ENTAH apa yang terjadi pada dunia sepak bola tanah air. Berita kekalahan sebuah tim, berita kemenangan, berita tentang komentator dengan bahasa aneh, dan berita lain yang ditunggu atau tak ditunggu, sepertinya tak pernah lengkap tanpa berita duka tentang matinya supporter dalam sebuah kerusuhan saat menonton sepakbola, atau usai menonton.
Belum lama ini diberitakan seorang suporter bola bernama Banu Rusman meninggal dunia. Banu adalah seorang fan klub sepak bola Persita Tanggerang yang meregang nyawa saat terjadi duel panas antara Persita dan PSMS Medan di Stadion Persikabo, Cibinong, 11 Oktober lalu.
Seperti dikutip media online, kericuhan terjadi setelah sekelompok pendukung tim tidak puas dengan hasil pertandingan, lalu memasuki lapangan dan memprotes panitia pertandingan. Tindakan itu mendapat respon dari suporter lain sehingga terjadi kericuhan, Bentrok pun tak terhindarkan, sebagaimana suasana ayam aduan atau lebih mirip dianalogikan seperti adu jangkrik.
Gila. Bola yang harusnya diperebutkan oleh 11 orang malah diperebutkan oleh ratusan bahkan ribuan orang, di dalam lapangan atau di luar lapangan. “Ckckckc tak patut,” kata Upin Ipin yang kepalanya benar-benar seperti bola.
Ternyata Banu Rusman bukanlah orang pertama yang menjadi korban kebiadaban birahi prahara rumah tangga persepakbolaan nasional. Menurut data dari sporturism.id, Banu adalah korban kesebelas pada tahun ini.
Gila, 11! Apakah kesebelas orang tersebut akan membuat klub sepak bola di alam sana? Ada pepatah mengatakan, “cinta bole, goblok jangan!” Apakah mereka rela mati demi klub sepak bola yang ngimpinya mau masuk Liga Champion Asia? Ndeso, kampungan!
Tetapi nasi sudah basi, mereka sudah berpulang. Marilah kita panjatkan doa yang mendalam sedalam samudra biru di Antartika. Bagaimana pun kematian adalah hal yang menyedihkan, terutama bagi anak, istri, dan anggota keluarga lain. Tapi kematian akibat membela seperti babi yang buta pada sebuah klub sepakbola, bukan saja menyedihkan, tapi konyol dan sia-sia.
Banyak orang berani mati. Tapi jika ada yang berani mati karena membela sebuah tim sepakbola, padahal ia hanya supporter, tentu keberanian itu harus dicurigai. Benarkah ia memang berani mati karena sepakbola, atau karena hal lain, seperti kemiskinan misalnya. Atau karena hidup sudah amat pasrah, pendidikan gagal, kerja gagal, rumah tangga gagal, lalu mencari kesibukan menjadi supporter sepakbola. Bahkan supporter paling berani mati, lebih berani dari pemain yang telat gajian.
Bahkan soal mati pun sesungguhnya tak layak dibicarakan dalam dunia sepakbola. Karena pertandingan bola bukan pertaruhan nyawa, ia pertaruhan kesenangan. Jika mencari senang, kenapa harus mati. Bola adalah hiburan yang tak lebih berarti dari sebuah nyawa 😊
Sebelum tulisan ini saya tuntaskan, tiba-tiba turun berita bahwa penjaga gawang Persela Lamongan Choirul Huda meninggal dunia saat bertanding melawan Semen Padang akibat tabrakan maut dengan dengan pemain lain.
Untuk itu, tulisan ini saya sudahi. Ini adalah tulisan sebenarnya untuk mengkritik para suporter yang mudah tersulut emosinya. Juga kepada PSSI agar mengusut tuntas dan memberikan sanksi tegas kepada semua pihak yang bertanggung jawab atas kematian supporter itu.
Untuk meninggalnya Choirul Huda (bukan supporter, tapi benar-benar pemain bola) saya sampaikan turut berduka. (T)