INDONESIA, negeri yang adiluhung dengan bentangan alam bak zamrud khatulistiwa membentang dari Sabang sampai Merauke. Negara yang dianugerahi keindahan alam yang melimpah, bentangan permadani biru menyeruak dan kilauan emas di setiap jengkal tanah negeri ini. Indonesia, negeri seribu pulau tanah nusantara yang indah nan permai bagai firdaus di khatulistiwa.
Namun potret negeri ini terkoyak, bak bongkahan permata yang belum diasah karena sumber daya manusianya yang belum bisa mengolahnya. Mari kita merenung, ketika seluruh negara didunia berlomba-lomba mendaratkan diri ke luar angkasa dan membangun teknologi milenial raksasa.
Di negeri ini malah sibuk mengurusi masalah perbedaan yang telah di trahkan. Belum lagi, masalah korupsi yang seakan melekat dari bangsa ini. Pemberantasan korupsi laksana oase di padang pasir.
Mafia hukum
Hukum saja
Karna hukum tak mengenal siapa
Korupsi korupsi kata ini lagi
Selalu menghantui negeri yang frustasi
Korupsi korupsi semakin menjadi
Apapun terjadi diatas transaksi
Tertangkap bercinta dihukum penjara
Korupsi berjuta masih berkuasa
Prinsip imprasial tak berlaku lagi
Siapa punya modal takkan masuk bui
Mafia hukum Hukum saja Karna hukum tak mengenal siapa
Mau lawan mereka, hati-hati saja
Karena mereka dijaga buaya
Buaya-buaya piaraan mafia
Mafia-mafia isinya pengusaha
Pengusaha-pengusaha kongsi dengan penguasa
Walau sudah kaya masih kurang juga
Hukum direkayasa hanya buat yang kaya
Yang jadi korbannya, rakyat jelata”.
– Navicula
Penggalan lirik lagu di atas dirasa pantas ketika melihat potret suram negeri kita sekarang. Sesuai dengan data Lembaga Transparency International (TI) tahun 2015, indeks persepsi korupsi Indonesia menempati posisi 88 dari 168 negara dengan skor 36. Di samping itu, berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2015, terdapat 308 kasus dengan 590 orang tersangka. Adapun total potensi kerugian negara dari kasuskasus ini mencapai 1,2 triliun rupiah dan potensi suap sebesar 457,3 miliar rupiah.
Persoalan korupsi terus saja menumpuk menjadi benang kusut yang sulit diurai. Aparat dibuat pusing tujuh keliling belum lagi satu kasus dibereskan, muncul lagi kasus baru. Sekalipun persoalan korupsi sudah menumpuk dan ancamannya sudah berbahaya, tidak ada terobosan untuk mengatasinya.
Mengingat bahaya laten yang ditimbulkan korupsi, Indonesia harusnya sudah bangun dari bius-bius para elite politik yang mengambil keuntungan dengan kedok memajukan negeri. Negara kita akan stagnan bahkan berjalan mundur di tengah derasnya arus kemajuan dunia.
Korupsi akan terus menjadi momok bagi kaum idealis dan akan menjadi ladang basah bagi para penyunggi „uang haram‟. Para penyetir kepentingan yang tak pernah akan kenyang dan akan tetap haus uang panas ketika para kaum idealis tak berani ambil pusing turut mengulung lengan baju bahu-membahu memberantas tikus berdasi.
Koruptor di negeri ini pandai bermain patgulipat sehingga terbebas dari riuhnya meja hijau dan dinginnya sel tahanan. Dinasti demi dinasti koruptor sudah tersibak, dan oknumnya bukan dari perseorangan saja. Banyak peran di dalamnya yang „bergotong royong‟ mencabik-cabik uang negeri ini.
Sinisme dan sikap apatis dari kalangan masyarakat juga meningkat karena janji-janji pemberantasan korupsi terasa jauh dari kenyataan. Terlebih masyarakat semakin merasa sebagai korban perilaku korup para pejabat dan elit politik mulai pusat sampai ke daerah sekalipun, sungguh ironis memang.
Mencegah Generasi Koruptor dengan “Pokemon”
Tagline visioner “Generasi Emas menuju Indonesia Hebat” menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka dan bonus demografi, tekad mewujudkan generasi emas tahun 2045 perlu kerja keras. Generasi emas bukan generasi yang memiliki banyak emas, melainkan generasi yang kompetitif dan mampu bersaing. Peningkatan kualitas sumber daya manusia amat krusial untuk menunjang langkah Indonesia kedepannya.
