ZEN HAE, seorang kritikus sastra dalam sebuah esainya pernah menulis seperti ini: “Di tengah masyarakat yang gampang lupa, kita membutuhkan novel pengingat. Di tengah masyarakat yang putus asa, kita membutuhkan novel yang memberi harapan. Di tengah bangsa yang kehilangan martabat, kita merindukan novel yang mengobarkan nasionalisme.”
Singkatnya, itulah harapan-harapan yang dibebankan kepada novel, karya sastra pada umumnya, ketika bidang-bidang lain menghianati secara terus-menerus.
Ketika musim piala dunia datang, hati kita terenyuh, kapankah kesebelasan kita ikut di dalammnya? Harapan diemban oleh novel ketujuh Andrea Hirata yang berjudul Sebelas Patriot. Ketika negeri kita dicarut-marut oleh kasus-kasus korupsi tiada henti, novel Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari-lah yang telah menyatirnya dengan lugas dan mengingatkan kita untuk tidak menjarah, serta menjagal negeri sendiri.
Ketika negeri ini dilanda kepalsuan demi kepalsuan, rasa-rasanya “Sajak Palsu” karya Agus R. Sarjono adalah jawabannya. Pendeskripsian detai masalah kepalsuan, sampai-sampai hidup pun kadang dipalsukan di negeri ini, cukup menantang imajinasi pembaca untuk terlibat secara terus-menerus dalam realita kehidupan disertai konflik-konflik yang menyertainya. Ketika kerusakan moral begitu parah terjadi akhir-akhir ini di negara ini, gerakan pembangunan mental atau pendidikan karakter adalah “harga mati”. Revolusi mental atau pendidikan karakter bisa ditemukan pada karya-karya sastra seperti novel-novel itu juga.
Novel atau puisi, atau karya sastra yang lainnya menyimpan amanat yang bisa membangun mental pembacanya. Apalagi kerusakan moral bangsa sudah dalam tahap sangat mencemaskan dan terjadi hampir di semua lini, baik di birokrasi pemerintah, aparat penegak hukum, dunia pendidikan, dan masyarakat umum. semua itu tidak ada yang bersih dari kasus-kasus korupsi. Hingga tersebutlah korupsi adalah karakter bangsa ini. Di kalangan birokrasi sudah termasyur kebobrokannya. Di institusi penegak hukum sedang “ngetren” terkena sangsi. Mereka yang semula diharapkan bisa memperbaiki keadaan, ternyata memiliki kondisi yang lebih parah.
Apa yang bisa dikatakan dari kondisi itu? Mentalitas Indonesia tidak kondusif untuk mencapai kemajuan. Seperti yang dikatakan Koentjaraningrat, mentalitas itu meliputi, meremehkan mutu, suka merabas, tidak percaya diri, tidak berdisiplin, dan mengabaikan tanggung jawab. Hilir (negara) adalah refleksi hulu (masyarakat). Buruk negara adalah cermin masyarakat. Negara brutal dan korup adalah buah masyarakat yang menghalalkan hal itu. Korupsi ini pun telah berkembang dari segi praktik dan makna kata.
Budaya korup terjadi karena lemahnya karakter masyarakat. Oleh karena itu, munculnya gagasan gerakan rovolusi mental yang didalamnya mengusung misi mulia, yakni implementasi pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter.
Banyak lulusan sekolah dan sarjana, mereka yang telah menjadi individu intelek yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, pengecut, dan prilakunya tidak terpuji. Salah satunya adalah melakukan tindakan korupsi itu. Tidak mungkin orang yang tidak berpendidikan melakukan korupsi. Sejalan dengan Koentjaraningrat, pemerintahan Jokowi-JK melalui gerakan revolusi mental yang dicanangkan saat ini, mengusung amanat bahwasannya ada delapan belas penghambat gerakan revolusi mental.
Penghambat-penghambat itu, yakni selalu berpikir negatif, suka menunda pekerjaan, tidak fokus, kurang percaya diri, selalu pesimis, malas, masa bodo, mudah menyerah, serakah, egois, boros, tidak jujur, anti perubahan, menghindari tanggung jawab, tidak memiliki komitmen, meremehkan mutu, feodal, dan munafik. Oleh karena itu, penghambat-penghambat itu mesti dibakar dari dalam diri.
