PAGI itu Ketut Sukarya seorang pensiunan guru yang kini hidup berhana di daerah Punagayu, Banjar Saren Kaler, Desa Nongan, Kecamatan Rendang, Kabupaten, Karangasem dikunjungi salah seorang juniornya ketika masih aktif berdinas. Sukarya yang kebetulan sedang serius membuat tangkih segehan sangat gembira atas kedatangan kawannya yang disambut dengan penuh kehangatan.
Setelah agak lama bersenda gurau barulah agak terbaca maksud kedatangan sang junior sebab diantara obrolan-obrolan ringan dipaksa dimajung-majungkan obrolan yang lebih serius yakni mengenai prestasinya mendapatkan Satyalencana. Pada saat yang sama Sukarya tampaknya dipukul kemasygulan yang sangat dalam, terisak oleh beban yang benar-benar serius baginya.
Ide-ide banyolan yang biasanya berlimpah-limpah serta mampu membuat lawan bicaranya terpingkal tiba-tiba linyap dari pikirannya. Kali ini Sukarya menunduk sambil berpura-pura serius membuat tangkih segehan padahal pekerjaan itu tidak terlalu mendesak. Melihat gelagat Sukarya yang terlihat tidak lagi berhasrat mendengarkan ceritanya, si junior segera merogoh smartphone dari sakunya. Tentu berharap akan tumbuhnya simpati dari sang senior.
Sesudah agak lama ujung jari telunjuknya yang agak gugup mengores-gores layar smartphone-nya kemudian wajahnya tampak berseri, sepertinya dia menemukan sesuatu yang penting. Dibaliknya layar smartphone-nya untuk ditunjukkan kepada seniornya, di sana terlihat foto dirinya mengenakan setelan putih hitam lengkap dengan peci bercokol di kepalanya, namun fokusnya terletak pada tanda jasa yang tergelantung di dadanya.
“Ini lho Pak sewaktu saya baru menerima Satyalencana dari Presiden,” katanya meyakinkan.
“Wah Bapak tampak gagah sekali. Yah sudah sepatutnya orang yang berjasa kepada Negara mendapatkan ganjaran. Bapak orang yang beruntung bisa mengabdi kepada Negara,” demikian Sukarya memberikan tanggapan sambil dengan terpaksa sedikit tersenyum kaku.
Melihat Sukarya telah kehilangan mood sang tamu kemudian memohon diri. Sukarya mengantar tamunya hingga depan gubuknya sambil meminta untuk datang lagi bila ada waktu serta tidak lupa meohon maaf apabila dalam pebicaraan tadi ada kata-kata yang tidak berkenan. Sang junior yang terlihat agak kesal juga sedikit berbasa-basi dengan berjanji akan datang lagi apabila mendapat kesempatan.
Sukarya bukanlah sosok pendengki atas pencapaian-pencapaian yang diraih orang lain, dia juga tahu persis ajaran atiti deva bhava (tamu adalah dewa), namun kali ini dia gagal mengendalikan diri serta memahami benar jika tamunya tersinggung berat atas sikapnya.
Menyaksikan kejadian itu, aku terbawa kepada suasana beberapa tahun silam. Saat itu Sukarya yang sudah rapih hendak berangkat ke sekolah tiba-tiba mendapat telepon dari seseorang. Selepas menerima telepon tiba-tiba ditanggalkannya pakaian dinasnya dan dipakainya kembali baju tidur yang sebelumnya telah bertengger di jemuran.
Sukarya merebahkan diri di tempat tidur sambil mengenakan selimut tebal di hari yang bukan musim dingin. Benar-benar tidak seperti galibnya, Sukarya menjadi pemalas padahal biasanya dia telah terbangun dari tidurnya pukul 4 subuh untuk menuntaskan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Melihat polah aneh Sukarya, sang istri yang juga berprofesi sebagai guru turut cemas sehingga harus menunda keberangkatannya ke sekolah. Dikhawatirkan sang suami sakit atau mendapat masalah yang serius. Berkali-kali ditanya dengan kelembutan ihwal keengganannya berangkat ke sekolah namun tidak seperti biasanya pula Sukarya tetap bungkam kepada istri yang diikasihinya.
