Cerpen: Muhamad Kusuma Gotansyah
MALAM itu seseorang memenggal kepalaku di lorong sepi itu, kemudian mengambil kepalaku dan menaruhnya di dalam sebuah karung kecil. Dari celah-celah kecil di karung itu, aku dapat melihat bahwa orang itu membawaku berjalan ke halte lalu menunggu bus di sana. Beberapa menit kemudian bus sampai dan ia menaiki bus itu terburu-buru. Bus itu diisi dengan pasangan-pasangan kursi di kiri dan kanan hingga belakang. Melihat orang itu terburu-buru, si supir bus sempat menghentikannya dan mengingatkannya membayar tiket, dan orang itu pun membayarnya kemudian lanjut terburu-buru mencari tempat duduk paling belakang.
Bus itu sepi, hanya ada seorang wanita tua yang sedang tertidur dan seorang lelaki yang sedang mabuk dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan dengan bergumam. Mereka duduk di tempat duduk-tempat duduk depan bersama kesibukan mereka masing-masing.
Orang yang membawa kepalaku duduk di kursi yang kiri kemudian mengeluarkan kepalaku yang tak sedikit pun bersimbah darah, lalu menempatkan kepalaku di sebelahnya, di kursi yang kanan, menghadap jendela. Aku tak ingin bicara apa-apa, takut ia marah. Sementara ia sendiri membungkam, diam tanpa secercah kata pun.
Mendekati halte berikutnya, orang itu kembali gegabah melakukan sesuatu. Kali ini ia mengeluarkan iPhone-nya yang tersambung dengan earphone yang kabelnya terlilit-lilit. Ia membuka lilitan kabel itu cepat-cepat, dan ketika semakin dekat dengan halte berikutnya ia semakin tak sabar. Setelah berhasil membukanya ia dengan cepat menancapkan earphone ke telingaku, namun hanya yang kanan yang sempat tertancap ke dalam telinga kananku, lalu ia terbirit-birit kabur.
Terdengar petikan gitar di awal lagu ketika orang itu terburu-buru beranjak dari kursinya lalu dengan separuh berlari keluar bus, membuat si supir membentaknya dengan kata ‘bangsat’.
Saat vokal mulai masuk ke dalam lagu, aku mulai sadar bahwa ini adalah lagu Radiohead yang terbaru. Baru saja kemarin aku mendengar dan menonton video klipnya di Youtube. Judulnya I Promise, lagu yang mereka rekam dua puluh tahun silam di waktu yang sama dengan rekaman album mereka yang bertajuk Ok Computer. Perilisan lagu ini adalah salah satu lagu dari tiga lagu yang sebelumnya tidak dirilis di album tersebut untuk memperingati dua puluh tahun album itu rilis.
Lagu yang sederhana, dengan kunci-kunci gitar yang sederhana, lirik yang terbilang sederhana, dan dengan keindahan vokal Thom Yorke yang sederhana. Lalu keadaanku sekarang mengingatkanku kepada video klip lagu itu yang menampilkan hal yang persis sama. Seonggok kepala yang terpenggal duduk memandang keluar jendela di dalam bus yang bergerak maju. Aku menyukai situasi ini, membuatku serasa ada di dalam video klip itu bersama anggota Radiohead yang sedang memainkan lagu itu di dalam bus ini.
Lirik-liriknya mengalir dengan lancar di telingaku. Aku ingin bicara, bukan kepada sesiapa, hanya kepada diri sendiri. Namun ketika bicara, tekakku agak sakit, maka aku tak banyak bicara. Aku pun hanya membuka-buka mulut sedikit, menggumamkan beberapa lirik yang kuhafal sambil melirik-lirik keluar jendela bus.
Di luar jendela bus, aku tak melihat hal-hal yang muncul di video klip itu. Seperti bus-bus lain yang berpapasan dan penumpang-penumpangnya yang sedikit namun berperawakan aneh, atau orang-orang yang menghangatkan tubuh dengan unggun api, dan pejalan kaki di tepian yang memandang-mandang hal yang tak bisa kujelaskan apa. Juga tak ada pemabuk gemuk yang jalan tak menentu muncul dari lorong-lorong di sepanjang jalan.