Di samping itu, pembentukan mental/karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika mental/karakter sudah terbentuk sejak usia dini, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Dalam konteks ini, gerakan revolusi mental sesungguhnya diharapkan dapat merestorasi karakter ke arah positif yang dapat membangun kepribadian bangsa.
Kondisi itu harus disikapi oleh semua elemen bangsa dengan baik, mengingat mental dunia pendidikan negeri ini, kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan tentunya bermental yang baik.
Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang mendefinisikan karakter sebagai “siapa anda dalam kegelapan?”.
Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emusional, dan perilaku dari kehidupan moral. Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal, dan non formal. Selama ini, ada kecendrungan pendidikan formal, informal, dan non formal berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan mengambil jalan pintas.
Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yakni pertama desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar. Kedua, desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri individu. Yang ketiga, desain berbasis komunitas. Dalam implementasinya, sastra harus ditempatkan sebagai “kitab suci.” Novel dan puisi bisa digunakan sebagai modul dalam pembelajarannya. Sehingga mental/karakter bangsa kita bukanlah karakter korup, tetapi berkarakter pancasilais.
Berpijak pada sastra yang dapat kita pakai sebagai “kitab suci” utamanya dapat dipakai sebagai pencerahan hidup dan kehidupan untuk membangun karakter atau belajar tidak korupsi. Karya sastra bagi sebagian orang tidak lebih dipahami sebagai media dan ruang imajinasi belaka atau hasil lamunan semata, tidak ilmiah, dan jauh dari realitas. Karya sastra diinterpretasikan sebagai ruang tersendiri yang tidak mewakili dimensi kehidupan yang pasti: ia hanya ruang yang penuh fantasi oleh pengarangnya.
Tentu pandangan semacam itu adalah keliru. Karya sastra justru lahir dari realitas objektif. Mencipta karya sastra berarti mengangkat realitas-objektif menjadi realitas baru. Diangkat mengandung arti “diolah” sehingga menjadi realitas baru, yakni imajinatif yang diangkat oleh pengarang bukanlah lamunan, fantasi, atau khayalan, namun justru fakta kehidupan yang telah mengkristal dalam diri penciptanya.
Sangatlah layak apabila sebuah karya sastra mampu memberikan rekomendasi terhadap nilai kehidupan yang bersifat pribadi atau lebih luas pada wilayah negara atau bangsa. Ketika kehidupan diri dan sistem sosial terjepit pada lingkaran kekuasaan yang semraut dan korup, sementara civil society, semisal, pers, masyarakat, dan mahasiswa sulit menuangkannya atau justru terjebak pada korupsi baru, maka gerakan kebudayaan khususnya penciptaan karya sastra yang kritis transformatif menjadi harapan selanjutnya.
Gerakan kebudayaan harus kritis, jujur, terbuka, sekaligus menyiarkan gagasangagasan dengan nuansa perlawanan untuk mengungkapkan fakta kemanusiaan yang bernilai penting. Dalam ruang yang lebih khusus, gerakan kebudayaan juga menjadi media untuk menuturkan kembali berbagai peristiwa aktual dengan tujuan menciptakan ruang diskusi bagi perubahan sosial. Salah satu karya sastra (novel) yang menggelorakan ini adalah novel Orang-Orang Proyek, karya Ahmad Tohari.
Novel Orang-Orang Proyek secara umum bercerita tentang negeri yang digerogoti oleh koruptor. Fenomena praktik-praktik korup yang diungkap selalu relevan pada konteks kekinian. Permainan setiap kali ada gelontoran proyek pembangunan dilaksanakan, benarbenar membumi bagi kehidupan negeri ini. Ahmad Tohari telah mampu menghadirkan kisah yang alami. Ia mendeskripsikan keadaan yang sebenarnya dengan menonjolkan aspek kebobrokan orang-orang proyek. Ahmad tohari sangat antusias dalam penuangan itu. untuk itu, ia menggunakan diksi dan kalimat-kalimat yang sinis penuh satire. Ahmad Tohari ingin menegaskan bahwa yang dikorbankan pada setiap kebijakan pembangunan dan proyek-proyek pembanguan adalah rakyat. Padahal proyek seharusnya untuk rakyat, bukan proyek penguasa, seperti narasi dalam kutipan berikut,
”Penguasa yang punya proyek dan para pemimpin politik local menghendaki jembatan itu selesai sebelum pemilu 1992. Karena, saya kira, peresmiannya akan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye partai golongan penguasa. Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan teknis ilmiah dikalahkan oleh perhitungan politik” (Orang-Orang Proyek, halm. 10)
Kutipan itu menegaskan, melalui tokoh Kabul menjelaskan bahwa perhitungan teknik proyek pembangunan yang sifatnya sangat ilmiah dapat dikalahkan dengan kemauan politik. Gejala ini tidak saja runyam terjadi pada rezim “Orba”, pada kondisi kekinian pun lebih runyam terjadi. Ahmad Tohari mengungkap dengan begitu cerdas dan cermat berbagai penyimpangan dalam proyek-proyek pembangunan. Orang-Orang Proyek bercerita tentang pembangunan jembatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri.
