TERINGAT suatu pagi, ketika tahun ajaran baru dimulai, anak-anak Paud terperangah. Ada banyak mainan. Mereka bingung harus memainkan yang mana terlebih dahulu. Akhirnya, mereka memainkan semua permainan yang ada. Namun mereka main tidak sampai selesai. Mereka memberantakkan mainanya begitu saja, kemudian mengambil mainan yang lainnya dan diserakkan begitu saja.
“Bu, aku mau main lego!”
“Bu, Aku main kereta-keretaan!”
“Bu, aku main kenek!”
“Kak, aku main puzzel!”
“Kak, Aku main memori!”
Belum beberapa menit main, mereka sudah meninggalkan mainannya begitu saja. Bahkan, ada yang melempar mainan yang mereka mainkan ketika diminta membereskan. Lalu, sebagai orangtua, pernah tidak menolak membelikan anak mainan, mobil-mobilan misalnya?
“Sayang, gak usah beli mobil-mobilan itu ya! Mobil-mobilan itu jelek, cepat rusak!” Begitu misal rayuan orangtua. Padahal itu hanya sebuah alasan untuk menolak anak walaupun orangtua mampu membelikannya. Kerena, jika dibelikan, mainanya tidak akan bertahan dua hari. Mungkin, orangtua akan marah-marah melihat anaknya merusaki mainannya.
Kumudian, harus bagaimana agar anak menghargai mainannya dan mau merapikan mainnya setelah selesai bermain? Apakah harus marah-marah dan membentak anak? Atau, menjewer anak?
Untuk itu, marilah kita perkenalkan kisah dongeng-dongeng yang mengisahkan betapa berharganyanya mainan untuk anak-anak. Misalnya kisah “Arya dan Patung Dewinya”.
***
Begini ceritanya.
Dikisahkan, ada seorang anak bernama Arya. Ia suka dibelikan mainan oleh orangtuanya. Ia pun memiliki begitu banyak mainan. Ia senang memainkannya, tapi tidak suka merapikan mainannya ketika sudah selesai memainkanya. Bahkan, ia suka melempar mainannya kalau sudah bosan memainkannya.
Ketika malam tiba, semua mainan itu menangis sedih.
“Mengapa aku dirusaki? Aku tidak pernah disayang oleh Arya,” ucap salah satu mainan menangisi nasibnya. Kesedihan para mainan itu pun terus terjadi. Setiap malam, mereka hanya bisa bersedih dan menangis.
Suatu ketika, Arya liburan ke kota bersama ayahnya. Kemudian, Arya diajak masuk ke sebuah toko tua oleh ayahnya. Toko itu dijaga oleh seorang kakek-kakek. Kakek itulah pemilik toko mainan itu.
“Hai, Nak! Mau cari mainan apa?” sapa kakek itu.
“Cuma mau lihat-lihat saja. Siapa tahu putraku ini tertarik dengan mainan yang ada di sini,” ucap Ayah Arya.
“Silahkan lihat-lihat, Nak! Kakek mau ke gunang dulu sebentar mengecek setok barang,” ucap kakek. Kakek pun meninggalkan mereka berdua. Mereka pun sibuk melihat-lihat koleksi kakek itu.
Namun, Arya bengong tak berkedip sedikit pun memandangi patung tua yang terpajang di atas lemari.
“Arya, mau mainan yang mana?” ucap ayahnya.
“Arya mau mainan itu, Yah!” pinta Arya menunjuk patung tua itu.
“Itu tidak dijual sayang. Itu mainan kesayangan kakek. Pilih yang lain saja, ya!” kata ayahnya lembut. Ayahnya tahu kalau patung tua itu adalah barang kesayangan kakek. Ia tahu sejak remaja karena sering main di toko kakek itu ketika libur sekolah.
“Gak mau! Pokoknya Arya mau mainan itu!” kata Arya bersikukuh.
“Tidak bisa, sayang!” bisik ayahnya.
Tetap saja Arya tidak mau memilih mainan yang lain. Bahkan, ia hanya menangis merengek karena hanya tertarik pada patung itu. Patung seorang perempuan cantik yang memangku banyak mainan. Kakek pernah bilang kalau patung itu adalah patung keberuntungan selama bertahun-tahun.
“Arya, itu kan mainan kesukaan anak perempuan,” kata ayahnya mencari-cari alasan.
“Biar saja, itu nanti kan buat adik perempuan Arya kalau sudah lahir,” kata Arya yang masih tersedu-sedu menangis.
Saat itu Kakek datang.
“Eh, kok Arya menangis! Ada apa?” ucap kakek.
“Ini Kek, Arya mau patung keberuntungan kakek itu,” ucap ayahnya Arya bergegas membantu kakek yang sedang kerepotan membawa mainan dari gudang.