Cukup anti-klimaks, segalanya tiba-tiba tidak seperti video klip itu. Di luar jendela tak ada siapa-siapa. Selain itu, jika aku memicingkan mata dan memfokuskan padangan, aku dapat melihat bayangan kepalaku di kaca jendela bus ini. Tak ada selain dua hal itu yang aku lihat, membuatku cukup kecewa.
Namun cukup bodoh juga jika aku mengharapkan hidupku menjelma seperti sebuah video klip hanya karena kemiripan yang bisa saja kebetulan. Namun seiring waktu aku merasa bosan, menunggu-nunggu sesuatu yang aku tidak tahu.
Tidak selang dua menit bus berhenti di sebuah halte dekat restoran. Aku mendengar pintu terbuka, kemudian ada langkah kaki perlahan menuju tempat duduk paling belakang. Di sela-sela bunyi langkah kaki itu, terdengar si supir kembali menghujat.
“Jangan bawa makanan ke dalam kendaraan tolol!”
Namun bunyi langkah-langkah itu seakan tak peduli. Tiba-tiba seorang lelaki dua puluh tahunan datang bersama sekantung besar makanan cepat saji di tangan kanannya. Ia melihatku dan sedikit terkejut.
“Wah, kamu kenapa?”
“Oh, ada seseorang yang tidak kukenal tadi memenggalku, lalu kepalaku ia bawa ke sini dan ditinggalkan,” ucapku susah payah, menahan sakit tekak.
“Aneh, tetapi tidak apa-apa, kamu bisa jalan-jalan malam tanpa bayaran bukan? Boleh aku duduk di sampingmu?”
Aku menertawai ucapannya sembari mengedipkan mataku perlahan sebagai pengganti mengangguk. Ia duduk di sampingku kemudian lanjut mengunyah nugget dari kantung makanan cepat sajinya. Ia menawarkanku sepotong, namun aku menolak karena kerongkonganku terputus, sehinnga makanan yang aku makan akan keluar begitu saja dari ujung kerongkongan yang tersisa. Lelaki itu menampakkan wajah memaklumi, seakan berbicara ah, ya, dunia lucu ya?
“Lagi mendengarkan apa?” tanyanya sambil menunjuk ke telinga kananku yang tersumbat earphone.
“Lagu terbaru Radiohead itu, yang spesial ulang tahun kedua puluh Ok Computer,” ucapku perlahan.
“Oh, iya iya. Bagus lagunya. Ngomong-ngomong, dipikir-pikir keadaanmu sekarang mirip sekali ya dengan…”
“Iya, memang mirip video klipnya, aku juga berpikir seperti itu.”
Kembali ia memperlihatkan wajah memaklumi yang sama, lalu lanjut melahap makanan cepat sajinya.
Tak lama kemudian lagu itu habis, dan tak ada lagi bunyi apapun dari earphone itu yang keluar. Entah mengapa tiba-tiba tercetus dari mulutku bahwa lagu itu sudah selesai. Lelaki itu terdiam seketika, kemudian menoleh.
“Oh, iya? Mau kumainkan lagi?”
“Hahaha, tak usah… Aku mau lihat-lihat luar saja.”
Mendengar tawaku ia ikut tertawa kecil, agak kebingungan. Lalu ia mendapati kantung makanannya telah kosong, yang bermakna makanan cepat sajinya telah habis. Ia menoleh, lalu sambil tertawa berkata, “Yang ini juga habis.”
Kami berdua terkekeh aneh, menertawakan apa adanya dunia.
“Kenapa ada orang yang tiba-tiba memenggal kepalamu?”
“Aku juga tidak mengerti. Aku sedang pulang dari toko grosiran, tiba-tiba ada seorang lelaki misterius memanggilku dari sebuah lorong gelap yang sepi. Awalnya dia menawarkan mixtape pribadinya dia, bilang macam-macam tentang selera musiknya yang tinggi dan lain-lain. Entah kenapa ketika aku tolak tiba-tiba menggal saja pakai pisau.”
“Begitu saja?”