Langkah yang terus dipupuk Indonesia yaitu dengan meratakan pendidikan diseluruh pelosok Indonesia. Pendidikan cenderung akan melatih kecerdasan intelektual seseorang. Menurut hasil penelitian bahwa IQ hanya menyumbang paling banyak 20% bagi kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% ditentukan faktor lain. Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak-gejolak yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup.
Banyak bukti yang memperlihatkan bahwa orang yang cakap secara emosional mengetahui dan menangani perasaan mereka sendiri dengan baik, serta mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif, memiliki kesuksesan dalam setiap bidang kehidupan. Howes dan Herald (1999) mengatakan, pada intinya potensi kecerdasaan emosional (pokemon) merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi.
Emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Mengamati perilaku dari kehidupan anak–anak dewasa ini justru membuat risau. Banyak peristiwa menyimpang yang dilakukan oleh anak. Pelanggaran umum dimasa kanak– kanak tidak bisa dianggap sebagai masalah yang sepele, tetapi merupakan masalah yang serius. Pelanggaran tersebut antara lain mencakup berbohong, berbuat curang, mencuri, merusak dan membolos, dan ini merupakan tanda bahaya dari penyesuaian pribadi dan sosial buruk pada anak (Hurlock, 1978).
Misalnya dalam hal berbohong, walaupun berbohong sering dapat dimaklumi dari segi perkembangan anak, ini dapat menjadi masalah bila berbohong menjadi kebiasaan. Berbohong mengikis kedekatan dan keakraban, berbohong menumbuhkan benih ketidakpercayaan, karena perbuatan ini mengkhianati kepercayaan orang lain.
Penelitian terhadap anak-anak yang sering berbohong menunjukkan bahwa mereka juga sering terlibat dalam bentuk-bentuk perilaku antisosial, termasuk menipu, mencuri dan aksi kekerasan. Ini antara lain akibat kenyataan bahwa anak-anak yang berbohong biasanya berteman dengan anak-anak lain yang tidak jujur dan mereka mengembangkan kelompok sebaya yang percaya bahwa berbohong kepada orang di luar kalangan diperbolehkan (Shapiro, 1997).
Selain itu, Alhadza (2000) dalam penelitiannya menemukan bahwa koruptor-koruptor besar, penipu-penipu ulung dan penjahat kerah putih yang marak disorot saat ini adalah penyontek-penyontek berat ketika mereka masih berada di bangku sekolah, atau sebaliknya mereka yang terbiasa menyontek di sekolah, memiliki potensi untuk menjadi koruptor, penipu ulung dan penjahat kerah putih dalam masyarakat nanti.
Suharsono (2001) kecerdasan emosi tidak hanya berfungsi untuk mengendalikan diri tetapi juga mencerminkan kemampuan dalam mengelola ide, konsep, karya atau produk. Suharsono (2001) menjelaskan keuntungan bila seseorang memiliki kecerdasan emosional secara memadai.
Pertama, kecerdasan emosi mampu menjadi alat untuk pengendalian diri sehingga seseorang tidak terjerumus kedalam tindakan-tindakan bodoh, yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
Kedua, kecerdasan emosi bisa diimplementasikan sebagai cara yang sangat baik untuk memasarkan atau membesarkan ide, konsep atau bahkan sebuah produk.
Ketiga, kecerdasan emosi adalah modal penting bagi seseorang untuk mengimbangkan bakat kepemimpinan dalam bidang apapun juga. Potensi kecerdasan emosional (pokemon) dapat mengembangkan emosi anak yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial.
Kesadaran diri dapat membuat anak mengenali perasaan yang sedang ia rasakan, anak mampu memahami penyebab perasaan yang timbul, anak juga menyadari keterkaitan antara perasaan mereka dan yang mereka pikirkan, perbuat dan katakan, sehingga dengan keterampilan tersebut anak mampu mengenali perbedaan perasaan dan tindakan. Tingginya kesadaran diri anak maka anak akan lebih mampu menekan tindakan yang negatif dan anak lebih berperilaku secara moral (Goleman, 1999).
Pengaturan diri dapat membuat anak mempunyai kemampuan untuk mengatur dirinya kearah yang positif, anak dapat mengelola emosinya dengan baik, anak mampu mengendalikan perilakunya, mempunyai kehati-hatian dalam bertindak atau berperilaku dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas apa yang dilakukannya. Anak dapat selalu berfikir jernih dalam menghadapi tekanan, sehingga dapat meminimalkan perilaku tidak bermoral (Goleman, 1999).
