12 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Kenapa Kita (Orang Bali) Berpaling dari Gaguritan?

Sugi LanusbySugi Lanus
February 2, 2018
inOpini
34
SHARES

 

MILAN Kundera, dalam pidato saat menerima Jerusalem Prize di tahun 1985, membedah kelalaian Eropa, yaitu ketidakpahaman mereka pada seni yang paling Eropa: NOVEL. Bagi Kundera, penerima Nobel Sastra ini, pemikiran sastrawan Flaubert lebih berguna dibandingkan gagasan-gagasan Marx atau Frued yang mengejutkan sekalipun.

Semenjak pertengahan tahun 1990-an, saya pun mengamati dengan teliti bahwa kita (masyarakat Bali bahkan kalangan akademis) telah melalaikan salah satu anak terbesar dari peradaban Bali: GAGURITAN.

Gaguritan, yang merupakan salah satu bentuk prosa Bali yang terikat persajakan pupuh, dalam khazanah sastra tradisional dikategorikan sebagai sekar alit (bunga kecil), adalah pintu ke jagat internal alam pikir manusia Bali.

Untuk memahami alam pikir dan dunia imajinasi manusia Bali, jalan terbaik adalah dengan membaca karya-karya gaguritan. Di samping karena bahasanya adalah bahasa pribumi yaitu Bahasa Bali (bukan Jawa Kuna), yang memungkinkan pengarang Bali berekspresi secara maksimal.

Gaguritan tampil dengan menyuguhkan berbagai pengalaman bathin manusia Bali dengan spektrum yang tak terbatas: Rasa lapar, suka-duka, merana cinta, puji-puji, dongeng-dongeng, kehancuran perang, candu, zinah, kelaliman raja, kebodohan raja, perselingkuhan, mitologi, hantu dan berbagai makhluk dari alam lain, tata ruang dan arsitekstur, masyarakat multikultur, dewa-dewi, ilmu hitam-putih, etika, tata krama, kecerdasan dan kedunguan, dalil filsafat dan kenaifan manusia, mantra dan kutukan, petuah-petuah dan umpatan; semuanya bisa menjadi bahan baku untuk ”adonan” gaguritan. Tak ada satu ”ideologi” yang ”menghegemoni” gaguritan.

Karya-karya Ki Dalang Tangsub, seperti Gaguritan Basur, Ketut Bungkling, Ketut Bagus, Cowak; adalah karya-karya yang membuktikan begitu orisinil jagat gaguritan Bali. Karya-karya ini menunjukkan bahwa gaguritan tidak terbebani oleh ideologi tertentu, ia bahkan mendobrak kebekuan ”ideologi” yang mengungkung. Mendekontruksi hegemoni. Sebagai seorang pelarian, yang hendak dihukum oleh Raja Gianyar I Dewa Manggis sekitar tahun 1825, Dalang Tangsub melakukan ”pemberontakan” lewat gaguritan.

Gaguritan di tangannya menjadi senjata ampuh gerilia ide-ide, melawan kekuatan palsu yang mengungkungi alam pikir, membongkar motis dan ”narasi besar” penguasa. Ia membombandir dengan peluru kata-kata. Membongkar narasi besar dengan jenaka. Mencampur aduk realita dan imaji. Membaca karya Kidung Perembon, yang merupakan ”kompilasi” geguritan Ki Dalang Tangsub, saya menemukan semacam campuran semangat Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) dan Jorge Luis Borges (1899-1986) bercampur menjadi api dan spirit karyanya tersebut. (Tentu saja Dalang Tangsub tak pernah mengenal kedua dua sastrawan tersebut. Sebelum dua sastrawan tersebut dilahirkan, sekitar tahun 1825, Tangsub sudah menjadi pelarian. Berlari dari desanya Sukawati – Gianyar ke Desa Nuaba, lalu ke Desa Kuum Sembung-Mengwi, lalu bermukim di Bongkasa – Abiansemal).

Semangat pemberontakan Dalang Tangsub dan kekuatan perceritaannya yang ”berlapis-lapis”, berpadu dengan kekuatannya menyusun argumen. Bahasanya tak pernah lelah untuk menggugat. Lewat karya itu, ia merumuskan ”bungkling-ology”: Sebuah seni debat yang konsisten membongkar mitos dan wacana, yang tak mengutamakan sopan-santun atau ewuh pakewuh, tapi berdasar pada kekuatan gugatan yang bersandar pada ”logika dekontruksi” dan ”rasa humor”. Dalam kakawin, tak pernah saya membaca pemikiran ”nyeleneh” seperti yang Dalang Tangsub tawarkan. Dalang Tangsub, lewat tokoh-tokoh, menjadikan dirinya seorang Balang Tamak di masyarakat Bali yang ”penurut” dan patuh.

