“Bencana kemanusian yang dapat terjadi bila mana rumusan kebijakan Petani tidak tepat” – Teori kelaparan Hunger.
BANGSA Indonesia selalu mengklaim bahwa kita adalah bangsa agraris, akan tetapi kata makmur tak kunjung menemukan bentuk nyatanya dalam kehidupan yang didapat dari hasil pertanian.
Dalam tulisan ini tidak dalam lingkup kita membahas tentang pertanian secara sekup nasional namun yang akan ditekankan bagaimana Provinsi Bali mengelola dan meperdayakan petani sebagai salah satu indikator penunjang dalam meraih kemakmuran bagi rakyat. Jika hal ini dilaksanakan dengan komitmen serius maka bukan tidak mungkin jika masyarakat bali menemukan target yang menjadi cita-cita sila ke-5 untuk mewujudkan kesejahteraan sosial di masyarakat.
Bali hari ini tentu sudah tenar dan kesohor di mata dunia internasional karena menyediakan destinasi wisata yang surga. Akan tetapi bagaimana dengan kehidupan petani dan produksi menghasilkan padi untuk ketahanan pangannya?
Pembangunan di Bali berkembang pesat mulai dari pembangunan resort, hotel, villa, restoran dan sebagainya bahkan perkembangan industri di Bali sangat menjamur. Tentu dalam pembangunan ini mereka membutuhkan lahan yang memadai yang strategis dan memiliki daya hidup masyarakat yang memiliki konsumerism yang tinggi. Sasaran pertamanya ialah lahan kosong maupun lahan alih fungsi seperti pertanian yang indikasinya akan mengancam profesi petani itu sendiri.
Sehingga tidak heran jika pertanian di Bali tidak begitu produktif atau tidak besar-besaran menghasilkan padi karena objek yang menjadi sarana menghasilkan sudah dialihfungsikan pemanfaatannya dengan mementingkan nilai ekonomis bisnis. Dengan begitu, maka tak heran jika ada sejumlah orang Bali mendadak kaya karena menjual berhektar-hektar warisan leluhurnya.
Hal semacam itu menjadi perhatian serius bagi masyarakat khususnya yang menjaga tradisi masyarakat Bali itu sendiri seperti yang saya kutip dari statemen Robi Navicula dalam wawancaranya: “Nenek moyang orang Bali adalah petani dan nelayan”.
Pembangunan membantu beban pengeluaran APBD melalui industri memang diperbolehkan dengan ijin yang legal dan tidak melanggar peraturan yang dapat mengancam keasrian Bali itu sendiri, seperti mengganti lahan pertanian dengan bangunan yang menjulang tinggi.
Menurut data yang diperoleh tahun 2017 dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) terkait tanah pertanian yang hilang di daerah Bali mencapai 800 sampai 1000 hektare setiap tahunnya. Tentu angka tersebut terbilang sangat tinggi. Kita lihat saja Denpasar, Badung dan Tabanan yang lahan pertaniannya sedikit sekali kita temui. Dan tiga daerah tersebut merupakan daerah dengan kemerosotan lahan pertanian paling tinggi seperti yang disampaikan oleh Nyoman Suparta (Ketua HKTI).
Tidak hanya lahan pertanian yang mengalami kemerosotan tiap tahunnya, keinginan anak-anak muda di Bali juga mengalami kemerosotan untuk menjadi petani. Anak-anak muda Bali sebagai generasi penerus banyak bekerja di sektor pariwisata, hotel, villa dan resort, dan sedikit sekali kita temui pemuda yang antusias menjadi seorang petani yang punya visi membangun bangsa melalui ketahanan pangan dengan menanam padi.
Di Daerah Bali rata-rata umur petani yang masih aktif berladang berada di atas kisaran umur 45 tahun ke atas dengan pendidikan yang rendah bahkan tidak sekolah. Tentu ini merupakan sebuah dilemma. Jika kita berkaca pada negara yang pada zaman now ini sedang hits, yakni Korea Utara dan India, kita tahu petani di negara tersebut sudah diisi oleh petani modern yang masih muda energik dengan pendidikan yang mumpuni.
Tak heran jika pertanian di negara itu kini menjadi topik di beberapa media internasional entah dari tehknologi pertaniannya dan bibit pertaniannya. Mereka menjadi sorotan masyarakat dunia,
Lalu bagaimana dengan Bali di Indonesia yang lahannya sudah banyak beralihfungsi menjadi perumahan elite, hotel dan resort dan bagaimana mindset berpikir anak-anak di Bali agar tertarik menjadi petani?
Ini perlu kita diskusikan bersama dan mencari solusi dari permasalahan Bali hari ini. Pemerintah Provinsi Bali sudah menyiapkan Rp 700 milliar untuk pertanian seperti yang telah disampaikan oleh Wakil Gubenur Bali. Kini bagaimana pemerintah sebagai lembaga penting bagi petani di Bali mengonsep pertanian tersebut agar lebih kreatif dan produktif, semisal dengan menjadikan wahana wisata yang berbasis subak.
Membangun jogging track di areal persawahan sepertinya lebih menarik daripada harus mengganti pertanian dengan perumahan. Dan masih banyak lagi yang bisa diinovasikan.
Lalu pemerintah jangan hanya memikirkan tentang pemberian subsidi dan bantuan lansung kepada petani sebagai menjawab permasalahan, akan tetapi mengatur pendistribusian hasil pertanian itu sendiri agar petani mempunyai ruang untuk menjual hasil pertaniannya. Dan juga menyarankan agar dibuatkan regulasi yang mengatur agar hotel, restoran di bawah komando PHRI untuk selalu menggunakan produk asli petani Bali.
Untuk anak-anak Bali sebagai generasi penerus tentu pemerintah harus mempunyai strategi yang sangat tepat sasaran menejawab permasalahan minimnya anak-anak Bali yang menjadi petani. Karena sejauh ini pekerjaan bertani identik dengan pekerjaan yang berkotor-kotoran dan pekerjaan kaum kelas menegah ke bawah.
Paradigma berpikir yang salah seperti ini harus segera direvolusi melalui penerapan kurikulum pendidikan yang mengarah pada bidang pertanian. Tentu ini butuh dukungan dari seluruh komponen bangsa mulai dari pemerintah, tenaga pendidik dan sisanya semangat kemauan anak-anak Bali untuk mencintai pekerjaan bertani dan memaknai betapa penting dan besar pengaruhnya menjadi seorang petani. Korea Utara dan India sudah menerapkan kebijakan tersebut sejak 4 tahun yang lalu. (T)