SEHABIS ngobrol bersama Dewa Gede Palguna di sebuah resto di Pantai Penimbangan Singaraja, beberapa bulan lalu, saya terus dihantui imajinasi keren. Seandainya dosen yang kini menjadi salah satu hakim Mahkamah Konstitusi (MK) itu jadi calon gubernur Bali, apa yang akan terjadi?
Wah, pertanyaannya gawat. Padahal, jawabannya sederhana saja. Jika dia jadi calon gubernur Bali, saya memilihnya. Jangan minta alasan yang berat-berat. Alasan saya ringan saja: dia teman saya.
Sebagai teman (meski kalah akrab dengan ribuan temannya yang lain) saya punya segudang alasan lanjutan kenapa memilih dia. Dia itu orang teater, penyuka sastra, penulis esai yang bagus, dan pernah menjadi penyiar radio. Itu sejumlah alasan cukup yang membuat saya pasti mencoblos gambar kumis di wajahnya saat pemilihan gubernur.
Pastilah kalian menuding saya sangat subyektif. Karena saya juga pecinta teater, penulis sastra dan esai, juga pernah terjun bebas di dunia broadcasting. Jawaban saya: ya, subyektif. Bukankah memilih berdasar subyektifitas bisa juga dipandang sebagai pilihan sesuai hati nurani? Dan bisa jadi obyektifitas dengan berbagai pertimbangan politik, ekonomi, apalagi kekuasaan, adalah pilihan yang jauh dari hati.
Tapi dipikir-pikir, jika Dewa Palguna hanya dipilih berdasar alasan teater dan sastra, tentulah dia tak akan menang. Berapa sih jumlah penggiat teater dan sastra di Bali? Jauh kalah dengan jumlah bebotoh tajen dan anggota ormas. Dihitung-hitung, jika mengandalkan suara saya dan teman-teman teater serta sastrawan di Bali, dia mungkin hanya dapat suara “nol koma sekian persen”.
Dan saya akan tetap memilih dia, karena dia teman saya. Saya bisa katakan kepada teman-teman agar ikut memilihnya, bahwa tidak banyak (menghindar untuk mengatakan ‘tidak ada’) calon gubernur, terutama di Indonesia, berasal dari dunia teater, duni sastra, dunia literasi, dan dunia siaran radio. Karena tidak banyak, dia akan menjadi pemimpin yang unik.
Selama ini tidaklah banyak kepala daerah percaya bahwa membaca buku, main teater, dan menulis karya sastra, bisa membuat sebuah daerah (dan Negara) menjadi maju. Mereka hanya percaya bahwa sebuah daerah bisa dianggap maju karena “yang miskin bisa secepatnya disulap menjadi kaya raya”. Setidaknya begitulah slogan-slogan dalam kampanye politik.
Bahkan tak banyak yang percaya bahwa seorang kutu buku yang punya pikiran intelek dan mengetahui dengan cermat gerak kelindan masyarakat bisa dipilih menjadi Bupati atau Gubernur. Yang dipercaya selama ini adalah uang-lah yang bisa membuat seseorang jadi kepala daerah. Maka, uang juga dipakai ukuran untuk menilai suksesnya sebuah program. Bahkan sukses sebuah hajatan kesenian kerap juga diukur dari banyaknya uang beredar selama hajatan.
Itulah sebabnya kenapa dalam catatan Unesco, Indonesia hanya memiliki minat baca 0,001 persen atau terendah kedua di dunia. Karena sejak dulu kala, tak banyak yang percaya bahwa minat baca adalah cikal-bakal majunya sebuah perdaban.
Lihatlah, ketika pemerintah mencanangkan Gerakan Literasi Nasional, eh, banyak pejabat yang gagap menterjemahkan gerakan itu. Yang terjadi bukanlah gerakan untuk membuat masyarakat rajin membaca, tapi rajin membuat acara seremonial di mana pejabat bisa berpidato tentang pentingnya membaca buku, padahal tak ada anggaran pengadaan buku dalam APBD. Jika pun ada pengadaan buku, judul bukunya bikin eneg “Kumpulan Pidato Bupati”.