“Oh, jadi Arya mau itu?” kata kakek mendekati Arya.
Arya hanya mengangguk.
Kakek pun mengambil patung itu dan memberikannya pada Arya. Arya senang. Ia tak menangis lagi. “Horeee, aku punya mainan baru buat adikku nanti,” ucap Arya senang. Ia sudah lupa akan rengekannya.
“Kek! Bukankah itu benda keberuntungan yang kakek sayangi sejak dulu? Biarkan saja Arya tangisi patung itu. Toh nanti Arya akan diam sendiri dan melupakannya,” tolak ayahnya Arya.
“Tidak apa-apa, Nak. Itu sudah miliknya sekarang. Sebab, ayahku pernah berpesan. Kalau ada anak yang merengek meminta patung itu, anak itu akan memiliki patung itu,” terang kakek pemilik toko tua itu.
Mendengar penjelasan itu, ayahnya Arya hanya bisa terdiam dan tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya berjanji dalam hatinya untuk selalu merawat patung keberuntungan itu. “Arya, bilang makasih sama kakek!” pinta Ayah Arya.
“Makasih kakek. Mainan ini cantik. Nanti pasti adik suka dengan mainanku ini,” kata Arya mengelus-elus patung itu.
Mereka pun pamitan pulang. Senyum ceria menyelimuti wajah Arya.
Sampailah Arya di rumah ketika matahari tenggelam di upuk barat. Arya bergegas masuk kamarnya dan menaruh patung itu. Ia lelah dan tertidur lelap di atas kasur empuknya. Sedangkan, mainannya yang lain masih berserakan di lantai kamarnya.
Tepat tengah malam di bulan purnama, kembali mainan-mainan itu menangis tersedu-sedu. “Andai saja Arya tahu gimana rasanya tidak disayang, tidak dirawat, dilempar, dan dibongkar-bongkar begitu saja,” kata mainan-mainan itu.
Dalam kesunyian malam, patung itu bergerak-gerak memancarkan sinar mengenai tubuh Arya yang sedang tidur terlelap. Tiba-tiba, Arya berubah menjadi mobil-mobilan dan kereta-keretaan. Sementara patung dari kakek itu pun berubah menjadi Arya.
“Pagi, Arya! Tumben anak mama bangun pagi. Cieee, anak mama sekarang sudah pintar bisa merapikan mainannya,” puji mama Arya yang tidak tahu itu kalau Arya itu adalah jelmaan pating. Dan Arya beraubah menjadi mainan.
“Ya, Ma! Aku sekarang menjadi anak yang pintar dan anak yang rajin,” ucap patung yang menjadi Arya itu.
Di sisi lain, Arya yang sudah berubah menjadi mainan, sontak kaget melihat dirinya yang berubah. Ia heran.
“Aku di sini, Ma!” teriak Arya yang sudah berubah jadi mainan.
Namun, mamanya tak mendengar teriakan Arya. Mamanya hanya melihat mainan-mainan itu sekilas, hanya sekedar mainan. Sekeras apapun teriakan Arya, mamanya tetap saja tidak mendengarnya.
“Waktunya Arya sekarang berangkat sekolah! Ayo kita mandi sekarang!” ajak mamanya kepada si patung.
“Baik, Ma!” Patung yang berwujut Arya itu bergegas masuk kamar mandi.
“Arya sekarang mandi dan gosok gigi sendiri, ya!” pinta mamanya.
“Beres, Ma. Sekarang aku sudah bisa sendiri,” dijawab di balik kamar mandi.
“Ada apa dengan Arya? Ia tiba-tiba berubah dengan cepat. Apa aku sedang bermimpi?” pikir mamanya.
Tapi, kemudian mamanya tidak ambil pusing atas perubahan Arya yang tiba-tiba dan mengagetkan itu. Ia hanya bisa bahagia atas perubahan Arya.
Sedangkan, Arya yang sudah berubah menjadi mainan, masih berteriak-teriak memanggil ibunya. Tapi, tetap saja tidak bisa didengar oleh mamanya. Teriakan Arya memanggil mamanya berubah menjadi tangisan sedih yang juga tidak bisa dirasakan oleh mamanya. Sebab, Arya sudah berada di dunia mainan.
“Siapa sesungguhnya yang menjadi diriku? Mengapa diriku berubah menjadi mainan?” pikir Arya sedih.
“Ma! Aku sudah siap berangkat sekolah sekarang,” ucap patung yang berwujut Arya itu mendekati mama Arya yang sedang menyiapkan sarapan.
“Hebat anak mama sekarang, juga sudah bisa pakai pakaian sendiri. Tapi, sisir dulu rambutnya biar tambah ganteng,” ucap mama Arya.