Belakangan Sukarya mengakui bila saat itu dirinya sedang berkontemplasi di balik selimut sehingga tidak membiarkan seorangpun untuk mengganggunya. Dia sedang bercakap-cakap dengan bagian lain dari dirinya selepas menerima telepon dari kepala sekolahnya.
Sang kepala sekolah menyuruhnya untuk menyiapkan persyaratan-persyaratan guna menerima Satyalencana dari Presiden. Pada saat yang sama lidahnya kelu dan bibirnya seakan mengeras tidak tahu harus menjawab iya atau tidak.
Rasa keakuan dalam dirinya mendorongnya untuk segera bergerak membuat usulan Satyalecana disertai munculnya sensasi rasa terhormat sebagai orang yang berjasa kepada Negara, namun pada sisi lain nuraninya melarang keras.
Seperti tergema kembali dalam pangsa bathinnya nasihat Gusti Ngurah Muja, sang guru panutan sewaktu menimba ilmu pada sebuah Sekolah Rakyat di Desa Nongan. Kala itu sang guru berkata bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sungguh sesuatu yang paradoks bagi Sukarya kecil namun kata-kata itulah yang kemudian menuntunnya untuk masuk ke sekolah keguruan. Biarpun gaji guru saat itu kalah dengan gaji kuli tetapi ada semangat lain yang menggerakkan Sukarya untuk menjadi pendidik.
Sesungguhnya bukan kali itu saja Sukarya didaulat untuk menerima Sayalencana, melainkan beberapa tahun sebelumnya pernah pula diterima perintah yang sama namun Sukarya bangkang untuk mengurus kelengkapannya. Dia benar-benar kebacut terjebak dalam perasaan tidak memiliki jasa besar kepada Negara.
Sukarya pernah meringkuk dalam rasa malu yang mendalam tatkala kawan-kawannya bergunjing tentang sang ayah yang dilabeli sebagai anggota gerombolan perampok yang cukup ditakuti pada masanya. Untungnya rasa malu itu sirna ketika seorang tokoh pejuang dari Desa Segah bernama Jero Mangku Nurinten pernah berkisah padanya bahwa sang ayah bukanlah perampok melainkan pejuang yang mendapat tugas untuk merampok rumah-rumah antek-antek Belanda sebagai biaya perjuangan.
Konon gerakan itu dikordinir oleh Gusti Oka Lanang Rai (Pak Kolar), seorang pejuang kharismatis dari Jero Nongan yang juga Bupati Karangasem yang pertama setelah Indonesia merdeka. Sahabat-sahabat ayah Sukarya di Desa Segah juga banyak yang dilegitimasi jasa-jasanya sebagai Veteran Kemerdekaan, namun sayang sang ayah keburu menginggal akibat penyakit tremor kronis (dalam bahasa Bali :buyutan).
Konon pula penyakit buyutan itu timbul akibat siksaan yang diterimanya di Penjara Hindia Belanda ketika kepergok mencuri pada suatu rumah antek Belanda.
Sukarya sempat jengah tatkala jasa-jasa ayahnya tidak diketahui banyak orang namun sebagai orang yang beragama hatinya menjadi teduh ketika membaca buku-buku tentang alam kehidupan sesudah mati.“Bapa pasti dapat tanda jasanya di alam sana”, demikian pikirnya.
Inilah yang kemudian menyembulkan malu berkarat dalam diri Sukarya, sang ayah berjuang bertaruh nyawa tidak pernah dikenal namun dirinya hanya bekerja santai tiba-tiba hendak diganjar penghargaan. Dia teringat pula dengan salah seorang guru di desanya yang diduga dibunuh (meski jasadnya tidak pernah ditemukan) karena dituduh terlibat PKI. Padahal guru tersebut telah berjasa mencerdaskan anak-anak di desanya.