Karya Ida Ketut Jlantik, yaitu Geguritan Sucita-Subudi, saya kagumi melebihi isi karya-karya kakawin yang pernah saya baca. Dalil-dalil filsafat dan penjabarannya tentang sesuatu hal sangat ”dingin”. Tentang kesedihan, umpamanya, dalam karyanya ini Ida Ketut Jlantik memuat ”dalil” seperti ini: ”….jatin sangsara punika, wetu saking tingkah pelih, pelih saking katambetan, tambet dadi dasar sedih. Tambete ngawinang lacur….” Selanjutnya, masih dalam pupuh Ginanti VII, ”Tan pawates tan patanggu, kitane sahi nagihin, yaning tan wenten kasidan, sinah dadi sakit hati, ibuk sedih mangangsara, masih tambet manasarin.”

Membaca Gaguritan Sucita, yang cukup panjang itu, yang telah terbit sampai 3 jilid buku sederhana itu (tanpa terjemahan Indonesia), saya mengalami perasaan yang sama ketika saya memasuki Republik-nya Plato, serasa mendengarkan percakapan kaum Stoa yang stoic. Dingin, tanpa kehilangan naluri bercerita untuk merumuskan pemikiran.

Gaguritan Kawiswara, yang tidak diketahui nama pengarangnya (yang akhirnya saya telah menemukan keluarga dan rumah pengarangnya), tentang ”jiwa kepenyairan” dan ”keilmuwan”, adalah karya sastra yang tidak bisa kita sebut sebagai batu locatan untuk menulis kakawin.

Ki Dalang Tangsub, Ida Ketut Jlantik dan pengarang Gaguritan Kawiswara telah membuktikan pada kita bahwa gaguritan bisa menjadi wahana untuk mengekspresikan setinggi-tingginya pemikiran manusia. Mereka adalah putra-putra terbaik peradaban Bali yang mempunyai pencapaian bahasa Bali tiada tara, yang mampu ”mengatasi” dan ”melampaui” aturan pupuh.

Dalam hal kemampuan ”menangkap” realitas sosial, Gaguritan Nyonyah, yang bercerita tentang perdagangan candu pada akhir abad ke-18 di Bali, tak kalah dengan penggambaran karya-karya novel modern. Penggambaran persentuhan antar etnis Bugis, Cina, Bali dan Belanda, menjadikan geguritan ini betul-betul ”sosiologis”. Percakapan dua pencuri yang mengatakan bahwa tak ada neraka setelah kematian, membuat geguritan ini terasa agnostic, cenderung atheistic. Namun, pada bagian lainnya, I Kesian, si tokoh cerita, justru bisa pergi menenggok istrinya di alam kematian. Dan puncak ”absurditas” disuguhkan pengarang, ketika roh istri menganjurkan Kesian (suaminya) untuk kembali ke bumi dan memadat (memakai candu) kalau ia merindukan dirinya. ”Candu adalah jelmaan bidadari surga,” katanya.

Kehancuran sosial pasca-perang juga banyak dituliskan dalam gaguritan-gaguritan yang masuk dalam ”genre” uug(hancur) dan usak (rusak). Contoh-contoh di atas hanyalah beberapa ”permata-permata mulia” dari taman sastra geguritan. ”Kawasan pertambangan” ini, belum banyak dieksplorasi secara ”modern” (baca: dengan teori-teori sosial kontemporer). Pembahasan terhadap sastra geguritan, sejauh ini, hanya berkutat sekitar struktur dan nilai!).

Membaca karya-karya gaguritan itu, yang saya sebutkan di atas, membuat saya menjadi sadar bahwa kita (masyarakat Bali) ”terlupa” untuk memasuki dunia yang berlimpah itu, yaitu gaguritan. Dan tentu, lalai pula untuk membaginya pada dunia. (Eropa membagi soneta pada belahan dunia lain. Kita jadi mewarisi karya-karya soneta M. Yamin dan yang lainnya yang berbahasa Indonesia. Orang Jepang membagi haiku pada dunia. Haiku sampai kini menjadi perbincangan dunia dan sekarang banyak haiku ditulis di luar bahasa Jepang. Kita?).

Dari cara ”membacanya dengan menyanyikannya”, jika diperkenalkan dengan serius pada manusia di belahan dunia yang lain, gaguritan sangat berpotensi untuk menjadi bagian dari pertunjukan opera, atau kabuki, atau pertunjukan-pertunjukan teaterikal yang lain.

Sebelum jauh mengambil ancang-ancang untuk membagi-bagi warisan dunia ini untuk kebudayaan dunia, maka pertama-tama yang perlu dilakukan adalah membongkar ”kesalahan berpikir” yang cenderung menganggap remeh gaguritan. Cara berpikir ”sekar agung” dan ”sekar alit” ini sangat berbahaya. Seperti juga bahaya cara berpikir ”budaya tinggi” dan ”budaya rendah” yang ”meng-kebiri” kreativitas.

