USAHA Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan usaha yang mempu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas ke masyarakat. Sektor ini juga dapat berperan dalam pemerataan dan peningkatan pendapat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mewujudkan stabilitas nasional (Komarudin, 2014).
Bila mengacu kepada UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UU UMKM), konsep usaha Mikro, Kecil dan Menengah memiliki banyak pengertian: pertama, usaha yang didirikan untuk tujuan kegiatan ekonomi dan bukan kegiatan nirlaba; kedua, usaha yang bersifat produktif atau menghasilkan keuntungan atau laba dari usaha; ketiga, usaha yang mandiri atau berdiri sendiri bukan bagian, cabang, ataupun afiliasi dari usaha lain; dan keempat, usaha yang dimiliki oleh perseorangan ataupun badan usaha.
Sektor UMKM berperan besar dalam menyerap tenaga kerja Indonesia yang notabene masih memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Berdasarkan BPS jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2013 mencapai 114,0 juta orang. Dari jumlah tersebut sekitar 54,6 juta orang atau 47,90 persen di antaranya merupakan para pekerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah. Sedangkan pekerja dengan pendidikan diploma tercatat hanya sekitar 3,2 juta orang (2,82) persen dari pekerja dengan pendidikan sarjana hanya sebesar 7,9 juta orang (6,96 persen) (Komarudin, 2014).
Sedangkan pada Februari 2017 jumlah angkatan kerja mencapai 131,55 juta. Dari jumlah tersebut sekitar 75,21 juta atau 60,39 persen merupakan para pekerja dengan tingkat pendidikan SMP ke bawah. Sedangkan pekerja dengan pendidikan tinggi hanya 15,27 juta orang (12,26 persen) dengan rincian 3,68 juta orang berstatus diploma dan 11,59 juta orang berpendidikan sarjana.
Dari data di atas dapat kita lihat, sebagian besar penduduk Indonesia hanya mempu bekerja di level bawah yang tidak memperlukan keahlian khusus, seperti di sektor pertanian, perkebunan, perdagangan, perikanan, dan menjadi buruh sektor jasa yang merupakan bidang UMKM selama ini.
Menurut Menteri Koperasi dan UMK Sjarifuddin Hasan jumlah UMKM pada 2013 saja telah menembus angka 55,2 juta unit dengan sebagian besar (54,6 juta) merupakan usaha mikro, sedangkan usaha kecil sebanyak 602,195 unit dan usaha menengah 44,280 unit. Penyerapan tenaga kerja UMKM sebanyak 101,72 juta orang atau meningkat 2,33 % dibanding 2010 sebanyak 99,401 juta orang (Komarudin, 2014).
Selama ini UMKM telah memberikan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PBD) sebesar 57-60 % dan tingkat penyerapan tenaga kerja sekitar 97 % dari seluruh tenaga kerja nasional (Profil Bisnis UMKM oleh LPPI dan BI tahun 2015). Hal ini menunjukkan bahwa sektor koperasi dan UMKM tetap menjadi kontributor terbesar dalam penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha.
Sayangnya, dalam konteks Indonesia, potensi besar UMKM tersebut, belum dimanfaatkan dengan baik. Sektor ini telah lama menjadi tumpuan dari 92,72 % tenaga kerja di luar pemerintah dan usaha besar, seharusnya menduduki tempat penting dalam wajah ekonomi Indonesia pasca kritis (Sutrisno, 2009).
Alih-alih mendapat perhatian, saat ini UMKM malah lebih banyak menghadapi masalah, seperti rendahnya produktivitas, keterbatasan akses kepada sumber daya produktif seperti modal, teknologi, informasi dan pasar, kualitas sumberdaya manusia yang rendah serta iklim usaha yang belum menunjang secara optimal (Suzetta, 2008). Ditambah lagi, situasi globalisasi dan liberalisasi yang menyulitkan berkembang secara optimal (Komarudin, 2014).
Dalam hal ini, keterbatasan modal masih menjadi permasalahan klasik di Indonesia. Pemerintah sebenarnya sudah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan agar UMKM lebih mudah mendapatkan akses modal mengingat UMKM memiliki sumbangsih besar terhapat pendapatan negara. Belum lagi masalah teknologi dan informasi. Kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) yang rata-rata masih rendah juga perlu ditingkatkan. Terutama keterampilan yang ditekuni atau menjadi keahlian di bidang UMKM. Karena hal ini akan berpengaruh atau menentukan permintaan pasar yang terus berkembang.
Di era ekomomi global ini tentu UMKM yang dijadikan sebagai pilar ekonomi kerakyatan diharapkan dapat membentuk masyarakat yang mandiri tidak lagi menjadi masyarakat yang konsumtif (hanya bisa membeli). Terkait hal ini, pembatasan kesempatan bagi usaha besar atau pedagang-pedagang besar dengan penerapan peraturan pemerintah sangatlah penting. Terbentuknya masyarakat yang mandiri, secara otomatis akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya yang secara tidak langsung manajemen yang terlatih menghadapi berbagai tantangan juga dapat terbentuk (komarudin, 2014).
Demikian banyaknya permasalahan UMKM di Indonesia untuk dapat berdaya saing di era ekonomi global ini tentunya memerlukan penanganan yang serius dari semua pihak, masyarakat (SDM), hukum untuk mengatur, melindungi, dan mengembangkan, dan tentu pemerintah menjadi pihak yang paling utama untuk mengatasi permasalahan ini, agar UMKM kedepannya bisa menjadi pilar ekonomi kerakyatan yang akan membawa Indonesia lebih maju dan bersaya saing. (T)