Kecermatan Ahmad Tohari mengungkap realitas dalam dunia proyek pembangunan ditandai dengan ekspresinya bahwa sejak awal perencanaan proyek telah banyak dicampuri politisi yang ikut bermain. Campur tangan banyak pihak, politisi, DPRD, militer, dan partai-partai penguasa telah membuat beban rakyat makin bertambah. Mental para politisi dan pelaksana yang menganggap setiap proyek adalah ladang garapannya yang begitu subur telah mengakibatkan kebocoran di mana-mana. Hal ini tersirat dalam kutipan berikut,
…campur tangan itu tidak terbatas pada penentuan awal pekerjaan yang menyalahi rekomendasi para perancang, tapi masuk juga ke hal-hal lain. Proyek ini, yang dibiayai dengan dana pinjaman luar negeri dan akan menjadi beban masyarakat, mereka anggap sebagai milik pribadi. Kabul tahu bagaimana bendahara proyek wajib mengeluarkan dana untuk kegiatan partai penguasa. Belum lagi dengan oknum sipil maupun militer, juga oknum-oknum anggota DPRD yang suka main uang saku kepada bendahara proyek kalau mereka mau plesir ke luar daerah, (Orang-Orang proyek, halm. 25).
Membaca novel Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari, pembaca seakan diajak hanyut untuk berdiskusi, berdiplomasi, ataupun berkontemplasi tentang kondisi kebangsaan yang carut marut (cheos) dari berbagai aspek kehidupan. Ahmad Tohari begitu gamlang mengungkapkannya dari semua sisi melalui novel Orang-Orang Proyek. Kritik sosial, politik, ekonomi, keagamaan, bahkan budaya.
Dalam menyampaikan kritik-kritik itu kepada pembaca, Ahmad Tohari menggunakan tokoh Kabul yang berperan sebagai pelaksana proyek jembatan. Tokoh Besar berperan sebagai kepala desa, yang masih memiliki idealisme kebangsaan dan Pak Tarya, seorang pensiunan kantor penerangan yang berpengalaman dalam birokrasi. Melalui ketokohan Kabul inilah perlawanan terhadap sistem yang cenderung manipulatif dan korup digelorakan.
Tokoh Kabul dan Besar yang mantan aktivis kampus berupaya dengan idealismenya melakukan gerakan melawan praktik penyimpangan yang dilihat atau bahkan dialaminya secara langsung. Tidak jarang kedua tokoh ini mengalami konflik batin, bergolak untuk melakukan perlawanan atau setidaknya bertahan atas kejujurannya. Kendatipun pada akhirnya tokoh Kabul harus memutuskan keluar dari pelaksana proyek. Nuansa perlawanan sangat tampak seperti tergambar dalam kutipan berikut,
“Terima kasih atas nasihat Pak Dalkijo. Untuk mereka yang suka gampangan dan ingin serba mudah, nasihat Bapak tentu pas. Dan maaf, Pak, saya bukan dari kalangan seperti itu. jadi, saya memilih mengundurkan diri terhitung sejak hari ini.”
“Dik Kabul!’ Maaf, Pak. Keputusan saya tak bisa ditarik lagi. Saya keluar!” (Orang-Orang Pryek, halm. 200).
Melakukan perlawanan atas korupsi bagi Ahmad Tohari benar-benar menemukan gaungnya melalui novel Orang-Orang Proyek. Karya sastra ini dapat dianggap sebagai novel yang mengungkapkan persoalan korupsi dengan komprehensif, berisi gerakan perlawanan atas korupsi yang merajalela di semua belahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ahmad Tohari sesungguhnya mendambakan kehidupan yang penuh kejujuran dan idealisme. Ide-ide perubahan yang dikumandangkan melalui kritik sosial dalam novel ini banyak menggunakan tokoh-tokoh: Kabul, Besar, dan Pak Tarya.
