BALI sedang dirundung sedih. Gunung Agung di Karangasem bergejolak. Ribuan penduduk mengungsi. Media sosial ramai oleh berita Gunung Agung. Juga doa-doa dan solidaritas masyarakat Bali yang membantu para pengungsi. Tak ketinggalan, berita bohong (hoax) dan berita tentang sapi-sapi penduduk yang dibeli murah oleh para saudagar. Semangat menyamabraya masyarakat Bali tampak pada saat-saat krisis seperti ini. Tak menunggu bantuan pemerintah, masyarakat bahu-membahu membantu sesama warga Bali yang dirundung bencana.
Melihat ini saya teringat bencana Gunung Merapi tahun 2010 silam. Walau hanya mengikutinya melalui TV dan koran saya bisa merasakan kepedihan warga Yogya tersebut. Apa yang terjadi di Yogya tujuh tahun lalu tersebut bisa dijadikan pelajaran oleh masyarakat Bali tentang bagaimana menghadapi dan apa yang mesti dilakukan ketika bencana gunung berapi menghampiri.
Wahyu Budi Nugroho, Sosiolog Universitas Udayana dalam catatannya mengungkapkan pengalaman sewaktu terjadi erupsi Gunung Merapi. Menurutnya, bagi mereka yang tinggal di luar radius berbahaya ihwal yang sarat diwaspadai adalah abu vulkanik. Apabila tanda-tanda hujan abu vulkanik sudah tampak, maka yang perlu dipersiapkan adalah masker, kertas koran, air, stok makanan dan jaringan internet.
Masker jelas digunakan untuk melindungi saluran pernapasan agar terhindar dari ISPA, kertas koran diperlukan untuk menutupi lubang-lubang ventilasi rumah agar tak kemasukan abu vulkanik. Sedangkan air, di samping untuk minum, juga digunakan untuk menyiram halaman untuk mengurangi efek abu vulkanik, Adapun jaringan internet diperlukan untuk terus mengikuti perkembangan letusan gunung berapi.
Nugroho juga mengungkapkan, di Yogya setiap Gunung Merapi meletus, tim SAR (BASARNAS) dan para relawan selalu menyediakan live streaming via internet (website) untuk mengabarkan perkembangan perkembangan terkini menyangkut; arah guguran lava pijar, aliran lahar dingin, hembusan arah angin yang membawa abu vulkanik serta bilamana terjadi letusan-letusan susulan; bahkan bisa secara langsung dan terus-menerus mendengarkan komunikasi tim SAR lewat handy talkie (HT). Ini mengingat, televisi dan radio yang tak mungkin menyiarkan perkembangan letusan gunung secara terus-menerus.
Ini perlu ditiru oleh tim SAR juga Badan Nasional Penangggulanngan Bencana (BNPB) yang saat ini telah bersiaga di Karangasem. Teknologi terkini bisa diterapkan seperti yang dilakukan di Yogya. Masyarakat biasanya mengikuti perkembangan bencana gunung Agung melalui TV dan media sosial yang mana masih ada saja berita bohong (hoax) yang menyesatkan. TV lokal di Bali hendaknya lebih cepat memberitakan perkembangan Gunung Agung. Banyak warganet Bali yang mengeluhkan hal ini, berita tentang gunung Agung malah lebih banyak disajikan TV nasional ketimbang TV lokal.
Hal menarik lain dari letusan Merapi beberapa rahun lalu seperti yang diungkapkan Nugroho adalah Mbah Maridjan yang bersikukuh untuk tetap tinggal dan memilih mengembuskan nafas terakhir bersama hembusan awan panas Merapi yang oleh warga lokal disebut wedhus gembel (kambing gembel) karena awannya berbentuk seperti bulu kambing yang tak terurus.
Tak sedikit pihak yang menanggap Mbah Maridjan tolol, atau “mati konyol”. Namun, analisis sosiologis menunjukkan pemahaman lain. Mengingat Mbah Maridjan ditempatkan sebagai “juru kunci Merapi” yang dengan demikian mempunyai status dan peran menjaga Merapi, maka justru menjadi hal yang memalukan apabila Mbah Maridjan ikut mengungsi bersana masyarakat sekitar. Dengan kata lain, martabat dan harga dirinya sebagai juru kunci akan jatuh di mata masyarakat jika ia meninggalkan Merapi.
Dikutip dari laman Sejarah Bali, kalau kita lihat saat Gunung Agung meletus pada 1963 silam, tak hanya juru kunci Gunung Agung yang tak mau mengungsi, bahkan hampir semua lelaki dewasa dari beberapa desa “menyambut” lahar tumpahan gunung Agung tersebut, seperti yang terjadi di Badeg Dukuh yang menurut budayawan Bali Cok Sawitri memang bukan perdukuhan biasa. Kepala dukuhnya seperti juru kunci Gunung Agung, seperti Mbah Maridjan di Gunung Merapi.
Dia bertugas berkomunikasi dengan Gunung Agung. Saat meletus, dia tak mau mengungsi. Saksi mata yang mengevakuasi korban awan panas di Badeg Dukuh pada waktu itu bercerita bahwa di pura itu seperti upacara penyambutan, semacam odalan. Saat ditemukan, para korban dalam posisi duduk menabuh gamelan. Kepala dukuh duduk dengan genta masih di tangan. Dia berdoa. Semua korban, menurut Cok Sawitri berlapis debu, saat disentuh langsung hancur. Cok yakin, orang-orang yang meninggal di pura Badeg Dukuh itu sengaja menyambut letusan.
Menurut Nugroho, letusan gunung berapi tentu membawa beragam dampak kerugian seperti rusaknya tempat tinggal dan berbagai bangunan lain, matinya ternak, kegagalan panen serta terganggunya aktivitas keseharian masyarakat. Namun, apabila kita menggunakan sudut pandang lain, letusan gunung berapi bisa menjadi keberkahan tersendiri. Dan memang, hanya lewat letusan gunung berapilah, pasir dan segala macam bebatuan muncul ke permukaan.
Di Yogya misalkan, letusan Gunung Merapi tak lagi dianggap sebagai ancaman dan “kutukan”. Letusan Merapi berarti akan semakin banyak tersedianya pasir berikut bebatuan sebagai bahan bangunan, termasuk bakal semakin murahnya harga berbagai material tersebut. Di samping itu, terbuka pula lapangan kerja baru, yakni mereka yang hendak berprofesi sebagai bego atau penambang pasir.
Dari segi pariwisata, bentang alam baru yang diakibatkan letusan gunung berapi tak kalah menarik untuk dijadikan obyek wisata baru, bahkan di Yogya muncul wahana wisata berupa “Lava Tour” dan “Museum Hartaku” yang berisi sisa-sisa harta masyarakat lereng Merapi pasca dihantam awan panas. Pun melalui sudut pandang ilmu pengetahuan modern, berbagai material yang dimuntahkan gunung berapi adalah sumber kekayaan baru pengetahuan yang tak ternilai harganya di bidang geologi sebagai bahan penelitan termutakhir. (T)