Motivasi dapat membuat anak memiliki dorongan untuk berprestasi, mempunyai ketekunan dalam melakukan sesuatu, anak juga gigih dalam memperjuangkan tujuan yang akan dicapai dan siap apabila mengalami kegagalan (Goleman, 1999).
Empati dapat membuat anak memilki kemampuan untuk memahami orang lain, mampu mengerti perasaan dan pikiran orang lain (Goleman, 1999). Anak dengan mengerti, dapat memahami perasaan dan pikiran orang lain atau disebut juga kemampuan berempati atau empati yang tinggi, maka anak akan merasa cemas dan rasa bersalah apabila anak tersebut melakukan kesalahan atau melanggar peraturan yang berlaku (Berk, 1994).
Anak yang mempunyai kemampuan empati kuat cenderung terlibat dalam perbuatan yang lebih prososial, misalnya menolong orang lain dan kesediaan berbagi dan juga memiliki kemampuan yang lebih besar untuk menjalin hubungan yang akrab dengan orangtua, guru dan teman-temannya.
Keterampilan sosial dapat membuat anak memiliki kemampuan untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara tepat dengan orang lain, dengan teman sebaya, mampu beradaptasi dengan lingkungan, serta memiliki kemampuan untuk menjalin kerjasama dengan orang lain (Goleman, 1999).
Keterampilan sosial akan menempa anak terampilan dalam menyelesaikan masalah, tingkah laku menjadi lebih baik, meningkatnya keterlibatan dengan rekan-rekan sebaya, meningkatkan keterampilan dalam menghadapi masalah, berkurangnya perilaku kasar serta meningkatnya keterampilan dalam menyelesaikan konflik.
Semua kenakalan-kenakalan anak saat usia dini yang dianggap bisa dimaklumi karena kurangnya potensi kecerdasan emosional (pokemon) akan menjadi sebuah snow ball/bola salju yang jika dibiarkan akan terus membesar dan membesar. Penguatan kecerdasan emosional sejak dini sangatlah penting untuk dilakukan.
Mengingat telah banyak kasus mengenai degredasi moral yang terjadi di Indonesia. Contoh kasus yang sering terjadi ialah perilaku pembullyan, sikap tidak sopan kepada guru, perkelahian pelajar, dan lain sebagainya. Perilaku-perilaku tersebut dapat menjelma menjadi suatu hal yang lebih besar, contohnya ialah korupsi. Korupsi menunjukkan negeri ini sudah mengalami kemunduran moral yang serius.
Penguatan potensi kecerdasan emoosional (pokemon) sejak dini sangat penting dilakukan dalam upaya pencegahan dan meminimalisir perilaku yang memupuk sifat korup dan mencekoki generasi muda banggsa untuk memutus rantai korupsi di tanah air.
Dengan penguatan potensi kecerdasan emosional (pokemon) sejak dini, besar harapan kita untuk memiliki generasi muda yang lebih baik dan unggul serta memiliki karakter yang tidak menyimpang untuk menjadi agent of change di kemudian hari yang selanjutnya diharapkan mampu membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia ke arah yang lebih baik dengan tidak hanya mengandalkan ilmu pengetahuan, namun tetap menjujung nilai-nilai luhur serta bersikap dan bertingkah laku santun yang merupakan „jubah kebanggaan‟ yang disandang bangsa ini di mata dunia. Karena perubahan dimulai dari diri sendiri.
Antara prilaku korupsi dengan potensi kecerdasan emosional (pokemon) memiliki korelasi dimana korupsi bisa dicegah dengan membentengi generasi muda Indonesia dengan melibatkan potensi kecerdasan emosional (pokemon) sejak dini. Niscaya, generasi muda Indonesia yang memiliki potensi kecerdasan emosional adalah kristalisasi generasi emas Indonesia yang jauh dari korupsi dan masalah lainnya.
Dan generasi yang memiliki pokemon akan menjadi lokomotif perubahan bagi Indonesia. Korupsi di negeri ini akan musnah ketika ada kata sepakat bukan hanya dipermukaan saja namun di dalam permukaan yakti dalam hati nurani juga harus ada kata sepakat. Jika ingin memberantas korupsi maka akan ada seribu jalan, namun jika tidak ingin memberantas korupsi maka akan selalu ada seribu alasan. (T)
Catatan: Esai ini peserta Lomba Penulisan Esai Festival Anti Korupsi Bali 2017