“Saya pernah benar-benar merasakan menjadi miskin karena sungguh-sungguh saya pernah melakoni pribadi sebagai anak perempuan yang miskin. Ini bukan fiksi tentu saja.”
Beberapa patah kata itu kemudian membuka jalan pikiran saya tentang kesempatan. Bahwasanya saya tak boleh kembali menjadi semenderita hari kemarin dan sesantai hari ini. Beberapa orang dalam acara itu mungkin tengah berpikir hal yang sama. Tentang saya yang perempuan, tentang saya anak Bali.
Masuk ke sebuah tempat lalu diberi ruang untuk bicara potongan cerita hidup kita tentu menjadi hal yang benar-benar diinginkan bagi sebagian besar orang. Hal itu yang mungkin disadari benar oleh Google dan wanita-wanita hebat yang menjadi pembicara dalam event Google Buisness Group Bali bersama Womenwill yang dikemas dalam kegiatan wokshop, Rabu 20 November 2017, kemarin di KE{M}BALI, Jl. Sunset Road, Seminyak, Kuta, Bali.
“Saat wanita sejahtera, semua sejahtera”. Ada yang menarik dari pernyataan yang tertera dalam blog tersebut. Pertanyan saya kenapa harus perempuan, ada apa dengan peremuan? Hal menarik dari sekedar belajar berbisnis dalam kegiatan ini rupa-rupanya adalah untuk merespon wacana kesetaraan gender di masyarakat.
Hal ini tentu bertujuaan untuk menguntungkan semua pihak. Bahwa perempuan juga bisa belajar lebih banyak tahu hal dan berhak memimpin sesuatu. Usaha tersebut tentu dibaregi dengan pelatihan pemanfaatan teknologi atau memaksimalkan penggunaan internet yang lebih baik.
Kesempatan awal ini yang kemudian membuka pikiran saya bahwasannya awal dari segala ketercapaian adalah ketika kita tahu apa yang bisa kita curi dari usaha mau mendengarkan orang lain.
Google Buisness Group Bali bersama Womenwill rupa-rupanya adalah sharing trik mencuri ilmu berbisnis yang cerdas dengan mendengarkan satu sama lain rekan-rekan di sekitarnya.
Faye Alund (Google Business Group Bali), Sonia Piscayanti (Gender Equality Basics), Alexandra Fecillia A. (Business Model Canvas), Ratri Priyanggono (Digital Marketing), Cheryl Marella (Cheryl Marella) adalah perempuan-perempuan yang selama ini selalu belajar mendengarkan orang lain untuk mencuri banyak hal dari apa yang mereka dengarkan atau siapa yang mereka dengarkan.
Dalam workshop Cheryl Marella tentang public speaking, ia mengatakan bahwa adanya kejujuran tentang apa yang harus kita katakana pada pelanggan. Atau pada wokshop yang disampaikan oleh Sonia Piscayanti bahwa kenyataan yang kita hadapi sehari-hari sebenarnya adalah peluang yang menghidupi kita.
Hanya saja mungkin memang itu jawaban kegagalan saya selama ini memandang cara berbisnis itu. Pernah menjalankan bisnis produk kecantikan dan pakaian dan selalu berpikir awal tentang hasil atau keuntungan. Produk jadi dan praktis, itu yang dipasarkan.
Masalahnya kemungkinaan besar adalah tidak kreatifnya kebanyakan dari kita, termasuk saya memandang bisnis adalah barang dagangan yang dipakai atau dimakan saja. Padahal seperti apa yang diungkapkan Cheryl dan dilakukan oleh Sonia, bahwa bisnis itu ada di sekitar kita, bertebaran, memanggil-manggil, dan berhadapan selalu dengan kita.
Jika kemudian saya ditanya apa yang kamu dapat dari workshop tentang bisnis itu, saya banyak ingin menyampaikan jawaban saya. Pertama saya bisa curhat, lalu mendengarkan curhatan orang lain, bercermin dari cerita orang lain dan diri sendiri, dan cara memandang usaha atau bisnis tidak semata kukis bungkus yang dilabeli, atau sekolak parfum yang dibuat parsel.
Saya belajar tentang menjadi perempuan dalam hakekat bukan perempuan Bali lagi. Tapi perempuan dunia. Bahwasannya tidak ada lagi: “Kamu peremuan, kamu tak mendapat warisan. Kamu perempuan kamu akan diambil orang.”
Saya ingin bilang, saya perempuan tidak mikir soal warisan, saya perempuan, saya mau buat banyak warisan. (T)