.
SISA KALIMAT
Adakah sisa kalimat untukku ?
Jika tidak biarkan aku berlalu
Meletakkan diri di tepi sungai agar selalu bercermin dari alir airnya
Kulepas kulup murkaku
Kulepas sisik egoku
Menyaru dalam stupa sampai menjelma setengah Budha
Menadahi getah pagi yang kepayang oleh embun
Biarlah rautku paham akan rindu yang mangsi
Sebab telah kukunci mulut menyesap roh Tuhan dari pori kulit sehingga
Gumpalan lemak pecah menjadi daging beraroma dupa
Menyelam dalam kalam dan pulang
Pada rahim yang paling pagi
Adakah sisa kalimat untukku ?
Jika ada, biarkan kuresapi ruh tiap huruf
Menyaring mana yang pantas meski lewat lensa silindrisku
Meraba cahaya yang mungkin jadi puisi di tiap inci tubuhku
Agar aku selalu bangun meriwayatkan siang malam
Dalam hening yang takzim
Merangkum sajak-sajak sunyi dalam lembar-lembar kitab
Tanpa menafsir apapun kecuali hal ihwal
Kedatangan dan kepergian
Tegaljaya, Juni 2017
KE DIRIMU
Ke hatimu paling ceruk
Kutuangkan anggur dan hosti
Mengatupkan hari-hari meragu
Yang lama menganga akibat lapar yang purba
Bayi-bayi menjerit dalam dada
Anggur dan hosti bertukar rupa menjadi cahaya dalam lampin
Memiuhkan nestapa yang berbaris rapi di riak darahmu paling dingin
Adakah yang lebih mengharukan dari ricik anggur yang menuntaskan dahaga
Dan melapangkan jiwa ?
Adakah yang lebih menggetarkan dari santapan hosti yang
Memaknai langkah demi langkah ?
Ke dadamu paling liang
Kudaraskan ayat-ayat dan kisah nabi
Agar kau paham bahasa Ibu
Agar kau jaga jangkar hati dari gelombang yang kuyup oleh liar dunia
Ke rindumu paling biru kupetik huruf-huruf senja
Menanaknya menjadi doa
Membentangkan fragmen syukur
Menggenapkan segala yang ganjil
Seusai kemarau yang panjang
Tegaljaya, Juni 2017
LORONG KEHILANGAN
: Bagi Ayah Ibu
Kau katakan cara mencium kehilangan
Lalu kau tunjukkan lemari tempat kenangan,foto penuh debu,
bumbu dapur, sayap-sayap kuno
dan tanah tempat mengubur ari-ari
Lalu aku menyandingkan kisahku dan kisahmu
Mengakrabi kehilangan membiarkan deretan nada keluar
Dari celahnya yang hitam
Kubaca riwayat air mata di pelupukmu
lalu lendir-lendir berjatuhan dari gelak tawa menjelma
barisan dosa dan doa
Ah, begitu semu batas dosa dan doa di garis matamu
Begitu tipis renjana dan lencana dalam degup jantungmu
Kini kau menjelma sepasang hujan
Menjadi laras bagi musim-musim
Di lorong kehilangan banyak orang tersesat
Termasuk aku yang tertatih keluar dari pengapnya
Di lorong kehilangan keheningan dapat tercipta
Dengan memahami kehilangan sebagai siklus
Dan jalan menuju kesadaran
Kerobokan, Mei 2017
KOTAMU
Menunggumu
Di kota hujan
Tanganku terlipat cemas
Langit senja murung memanggil angin
Kerinduan meniupkan nelangsa ke penjuru sendiku
“Tunggu aku di Bojonggede,” Katamu
Pernahkah angin membisikkan harapan kosong di telingamu ?
Atau hujan datang mengantar nyanyian sunyi di hatimu ?
Di stasiun ini aku merayakan pertemuan
Dalam ingatanku kau memilih pergi
bagai burung yang selalu nyala dalam rumah ingatan dan
asap dupa yang baur dengan udara
Akankah kini kau datang meninjau lekuk wajahku yang lama merindumu
merindu kotamu
Tempat segala angka kita tuangkan
Tempat menyatukan dua sumbu melabur jejak sangka kala
dengan nyala petir yang liar
Seliar parfummu berkelana ke setiap saraf penciumanku
Oh, angin yang memerangkapku di pohon sunyi
Bawalah tangannya padaku
Tangan pemanggil hujan di dadaku
Segugus tangan lembut yang selalu melingkar di pinggangku
Selembut belaian gerimis
Di kotamu yang biru
Tegaljaya, 4 April 2017
KEDAI CUNGKRING
Telah kau lumat aku dalam bumbu kacang manis
Kau lebarkan perih tubuhku menjadi malam panjang
Saat kau kunyah potongan kikil sapi
Kau menjadi takdir bagi kelahiranku
Menimbang-nimbang jarak antara lapar dan nafsu
Tangis dan lara
Lontong-lontong kehilangan cerita
Sebab kebisuan mencatat lebih banyak dosa ketimbang keriangan akan perjamuan di kedai ini
Kita terlalu banyak bersepah hingga malaikat beranjak sedari tadi meski harum cungkring masih tersisa di liurnya
Ke dadaku paling ceruk kau hidangkan cungkring paling lezat tuk penuhi hasrat purba
Kau pungut reremah sesal dan menempelkan identitas di keningku
Huruf-huruf berloncatan dari lidahku tak mampu membedakan terang dan mangsi
Sesungguhnya aku ingin menjadi bumbu bagi cungkringmu
Pelecut gairahmu
Namun kau tak pernah ada di kedai ini
Tegaljaya, 3 April 2017
TENTANG KESIBUKAN YANG BERKEJARAN
Kita tak pernah sepi dari deru kendaraan, asap-asap, alarm
Dan dering telepon
Selalu berlari dalam lautan rutinitas
Segalanya serba terburu-buru
Entah apa yang kita buru
Kelelahan hinggap di tubuh dan jiwa kita
Lama-lama ia berkerak seperti lemak yang mengeras di pembuluh darah
Menunggu saatnya pecah
Mari kita ke Rancamaya belajar bahagia dari alam
Sama seperti ketika pertamakali kata cinta hinggap di telinga
Di Rancamaya kita cipta puisi tanpa mengungkit ketiadaan
Tapi menumpu harapan tanpa mengeja kesibukan-kesibukan yang berkejaran
Kita mulai kehabisan oksigen
Tubuhku tubuhmu beku tak mengenal senyum
Hanya meruncing jarak
Di Rancamaya
Diriku : Hirup oksigen sepuasnya, keluarkan getah luka dari kerutan dahi
Dan kerutan garis senyum
Dirimu : Mengembaralah ke puncak sajak, tebas sekat pekat
Biarlah oksigen mencairkan kerak lemak di pembuluh darah
Kita tanggalkan segalanya
Tambatkan kata-kata dari lidah kaku
Menulis segala yang kita pahami
Merawat rindu membunuh curiga dan
Menerka letakmu di jantungku
Tegaljaya, 4 April 2017