DI sejumlah sungai di wilayah Karangasem dan Kungkung belakangan terjadi blabar lahar dingin atau banjir lahar dingin alias banjir lahar hujan. Itu tentu berkaitan dengan erupsi Gunung Agung. Tapi di Desa Pacung, Kecamatan Tejakula, Buleleng, ada blabar nasi atau nasi blabar, yang bisa diartikan sebagai banjir nasi.
Banjir nasi itu mungkin mustahil bin mustahal. Apalagi di tengah menurunnya jumlah luasan sawah tiap tahun di Bali, banjir nasi mungkin hanya karang-karangan saja. Namun, warga di Desa Pacung tetap setia berjuang, berupaya, dan berusaha, agar tetap ada banjir nasi di desa mereka. Bukankah hal ini adalah sebuah paradoks besar.
Sawah semakin sedikit, kok ada banjir nasi? Apa iya ada banjir nasi? Alih-alih banjir nasi, mungkin yang kita dapatkan hanyalah banjir kelas mainstream model banjir akibat sampah dan buruknya pemanfaatan gorong-gorong bagi masyarakat. Ataupun banjir model abad 21; banjir HOAX dan berita bohong soal isu SARA.
Bagi masyarakat Desa Pacung, nasi blabar memang benar adanya. Bukan hoax, bukan berita bohong, bukan karang-karangan belaka.
Nasi blabar adalah tradisi makan bersama yang dilaksanakan oleh masyarakat Pacung. Tradisi ini dilaksanakan setahun sekali, tepatya sehari sebelum Nyepi Adat (trdaisi nyepi lokal dan belangsung hanya di wilayah Desa Adat Pacung). Nyepi adat tahun 2017 dilaksanakan Selasa 19 Desember. Dan tradisi nasi blabar dilangsungkan Senin 18 Desember di perempatan Desa Pacung, tepatnya di depan SDN 1 Pacung.
Sebelum proses nasi blabar ini dilakukan, setiap warga diminta untuk membawa sayung (semacam wadah yang terbuat dari daun lontar) yang nantinya digunakan sebagai tempat jukut/gulai ayam yang akan digunakan saat prosesi nasi blabar.
Tradisi nasi blabar ini diikuti oleh semua warga Pacung, baik dewasa maupun anak-anak. Mulai pukul 17;00 WITA warga sudah mulai berkumpul di perempatan desa. Beberapa menit sebelumnya perangkat desa sudah menggelar daun pisang yang panjangnya lebih dari 100 meter lebih.
Setelah semua siap, panitia atau pun perangkat desa setempat mempersilakan masyarakat untuk mencari posisi duduk dengan berhadap-hadapan. Tidak ada soal kasta, warna kulit, miskin, kaya ataupun status sosial lainnya. Warga berbaur menjadi satu dalam prosesi makan bersama nasi blabar ini.
Nama nasi blabar dipakai karena cara menghidangkan nasi serta lauknya yang seperti air bah. Dari hulu ke hilir, persis seperti air bah.
Nasi blabar adalah sebuah perayaan untuk memperingati pengerupukan atau sehari sebelum dilaksanakannya nyepi adat. Berbeda dengan nyepi caka yang dirayakan tiap bulan maret dengan pawai ogoh-ogoh, nyepi adat ini diawali dengan nasi blabar dan ditutup dengan pawai obor.
Di tengah isu agama dan penolakan pembuka agama yang panas di Bali akhir-akhir ini. Terlepas dari benar dan salah. Satu desa melangsungkan penyepian. Menyepi dan berhenti sejenak dari rutinitas-rutinitas mereka.
Mereka merayakan kebersamaan dengan riang gembira, makan bersama. Kebhinekaan tak perlu mewah dan besar. Kita hanya perlu waktu sejenak untuk merenung, dan berpikir sejauh mana makna kebhinekaan itu. Jauh dari itu semua, tetap ingat makan. (T)