Dalam melihat seni, yang berurusan dengan imajinasi, manusia harus melepas segala tetek-bengek hirarki. Melepas dominasi cara berpikir ”feudalism”. Imajinasi adalah dunia yang tak bisa diukur oleh ukuran tinggi rendah seperti membandingkan dua bangunan bertingkat. Dan, gaguritan yang merupakan salah satu cabang seni yang hadir dalam peradaban Bali, yang telah mampu memberi ruang manusia Bali untuk melakukan penjelajahan dunia imajinatif yang mempesona ini, untuk bisa memahaminya secara lebih mendalam, kita harus berhenti memakai ”kaca mata sekar agung-sekar alit”.

Walaupun banyak gaguritan merupakan carangan, karya yang lahir dari resepsi pengarang terhadap ‘narasi besar’ Mahabarata dan Ramayana, gaguritan secara keseluruhan bergerak ”menjauh” dari kungkungan narasi besar tersebut. Gaguritan adalah sebuah ruang pengungkapan kreatif yang ”liberal” yang mampu memberi alternatif dalam ”kebekuan” bahasa Jawa Kuna dan metrum-metrum kakawin yang ketat dengan berbagai aturannya.

Geguritan lebih kuat menangkap ”narasi kecil” seperti cerita rakyat, dongeng, dan serba-serbi hidup yang melingkupi kehidupan keseharian masyarakat Bali, dan juga ”kegilaan” imajinasi pengarangnya. Maka, menghargai gaguritan bukan dengan meletakkannya sebagai kategori “sekar alit”, tetapi lebih baik kita melihatnya, pertama-tama, sebagai sebuah jalan bagi manusia Bali, semenjak awal abad ke-18 hingga kini, untuk melakukan eksplorasi diri dan jalan kreatif untuk pengungkapkan spektrum lebih luas kehidupan di sekitar mereka.

Gaguritan, dalam sejarah perkembangan bahasa Bali, memiliki peranan strategis sebagai salah satu ruang yang memungkinkan bahasa Bali untuk berkembang setinggi-tingginya. Saya mensyukuri gaguritan sebagai “warisan dunia”, bukan hanya karena isi dan kandungan intrinsiknya, tetapi juga karena sumbangan terbesarnya bagi sejarah bahasa-bahasa di dunia berupa kemampuannya merekam secara tertulis kekayaan kosa kata bahasa Bali. Geguritan bukan hanya ”file-file dunia imajinasi manusia Bali”, tetapi juga ”file-file kosa kata”. Kata-kata Bahasa Bali, yang terus tergerus waktu dan ”digusur” oleh bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lainnya, terekam dalam gaguritan-gaguritan.

Dengan cara pandang seperti itu, mudah-mudahan kita punya semangat untuk mencintai kembali, mempelajarinya secara sungguh-sungguh, menerbitkan, dan (kalau bisa) membaginya pada manusia di belahan dunia yang lain (baca: untuk memperkaya kebudayaan dunia) dengan jalan menterjemahkannya, sebab gaguritan adalah salah satu warisan budaya dunia yang tak ternilai, yang singgah dan pernah tumbuh subur di Pulau Bali.

Jika paparan (pengamatan) saya di atas mengandung sedikit kebenaran, lantas: Kenapa kita (orang Bali) mengabaikan dan berpaling dari ’gaguritan’? (T)

  • Ini catatan masa lepas kuliah Sastra Bali bertahun-tahun silam. Sayang dibuang. Maka diunggah di facebook dan di web ini. “Ampura yening kadi nasikin sagara”.
  • Jika ada komentar atau catatan atas note kecil ini saya sangat berterimakasih, matur suksma, apalagi bisa memperluas pemahaman saya tentang Sastra Bali dan Gaguritan, serta sastra tradisional.
Tags: baliBukugeguritanorang balisastra
Previous Post

Cak SMAN Bali Mandara: Mengolah Suara dari Celah Tak Terduga

Next Post

“Si Gug” Jango Pramartha Bicara Sosok Ikonik Dunia Kartun Indonesia

Sugi Lanus

Sugi Lanus

Pembaca manuskrip lontar Bali dan Kawi. IG @sugi.lanus

Next Post

“Si Gug” Jango Pramartha Bicara Sosok Ikonik Dunia Kartun Indonesia

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Krisis Literasi di Buleleng: Mengapa Ratusan Siswa SMP Tak Bisa Membaca?

by Putu Gangga Pradipta
May 11, 2025
0
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

PADA April 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng,...

Read more

Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

by Karisma Nur Fitria
May 11, 2025
0
Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

PEMALSUAN kepercayaan sekurangnya tidak asing di telinga pembaca. Tindakan yang dengan sengaja menciptakan atau menyebarkan informasi tidak valid kepada khalayak....

Read more

Enggan Jadi Wartawan

by Edi Santoso
May 11, 2025
0
Refleksi Hari Pers Nasional Ke-79: Tak Semata Soal Teknologi

MENJADI wartawan itu salah satu impian mahasiswa Ilmu Komunikasi. Tapi itu dulu, sebelum era internet. Sebelum media konvensional makin tak...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co