Melalui ketiga tokoh ini, nilai-nilai antikorupsi, persoalan kemiskinan, dan kejujuran tersajikan dengan begitu apik. Melalui novel ini dengan gaya bahasanya yang khas dan lugas secara implisit memberikan makna penting terhadap arti kata “proyek”. Kata “proyek” menggejala sebagai sesuatu yang bersifat resmi untuk mencari keuntungan di dalamnya. Semua hal dapat diproyekkan dan kemudian direkayasa untuk dikorup sebagai jalan pintas menjadi kaya.
Ya, apa saja bisa diproyekkan. Tidak hanya pembangunan jembatan atau infrastruktur lain, tapi juga pengadaan kotak pemilu, pembagian sembako untuk orang miskin, pengadaan bacaan untuk anak sekolah, program transmigrasi, program penanggulangan bencana alam. Bahkan sidang umum MPR dan penyusunan undang-undang bisa mereka jadikan proyek yang mendatangkan duit. Orang-Orang Proyek rakus dan licin, mereka ada di mana-mana (Orang-Orang Proyek halm. 219).
Melalui kutipan tersebut, karya sastra (Orang-Orang Proyek) ingin menjelaskan bahwa semua yang menjadi kebijakan pemerintah yang bernilai uang akan dapat saja diproyekkan dan menjadi bahan bisnis bagi semua pihak yang terlibat. Mulai dari proyek fisik semacam pembangunan jalan raya, jembatan, gedung pelayanan publik, gedung sekolah, sampai pengairan bagi pertanian dijadikan lahan yang bisa dikorupsi. Demikian juga proyek nonfisik, seperti pengadaan barang, program bantuan orang miskin, penyuluhan bagi masyarakat, juga menjadi lahan empuk berbuat korupsi.
Sangat tepat apa yang diterminologikan Ahmad Gojali Harahap dalam Wahid (2002), bahwa negeri ini telah menyerupai negeri democratic corruption. Dalam democratic corruption terdapat tiga siklus korupsi yang saling mendukung untuk terjadinya korupsi secara merata ke semua level. Pertama, apa yang disebut formal corruption, sebuah kesepakatan korup yang lahir dari institusi formal.
Kedua, informal corruption, yang dilakukan individu-individu dalam posisi formal dan situasi formal. Maraknya kasus money politic dalam pemilu dan pilkada merupakan perwujudan konsep ini. Ketiga, nonformal corruption, perilaku korup yang justru dilakukan oleh pihak luar yang punya akses pada kekuasaan (premanisme). Pada akhirnya korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan begitu membumi pada semua kalangan dan semua sektor.
Karya sastra ini juga (Orang-Orang Proyek) dengan jelas memperlihatkan fenomena kebangsaan. Sesuatu yang dianggap menyimpang dari sistem nilai disatir begitu getir dalam karya sastra ini, seperti jenis korupsi baru yang terselubung dan mengemuka, yakni manipulasi gelar kesarjanaan. Siapapun bisa resmi mendapat gelar kesarjanaan atau pascasarjana dengan mudah apabila ia punya uang untuk membeli, ikut kelas jauh, atau sekadar kuliah-kuliahan.
Padahal mungkin saja gelar yang disandang sebenarnya belum mencapai standar kecerdasan intelektual dan kecerdasan emusional tingkat sarjana. Akibatnya kemudian, negara dirugikan karena dengan gelar yang sangat manipulatif tersebut, para pejabat dapat memperoleh kenaikan gaji dan tunjangan serta kenaikan pangkat yang lebih dari sebelumnya. Lantas betapa besar kerugian negara jika jumlahnya puluhan ribu dan terjadi hampir di semua tempat instansi pemerintah.
…..bila ribuan pegawai dari pusat sampai guru SD melakukan manipulasi ijazah seperti itu, Kabul bisa membayangkan berapa kerugian rakyat akibat korupsi terselubung ini. Apalagi bila dihitung untuk jangka panjang (Orang-Orang Proyek halm. 53)
Sejumlah realitas itu diangkat dalam karya sastra ini (Orang-Orang Proyek) dengan bahasa yang lugas. Seakan bangsa ini sudah kehilangan pegangan hidup. Ceramah agama sangat marak di mana-mana dan begitu intens dilakukan oleh para pemuka agama, tapi semua kegiatan ritual itu tidak bermakna apa-apa. Nilai-nilai dalam pancasila hanya menjadi hafalan dan diucapkan nyaring pada saat upacara bendera. Hampir dipastikan tidak ada ruang lagi bagi tumbuhnya nilai idealisme.