Nah, dengan kenyataan itu, Dewa Palguna bisa menjadi Gubernur yang unik. Setidaknya Gubernur yang percaya bahwa minat baca yang tinggi bisa meningkatkan sumber daya manusia Bali. Sumber daya yang bisa menggerakkan perekonomian, politik dan pemerintahan dengan cara yang lebih baik. Bukan sekadar ambisi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) tapi memeras keringat rakyat. Dan bukan pula pejabat yang selalu berdalih bahwa pembangunan telat akibat anggaran yang cekak.
Eh, tunggu dulu. Jangan kira ia hanya akan dapat suara dari kalangan teater dan sastra. Ia pasti dapat juga suara melimpah dari mantan-mantan mahasiswanya, dari kalangan praktisi hukum, dan dari pergaulannya di dunia olahraga bela diri. Dia dosen pengajar ilmu hukum dengan katagori baik, tentu saja. Kalau tak baik, ia tak akan terpilih kembali jadi anggota MK, sebuah lembaga dengan pertaruhan integritas yang tinggi.
Integritas Dewa Palguna di dunia akademik, terutama di bidang ilmu hukum, tak perlu diragukan lagi. Karena hanya berteman di dunia sastra dan tak begitu paham soal kiprahnya di dunia akademik, saya kutipkan sejumlah informasi dari sejumlah situs:
Ia tamat S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana pada 1987 dan S2-nya di Universitas Padjajaran pada 1994. Selain sebagai dosen di FH Universitas Udayana sejak tahun 1988 dan Dosen Luar Biasa pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Dwijendra, Denpasar (1987-1988), ia juga sebagai Co-Lecturer pada Summer Law Programme kerjasama antara FH Universitas Udayana dengan School of Law University of San Fransisco, California, AS (1995 dan 1997).
Palguna juga pernah menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional FH Universitas Udayana (1997-1999) dan Dosen Luar Biasa pada Fakultas Ekonomi Univ. Udayana (1997-1999), kemudian menjadi Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan pada Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia FH Universitas Udayana (1999-2001).
Dengan data seperti itu, suaranya bisa membengkak, dari nol koma sekian persen, menjadi lima nol koma sekian persen. Bukankah kini banyak orang berharap hukum bisa ditegakkan dengan seadil-adilnya? Harapan itu bisa dibebankan ke dia, sebagai calon gubernur yang berasal dari dunia perhukuman.
Tapi, Dewa Palguna tampaknya tak berminat jadi Gubernur. Ia pernah beberapa kali disunting oleh sejumlah kelompok politik atau kelompok masyarakat untuk dijadikan calon gubernur atau calon wakil gubernur. Kata sebuah situs berita: Komunitas Bali Integritas pernah berniat mengusung Dewa Gede Palguna dan Ida Bagus Putu Sukarta melalui Partai Gerindra dalam Pilgub Bali 2013.
Selain itu, dari informasi yang diperoleh dari kalangan teman-teman wartawan, pada Pilgub 2013 itu ia juga sempat digadang-gadang untuk mendampingi Puspayoga. Namun ia mengaku belum tertarik ikut bertarung dalam Pilgub Bali saat itu.
Pada Pilgub Bali 2018 ini, namanya sempat dibisik-bisikan oleh sejumlah teman di Denpasar bahwa ia disebut-sebut oleh sejumlah parpol untuk diajukan jadi calon gubernur atau wakil gubernur. Namun, saya agak yakin, Palguna susah untuk bilang setuju.
Saat bertemu di sebuah resto di Pantai Penimbangan Singaraja, ia dengan penuh canda namun dengan nada tegas menyatakan tak berniat jadi kepala daerah. “Saya punya obsesi untuk mengabdi di bidang lain,” katanya waktu itu.
Apalah saya. Jika ia bilang tak minat, saya tak mungkin memaksa untuk mencoblosnya pada Pilgub nanti. Saya masih bisa mencoblosnya di acara lain untuk dipilih menjadi teman top yang akan ikut memajukan Bali, meski bukan dengan cara jadi Gubernur. (T)