihan-latihan selanjutnya tubuh sudah mulai bisa diajak bermain. Secara perlahan-lahan, otot tak pegal atau sakit lagi, benturan pun jarang terjadi.
Orgasme bermain mulai dirasakan. Meskipun pemahaman terhadap naskah secara utuh masih menjadi tugas rumah yang berat, namun betapa nikmatnya sesekali melihat dunia seperti tokoh yang dilahirkan oleh Putu Wijaya. Bayangan-bayangan sering kali muncul dalam adegan. Tokoh ini memiliki bayangan yang tidak terbatas, menurut penafsiran mungkin saja semua itu muncul karena si tokoh merasa kesepian di ruang kecil itu sehingga segala ilusi itu terbangun.
Begitu pula matahari yang menjadi penanda waktu, sangat dibencinya karena matahari adalah salah satu bagian dari dunia tokoh yang dibatasi dinding dan menjadi penanda cepat lambatnya ia akan dihukum mati. Serangga pun dianggap sebagai sahabatnya saking kesepian itu. Di balik kegetiran itu, saya merasakan betapa indahnya naskah yang dibuat oleh Putu Wijaya. Di situ saya merasa menjadi orang lain meski dengan kesadaran yang tidak seutuhnya sama dengan tokoh.
Permainan tetaplah sebuah permainan. Keindahan menjadi hal yang penting karena permainan ini adalah tontonan, maka dari itu, vocal, mimik, gestur, yang semua itu berdasarkan pemahaman terhadap naskah menjadi hal yang sangat prinsipil. Namun proses monolog ini akan tetap berlangsung hingga mencapai orgasme yang paling orgasme. (T)