Idealisme dianggap barang tabu dan aneh. Dalam arti selanjutnya, siapapun yang berusaha bertahan dengan idealismenya, maka bersiaplah untuk dimarjinalkan dan tidak mendapat bagian kekayaan. Tetapi bagi mereka yang mengikuti perilaku menyimpang penuh pragmatisme, tanpa memandang apapun, yang penting dirinya meraih sesuatu yang diinginkan, ia akan menjadi orang kaya secara instan.
Untuk menolak korupsi dan perilaku menyimpang lewat karya sastra ini, sengaja dipaparkan ajakan untuk hidup sederhana, hidup yang jauh dari sifat glamor/materialistik hedonistik, yakni serakah, ambisi berkuasa, dan tidak peduli sosial. Jangan sampai punya kesenangan terhadap pernik keindahan dunia yang sesat dan bernilai semu! Siang dan malam haruslah ingat bahwa hidup di dunia akan berakhir pada kematian. Tentu yang tidak sadar dengan makna hakikat kehidupan ini akan sama dengan kehidupan binatang. Penyadaran ini harus dimaknai dengan lugas seperti apa yang terkandung dalam intisari ajaran Bhagawadgitha yang menyatakan:
Mayi sarvani karmani sannyasyadhayatma-cetasa
Nirasir nirmamo bhutva yudhayasva vigata-jvarah
Artinya:
“dengan menyerahkan segala pekerjaanmu kepada-Ku, dengan pengetahuan sepenuhnya tentang-Ku, bebas dari keinginan untuk keuntungan, tanpa tuntutan hak milik, dan bebas dari sifat malas.” (Bhagawadgitha, 3.30)
Tuhan (dengan menyebut dirinya Ku) seperti pada kutipan tersebut, sesungguhnya menciptakan manusia untuk melaksanakan kewajiban selaku umat, yakni memang harus bekerja. Tapi perlu disadari hakikat dari bekerja adalah bagian dari ibadah atau yadnya. Esensi dari bekerja dalam hidup bukan untuk mengeruk keuntungan. Semua orang mempunyai jenis pekerjaan, bisa menanganai proyek, berbisnis, berpolitik, dan yang lainnya. Tetapi segala tindakan-tindakannya itu mesti dilakukan dalam kesadaran Tuhan. Kutipan berikut lebih menegaskan bahwa dalam melakukan kerja dikehidupannya, seseorang agar jangan terlalu memusatkan pada ikatan hasil,
tasmad asaktah satatam karyam karma samacara
asakto hy acaran karma param apnoti purusah
Artinya:
“karena itu hendaknya seseorang bertindak karena kewajiban tanpa terikat terhadap hasil kegiatan, sebab dengan bekerja tanpa ikatan terhadap hasil seseorang sampai kepada Yang Mahakuasa” (Bhagawadgitha, 3.19)
Kutipan Bhagawadgitha tersebut menjadi kalimat suci, sangat ekspresif. Uang, harta benda, kenikmatan, pujian, adalah hasil sebuah proses bekerja. Manusia tak akan mendapatkan semua itu tanpa bekerja. Jadi, yang terpenting adalah bekerja, bukan uang, bukan pula harta. Sehari-hari kalimat suci Bhagawadgitha itu menjadi ungkapan “bekerja tanpa mengharapkan hasil”. Lantas, bagaimana mungkin manusia bekerja tanpa terikat pada hasil atau tanpa keuntungan?
Kalimat suci itu tak menghendaki manusia mati karena tak makan gara-gara ia bekerja. Yang diajarkan adalah hasil akan mengikuti jika seseorang bekerja. Kalimat suci itu pula mengajarkan kerja keras, kerajinan, dan keuletan pasti membuahkan hasil gemilang. Tapi mengapa filosofi Bhagawadgitha: “bekerjalah, hasil akan datang sendiri” tak begitu laku dalam kehidupan sehari-hari? Ketamakan dan kerakusanlah, yang membuat semua itu terbenam dalam kegelapan, sehingga kita acap bersua manusia-manusia korupsi. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai sastra agama seperti itu, sepatutnya tindakan korupsi dapat dihindari oleh manusia dalam menjalani kehidupan ini.