Patung yang berwujud Arya itu pun sarapan. Ia menikmati sarapan nasi gorengnya. “Ma! Arya sudah selesai sarapan. Ayo berangkat sekolah! Tapi, Arya hari ini mau bawa mainan ke sekolah. Arya akan bermain dengan teman baru,” ucapnya.
Lalu, patung yang menjadi Arya itu pun membawa mainan-mainan itu yang sudah dirapikan ke sekolah. “Hai Arya, sekarang waktunya kamu merasakan menjadi mainan. Nikmatilah Arya!” bisik patung itu kepada Arya yang sudah jadi mainan. Arya yang jadi mainan itu dibawa ke sekolah.
“Tolong kembalikan aku seperti semula menjadi Arya yang sebenarnya!” rengek Arya sedih. Namun, patung itu tidak mengabulkan permintaan Arya.
Ketika sudah berada di sekolah Paud, patung itu melihat anak-anak sedang sibuk bermain dengan dunianya. “Hai teman-teman, aku bawa main bagus! Siapa yang mau mainanku ini?” Patung yang dilihat sebagai Arya itu mengeluarkan semua mainan yang dibawanya. Mainan itu sebenarnya adalah Arya.
Anak-anak pun segera menghampiri berebut mainan itu. Mereka pun memain-mainkan sesuka hatinya. Bahkan, ketika anak-anak bosan memainkannya, mereka meletakkan mainan itu di sembarang tempat.
“Begini rasanya menjadi mainan. Aku ditarik-tarik, dilempar, dan berserakan begitu saja di lantai. Semua badanku menjadi sakit semua. Oh, andai aku bisa kembali lagi menjadi Arya yang sesungguhnya, aku akan memperlakukan semua mainanku dengan baik dan merawatnya.” Bisik Arya dalam hati.
“Ah, aku sudah bosan memainkan mainan ini,” ucap salah satu anak yang sibuk bermain.
Tiba-tiba anak itu melempar mainan itu, “Breaaak duuk.”
“Aduhhh kepalaku sakit. Apa yang terjadi dengan diriku?”
Arya meringis sakit mengusap-ngusap kepalanya. Dan, Arya baru sadar kalau baru jatuh dari tempat tidur.
“Ah, ternyata aku hanya bermimpi. Aku tidak benar-benar berubah menjadi mainan. Aku memang benar-benar Arya yang sesungguhnya.” Arya kegirangan memutar-mutar tubuhnya di depan cermin.
Arya teringat akan mimpinya, ia memaling arah pandangannya ke arah patung itu. Ia mendekati patung itu. Patung itu tetap pada posisi semula berada di atas lemari tanpa bergeser sedikit pun.
“Ini patung apa sebenarnya? Mengapa aku memimpikan patung ini? Ah, mulai sekarang aku selalu menjaga dan merawat semua mainanku. Aku tidak akan mudah merusak mainanku. Aku tidak mau terjadi seperti dalam mimpiku,” janji Arya dalam hatinya.
“Arya, kamu sudah bangun? Ayo kita bersih-bersih bersama yuk! Karena sakarang hari minggu,” ucap ayahnya Arya.
“Ya, ayah!” sahut Arya. Arya pun menghampiri ayah dan mamanya yang mulai sibuk membersihkan ruang tamu.
“Sekarang Arya bantu mama membereskan dan membersihkan semua mainanmu yang ada di kamar!” pinta mamanya.
“Ma, Arya sudah membereskan dan merapikan semua mainanku,” ucap Arya.
“Wow, Anak mama sekarang hebat bisa membereskan dan merapikan mainan tanpa ibu pinta,” Puji ibunya Arya. Orang tua Arya pun bergegas melihat ke kamar Arya. Benar saja, semua mainan Arya sudah tertata rapi.
“O ya, Arya! Ayah lupa. Kemarin ketika membeli patung itu di tempat toko kakek itu, kakek berpesan agar Arya menjaga dan merawat patung itu. Katanya, patung itu adalah patung Dewi Saraswati yang sedang memangku mainan,” ucap ayahnya Arya menyampaikan pesan kakek.
Arya hanya mengangguk mendengarkan pesan kakek itu yang disampaikan oleh ayahnya.
“Ah, jangan-jangan Dewi Saraswati yang membuat mimpiku semalam. Mimpi yang benar-benar nyata aku rasakan,” gumam Arya.
Semenjak itu, Arya menepati janjinya selalu merawat dan menjaga mainannya. Kemudian, ketika Arya memiliki adik perempuan, Patung Dewi Saraswati yang memangku mainan itu diletakkan di atas lemari kamar adiknya. Patung itu pun menemani keceriaan adik perempuan Arya. (T)