PERNIKAHAN Mas Bobby dan Mbak Kahiyang (putri Presiden Jokowi) seharusnya dirayakan dengan sederhana. Antara lain begitu kata Pak Fahri Hanzah sebagaimana disiarkan media.
Barangkali konsep sederhana yang ditawarkan oleh Bapak Kita itu memang baik dan merangsang munculnya ide-ide segar masa kini. Misalnya pernikahan sejoli itu dilakukan dengan inovasi terkini yang out of the box.
Coba kita itung-itungan. Biaya undangan merah yang keliatan mewah itu ditanggalkan dan digantikan dengan penggunaan twitter. Ribuan undangan yang harusnya dikerjakan dengan memakan waktu, tenaga, dan rupiah dibabat habis dengan ketikan jari beberapa menit di layar.
Belum lagi acara resepsi, yang bisa juga digantikan dengan vlogging saja. Atau kalau mau eksklusif, bikin instagram atau youtube live. Tak perlulah menyewa gedung yang mahal, tak perlu siapkan katering yang enak (eh itu catering punya sendiri ya?). Tamu juga tidak perlu pergi jauh-jauh, toh dari kamar kos saja bisa menyaksikan pernikahan sederhana itu. Lumayan, ongkos ke Solo bisa buat beli mie instan.
Mungkin yang masih mengeluarkan bondo sih rias manten dan sewa kameramen. Supaya hasil shoot-nya tidak cemen serta Mas Bobby dan Mbak Kahiyang keliatan kece men. Oya, souvenir juga jangan lupa. Supaya tidak mengecewakan khalayak undangan yang lagi menyaksikan.
Selain hemat, model nikahan seperti ini juga bisa memacu peningkatan ekonomi. Angpaonya tidak perlu amplop lagi. Bisa via uang-uang elektronik yang lagi ngetren sekarang. Fintech maju. Sejalan dengan cita-cita transaksi non-tunai. Souvenir juga dikirimkan ke alamat masing-masing. Jasa kurir jadi ketibanan rezeki.
Bisa juga, souvenirnya diutang dulu. Nanti uang transfer dari para tamu langsung masuk ke pengrajin-pengrajin, wah tambah sederhana lagi itu. Efisiensi…
Atau lebih sederhana lagi, souvenirnya jangan berupa fisik. Misal, jadi stiker eksklusif di Line. Berisi senyum Mbak Ayang dan Mas Bobby, atau tingkah lucunya Jan Ethes, pasti seru. Atau berupa paket kuota, supaya para fakir kuota bisa liat vlog-nya. Mantap sudah itu.
Barangkali itu maksudnya sederhana. Barangkali. Mudah-mudahan saya benar, eh, kalau salah yang tak apa juga.
Tapi, kalau dipikir lagi. Sesusah-susahnya manusia, sekere-kerenya hidup, setiap orang tua pasti ingin momen yang semoga sekali seumur hidup anaknya itu dirayakan dengan cara terbaik.
Coba deh, bayangkan, momen-momen yang seharusnya indah masak di sederhana-sederhanakan? Lagipula, takaran sederhana tiap orang juga beda. Bisa saja ada yang merasa konsep nikah di atas tadi adalah kemewahan buat sebagian orang (termasuk saya).
Di desa-desa, meski orang tuanya punya rumah yang dindingnya masih bedek/gedeg/tabing (ah banyak bahasanya, intinya anyaman bambu), pasti menikahkan anaknya, minimal membuat acara tetap yang terbaik semampu mereka. Meski orang bilang sederhana, tapi menurut mereka sudah luar biasa. All out demi momen penting sang anak tercinta.
Tegakah, jika keadaan orang tua mampu, tidak memberi yang terbaik untuk momen bersejarah anaknya? Apa iya tega anaknya menjadi korban gonjang-ganjing netizen. Make-up-nya jeleklah, (ingat kan?). Belum lagi ibunya yang bisa jadi objek gosip ibu-ibu PKK. Masak sih setega itu? (T)