Begitu pula dengan Ahmad Tohari sebagai seorang sastrawan yang begitu getir melakukan satir lewat karyanya: Orang-Orang Proyek. Melalui inti sari novel Orang-Orang Proyek inilah, sesungguhnya Tohari sangat ingin mendambakan perubahan besar bagi tatanan kehidupan berbangsa yang bersih dari penyimpangan korupsi. Pemerintahan yang cakap, terpercaya, dan berwibawa. Begitu juga para wakil rakyat yang aspiratif dan amanah. Para pengelola negara bertindak sebagai pelayan rakyat dan berhati jujur, serta menegakkan keadilan. Para penegak hukum tidak “menjual” keadilan dengan uang atau materi tertentu.
Maka sangat tepat apabila di bagian karya sastra ini, Ahmad Tohari mengisinya dengan harapan dan sekaligus pertanyaan besar, pertanyaan yang belum pasti kapan dan di mana sesuatu yang ideal itu akan terwujud di tengah-tengah carut-marut dan kemunafikan bangsa di semua sektor yang telah menjelma menjadi budaya. Belum pasti terjawab, kapan proyek untuk rakyat tanpa penyimpangan dan korupsi, ketika negeri ini masih dikuasai mental orang-orang proyek yang manipulatif: korup, saling jagal, dan bentuk penyimpangan lainnya yang terus membudaya.
Dengan begitu, membaca dan menyimak intisari karya sastra seperti ini merupakan sebuah dokumentasi sekaligus potret buram negeri akibat kebiadaban koruptor yang mengkorup bangsanya sendiri, dan menghadirkan sebuah tragedi kemanusiaan. Saya yakin karya sastra semacam ini dapat dijadikan media alternatif dan sekaligus gerakan kebudayaan untuk tetap eksis menyuarakan kejujuran dan keberanian melawan korupsi. Karya sastra yang kreatif semacam ini sangat perlu terus dikembangkan untuk dijadikan perenungan, dan belajar untuk tidak korupsi dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Di sisi lain, karya sastra seperti ini, sangat tepat digunakan sebagai “kitab suci” untuk pembentukan mental/karakter agar tidak melakukan perbuatan kejahatan korupsi. Tidak ada salahnya jika karya sastra semacam ini dibaca oleh para pejabat ataupun masyarakat sipil. Lebih khusus lagi para pelajar, yang notabene mereka adalah generasi muda sekaligus yang akan meneruskan nasib negeri ini.
Kondisi ini tampaknya sejalan dengan fungsi sastra itu sendiri, yaitu dulce et untile (indah dan berguna). Di samping memberikan hiburan kepada penikmatnya, sastra juga mampu berfungsi mengarahkan pembacanya pada nilai-nilai yang dikandungnya, mampu memberikan ilmu pengetahuan kepada pembacanya, dan mampu menghadirkan nuansa nilai-nilai ke-Tuhanan yang dapat dipakai sebagai pencerahan hidup.
Harapan itu mungkin terlalu berlebihan, alias mission imposible. Mengapa? Karena menurut sastrawan dan budayawan besar, Taufik Ismail (2004), negeri kita tengah “rabun membaca dan lumpuh menulis.” Jika begitu kondisinya kapan masyarakat sempat membaca karya sastra, terlebih lagi belajar kehidupan, dan membentuk mental atau karakternya lewat sastra? Akan tetapi bukankah di dunia ini penuh dengan kemungkinan dan penuh dengan segala harapan, sebagaimana tokoh Kabul dan besar dalam Orang Orang Proyek, yang masih memiliki idealisme untuk memperjuangkan tata kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik di masa mendatang.
Daftar Pustaka
Harjana, Andre. 1981. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia
Ismail, Taufik. 2004. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta: Yayasan Indonesia
Koentjaraningrat.1993. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta: Gramedia
Prabupada, Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami. 2006. Bhagawadgitha: Hanuman Sakti
Suartaya, Kadek. 1999. Kesenian dalam Lingkaran Politik. Mudra Denpasar: UPT Penerbitan STSI
Tohari, Ahmad. 2007. Orang-Orang Proyek. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wahid, Nusron. 2003. Gerakan Mahasiswa dan Godaan Politik: Problematika Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Pustaka Salemba
Wellek Rene & Austin Warren.1989. Teori Kesusastraan, Terj. Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedi.
Catatan:
Esai ini adalah peserta Lomba Penulisan Esai Anti Korupsi, Festival Anti Korupsi Bali 2017