“Iya, begitu saja.”
“Lalu earphone itu?”
“Ini dia yang nancep.”
“Tujuannya apa?”
“Entah, mungkin lagu itu salah satu lagu di mixtapenya.”
“Tetap saja, tujuannya apa?”
“Ah, entahlah. Mungkin dia mau memaksaku mendengarkan lagunya dengan cara begini supaya lebih nangkap feel-nya.”
“Hahaha, tolol.”
Kemudian kami terdiam kira-kira selama lima menit. Ia memain-mainkan kantung makanannya; ditiup hingga kembung, dirimek lalu dilempar, dikembangkan kembali lalu ditiup kembali. Sementara aku masih sibuk melihat-lihat keluar jendela. Aku melihat orang yang tadi memenggalku di salah satu lorong, kemudian memanggil seseorang. Seketika aku tersentak, lalu memerhatikan pertemuan mereka, namun bus ini melaju lebih dahulu sebelum aku dapat melihat kelanjutan cerita dua makhluk Tuhan itu.
Aku masih dibayang-bayangi penampilan dan perilaku orang itu. Seorang lelaki muda dengan penampilan khas anak-anak terbiar yang punya masalah keluarga dan gemar mendengarkan Green Day, lengkap dengan hoodie. Menawarkan CD berisi mixtapenya yang ia sanjung-sanjung berupa kumpulan lagu-lagu favoritnya yang berkualitas tinggi, dari lagu pop hit zaman 1960an hingga musik alternatif awal 2000an. Tiba-tiba menebas leherku dengan sebilah pisau tajam, memisahkan kepalaku dengan tubuhnya dengan sempurna. Kemudian ia menyimpan kepalaku ke dalam karung kecil miliknya yang dari tadi ternyata ia sembunyikan di balik hoodienya. Dan meninggalkanku di dalam sebuah bus.
“Kamu tidak kangen dengan tubuhmu?” ucap lelaki di sampingku, memecahkan hening, setelah sebentar tadi kuintip ia memasang wajah mengingat-ingat sesuatu, lalu menemukan hal yang ia coba ingat-ingat itu.
“Sekarang, setelah kamu mengatakannya, sepertinya cukup kangen.”
“Kamu masih ingat dimana tubuhmu tertinggal?”
“Eh, sudah berapa halte tadi ya?”
“Sepertinya lima.”
“Nah, lima halte sebelum ini, di lorong sepi di antara sebuah apartemen dan toko peti mati.”
“Baiklah, mau kuantar kesana?”
“Hah, memangnya kenapa?”
“Bisa kubawa ke rumah agar dijahitkan kembali oleh ibuku. Dulu kepala adik perempuanku juga pernah terputus dari tubuhnya, lalu ibuku menjahitkannya kembali ke tubuhnya, dan sekarang ia tumbuh dewasa seperti biasa, tidak ada masalah. Mungkin saja ibuku dapat membantumu.”
“Ah baik sekali kamu. Boleh juga, terima kasih banyak ya sebelumnya.”
“Tak usah dipikirkan, aku hanya mau membantu. Setelah ini halte terakhir, lalu kita cari bus yang menuju halte yang kau sebut tadi. Semoga tubuhmu masih ada.”
“Aku mengharapkan hal yang sama.”
“Eh, tetapi, ngomong-ngomong, boleh aku menaruhmu di kantung ini?”
“Hm? Ah tidak apa-apalah, sekurang-kurangnya bau makanan.”
Ia tertawa kemudian memasukkanku ke dalamnya. Aku cukup terkejut karena muat, antara kepalaku yang tergolong kecil atau lelaki itu memesan makanan ukuran jumbo. Ia bertanya kepadaku apakah aku ada masalah pernafasan ketika aku berada di dalam kantung itu, aku menjawab tidak ada masalah. Kami berdua keluar bus di halte terakhir, lalu menunggu bus yang menuju ke arah berlawanan.
Ketika bus yang baru telah sampai, kami pun berangkat. Dan aku menikmati malamku yang ditunda menjadi video klip sebuah lagu. (T)
Kuala Lumpur, Juni 2017