“Jika suatu saat saya berpulang dan seandainya ketemu di alam sana dengan guru itu pasti saya merasa sangat malu kalau sampai menerima Satyalencana itu. Bila ada mati yang kedua, barangkali saya memilih mati yang kedua asalkan tidak berjumpa dengannya”, demikian sergah Sukarya pada suatu kesempatan.
Jalan pikiran Sukarya tidak bermaksud meng-counter attack pandangan Sartre yang memandang eksistensi mendahului esensi. Dia hanya ingin eksistensi dalam bentuk tanda jasa tidak saling kontradiktif dengan esensinya. Manusia benar-benar harus menegakkan etre pour soi (berada bagi dirinya). Artinya kalaupun berpura-pura berjasa dengan menyandang tanda jasa toh tidak akan menemui kepuasan yang paripurna jika tidak benar-benar pernah melakukan jasa.
Menjadi pendidik bagi Sukarya adalah sebuah pekerjaan yang bermula dari hati tulus. Zaman dahulu seorang guru mendahulukan pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan ketimbang kepincut pada ketenaran dan menjadi kasaraswatén karena jiwa sucinya itu.
Sukarya mengenang salah seorang pamannya (dari pihak ibu) bernama Bapa Kales yang setiap malam demikian total mengajar pemuda-pemuda di desanya dalam hal sastra namun tidak pernah menuntut lebih dari murid-muridnya. Kalaupun sang murid ingat membawakan hasil kebun saat panen atau sekadar membantu sang guru mengolah sawah itu semua bukan berasal dari paksaan.
Kini para guru telah mendapat penghasilan yang cukup mapan ditambah lagi dengan uang sertifikasi dan tunjangan lain, itu saja sudah lebih dari cukup menurut Sukarya. Kemapanan bagi seorang guru masih dianggap wajar mengingat laju zaman yang apa-apa serba uang. Meskipun begitu Sukarya menaruh penghormatan setinggi-tingginya kepada pengajar-pengajar sukarela yang ikhlas tidak digaji atau bahkan ada pula yang mendirikan sekolah gratis dengan uang sakunya sendiri.
Kini Sukarya sudah merasa sangat bersahaja di gubuk sederhananya yang tidak memampang piagam Satyalencana atas nama dirinya. Alasannya bukan semata berasal dari kemunafikannya atau bentuk ketidaktaatan kepada regulasi negara namun lebih sebagai wujud penghormatan kepada orang-orang yang pernah berjasa kepada Negara serta tidak pernah dikenang atau bahkan dikenal.
Ya, pengormatan dengan kekosongan kain putih polos yang dikibarkan pada pénjor-pénjor di Bali setiap galungan atau perayaan yang tergolong besar, namun entah kenapa kini mulai diisi rerajahan beraneka rupa. Apakah ini pertanda identitas atau eksistensi mandul itu dipandang lebih utama dari esensi? Entahlah. Yang jelas tanda penghargaan yang tidak karib dengan jasa-jasa yang dilakukan bukanlah sebuah keadaban yang layak diwariskan kepada anak cucu. (T)
Catatan :
- Tangkih segehan : alas sesajen untuk para bhuta (makhluk bawah) yang terbuat dari daun kelapa setengah tua (sélépan)
- Bapa : kata sapaan untu ayah atau orang yang setara dengan ayah.
- Pénjor : tiang bambu lengkung sebagai simbol kejayaan dalam ritual masyarakat Bali.
- Kasaraswatén : diberkati Dewi Saraswati (penguasa ilmu pengetahuan)
- Jero : sebutan untuk tempat tinggal golongan Ksatria di Bali.
- Jengah : sebuah perasaan tidak terima atas kehendak melakukan pembalasan.