KORUPSI merupakan permasalahan laten yang seolah menjadi hal biasa di negeri ini. Sadar ataupun tidak, korupsi telah menjadi budaya dalam kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Seolah perilaku ini telah menjadi bagian dalam hidup yang telah mengakar kuat di dalamnya sehingga terasa begitu sulit untuk mengikis perilku yang telah membudaya ini.
Terlebih lagi pada tata kelola sistem birokrasi dan lembaga lainnya. Berbagai kasus korupsi satu per satu terbongkar. Para koruptor tak hanya berasal dari golongan politisi saja. Beberapa diantaranya juga merupakan seorang pengusaha, petinggi negara, penegak hukum, polisi, pegiat media, bahkan artis. Meskipun mereka tidak berperan langsung sebagai eksekutor korupsi, akan tetapi mereka ikut andil dalam melancarkan aksinya.
Korupsi berasal dari kata corruptio yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, dan menyogok. Korupsi adalah proses penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi (Barley, 2011).
Rasa-rasanya tidak perlu untuk menyebutkan secara langsung siapa saja yang pernah terlibat dalam kasus korupsi dalam ranah profesi yang telah dijabarkan di atas. Masyarakat pun saat ini telah mengetahui secara terang benderang melalui berbagai informasi yang dengan mudahnya di akses di era digital seperti sekarang ini.
Faktor penyebabkan korupsi itu sendiri didasarkan pada pengambilan keputusan yang tidak didasarkan pada rakyat atau anggota suatu instansi tertentu, tidak adanya keterbukaan dalam mengambil keputusan, adanya program kerja yang menggunakan uang rakyat secara berlebihan, lemahnya hukum, adanya niat pelaku dan kesempatan untuk korupsi.
Suatu tindakan korupsi tentunya dipicu oleh perspektif masyarakat tentang manusia. Budaya feodal yang terlalu mengagung-agungkan penguasa pada masa lalu dan memandang sebelah mata rakyat jelata serta kurang menghargai orang kecil adalah salah satu kondisi yang memungkinkan tumbuh suburnya korupsi. Pada masyarakat feodal, martabat seorang penguasa dihargai melebihi martabat rakyat jelata.
Ketika harta menjadi jembatan menuju kekuasaan, orang pun terpacu melakukan apa saja untuk menggapainya, termasuk dengan cara korupsi. Apalagi dalam masyarakat kita telah berkembang ‘budaya baru’ yang menakar martabat seseorang berdasarkan apa yang dimilikinya.
Orang yang berharta dinilai seolah-olah memiliki martabat yang lebih tinggi dari yang lainnya. Mereka diberi tempat terhormat di ruang-ruang pertemuan, bahkan di rumah-rumah ibadat, mereka juga mendapat posisi yang tinggi di partai-partai, asal mereka bisa menyerahkan atau mengumpulkan uang dengan jumlah banyak, terlepas dari bagaimana mereka mendapatkan uang itu.
Demi memperkaya diri sendiri, mereka rela lakukan apapun tanpa berpikir panjang mengenai konsekuensi yang akan dihadapi kedepannya. Padahal, kasus korupsi ini terutama yang dilakukan oleh para petinggi negara tentunya mengakibatkan kerugian yang besar, baik bagi masyarakat ataupun pemerintah itu sendiri. Mereka akan mengalami kesusahan dan tidak disejahterakan. Selain itu pembangunan ekonomi negara juga akan terhambat. Kredibilitas masyarakat terhadap pemerintah akan menurun sehingga disana akan terwujud anarkisme.
Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga. Ketika kenakalan mereka berhasil terungkap, mereka malah menyuap media agar tidak membeberkan yang terjadi. Tanpa disadari, kegiatan suap media yang dilakukan koruptor lama kelamaan malah akan merugikan diri mereka sendiri. Akhirnya ketika mereka benar benar sudah ketahuan, masih saja mereka berusaha membela diri mereka dengan bukti bukti yang “disengaja” untuk menutupi kedok mereka. Sampai harta mereka habis dan martabat mereka akhirnya akan dipandang rendah oleh masyarakat.
Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia ini dapat menjadi renungan bagi semua orang, termasuk para petinggi negara ataupun masyarakat. Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan pembinaan mental seluruh rakyat, menegakan nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Untuk itu kita perlu tokoh yang bisa menjadi model.
Mereka itu adalah aparat pemerintahan, tokoh agama, masyarakat terdidik dan tercerahkan. Mereka harus menampilkan hidup sejati yang ugahari, jujur, dan bertanggung jawab. Mereka harus benar-benar mewujudkan dalam hidup mereka apa yang mereka ketahui baik dan benar dan apa yang mereka imani. Termasuk di dalamnya memberi contoh hidup yang menghargai setiap pribadi lepas dari apa yang dimilikinya, apa yang dipakainya, apa pekerjaannya.
Manusia harus benar-benar dihargai sebagai pribadi yang bermartabat sama sebagai mahluk Tuhan. Bila semua itu telah menjadi bagian kehidupan kita, maka dorongan untuk melakukan tindak korupsi dapat melemah bahkan hilang sama sekali. Dan pada akhirnya impian Indonesia yang makmur dan sejahtera akan menjadi kenyataan. Korupsi bukanlah cara yang tepat untuk memperkaya diri, tetapi niscaya kerja keras dan usahalah yang akan menuntun menuju kesuksesan. (T)
Catatan: Esai ini adalah peserta Lomba Penulisan Esai Festival Anti Korupsi Bali 2017