Cerpen: Kim Al Ghozali AM
USIA kami selisih cukup jauh, dia dua belas tahun lebih tua dariku. Tapi itu tak menjadi soal, justru karena perbedaan itulah membuat hubungan kami menjadi sangat nyaman. Kedewasaan itulah yang membuatku takluk padanya. Dia selalu bisa meredakan gejolak – tempramentalku, dan sifat keibuannya membuatku merasa aman dari rasa cemas tanpa sebab yang seringkali datang tiba-tiba—menghantuiku. Idealnya, dia perempuan yang aku cari selama ini.
Kami pertama kali dipertemukan di sebuah acara sastra di kota yang cukup jauh dari kotaku, butuh waktu sekitar dua puluh jam untuk sampai ke sana dengan perjalanan darat. Kebetulan saat itu aku menjadi pembicara pada salah satu sesi dalam acara tersebut, dan dia menjadi peserta diskusi. Pada sesi tanya jawab, dialah perempuan yang pertama-tama mengangkat tangan ketika moderator acara memberi kesempatan bertanya kepada peserta.
“Mengapa penyair seromantis Anda sampai sekarang belum punya kekasih?” begitulah pertanyaan yang diajukan perempuan itu, yang sontak disertai sorak-tawa peserta lainnya. Ketika waktu menjawab tiba, tentu aku memberi jawaban selugas mungkin untuk menjaga imej–ku di dalam forum dan sebagai penyair, sambil disertai kalimat jenaka.
“Saya masih setia pada puisi, Mbak. Tapi ada juga saatnya nanti saya membagi kesetiaan saya antara puisi dan perempuan.” Tutupku atas jawaban kepada perempuan itu. Dan dia tampak tersenyum.
Seperti lumrahnya acara-acara sastra ketika diskusi formal berakhir, para pemateri atau penulis undangan selalu diserbu oleh para peserta, entah itu meminta tanda tangan untuk bukunya, mengajak selfi atau berbincang seputar kepenulisan serta bertanya ini itu karena belum puas dengan materi yang disajikan, dan itu berlaku tak terkecuali diriku.
Teman pemateriku telah dikerubungi para peserta, sebagian besar perempuan-perempuan muda, mahasiswi, dan ia dengan sabar meladeni mereka mengajak foto satu persatu. Rambut gondrong, sedikit slenge’an, pakaiannya awut-awutan dan sorot matanya yang tajam tentu telah memenuhi syarat-syarat sebagai seniman secara badaniyah. Mungkin itu sebagai daya pesona tersendiri bagi para perempuan. Tapi lebih dari itu mungkin juga mereka kesengsem dengan puisi-puisi romantik yang ditulis temanku di buku keduanya yang baru-baru ini diterbitkan.
Cukup menggelikan rasanya bagiku dikerubungi perempuan hanya untuk mengajak foto atau minta tanda tangan, bahkan ada yang bersalaman dan mencium tanganku. Tapi, toh, tetap aja aku layani juga sampai selesai. Meski ada perasaan kesel namun juga menyenangkan.
Dan setelah satu-persatu para peserta keluar ruangan, kulihat perempuan itu masih juga berada di tempat duduknya, sendiri sambil memegang sebuah buku dengan cover berwarna merah. Tak lain buku itu adalah buku kumpulan puisiku yang terbit beberapa bulan lalu.
Dengan wajah agak sungkan dia memandangiku. Dan aku menghampirinya, sedikit basa-basi kulontarkan pernyataan, “Terima kasih atas pertanyaannya tadi.” Kulihat dia tersenyum sambil memerah mukanya.
“Mas, minta tanda tangannya,” ucapnya pelan sambil menyodorkan buku.
“Terima kasih udah membeli bukuku,” ucapku setelah selesai menandatangani, untuk memancing obrolan lebih lanjut.
“Maaf loh, tadi udah bertanya agak ngawur.” Kini dia sudah tidak canggung lagi setelah ucapan itu. Dan dalam ruangan yang begitu terang dengan sorot lampu, kuamati wajahnya dari samping, tidak cantik tapi manis, dan menampakkan aura keibuannya.
“Aku suka puisimu yang ada di halaman dua puluh tiga. Naratif, romantis dan sedikit erotis. Tapi aku yakin itu cuma khayalan semata. Maksudnya bukan pengalaman empiris penulisnya,” ucapnya. Ucapan yang benar-benar terdengar menggoda bagiku.
“Dari mana bisa berprasangka kalau itu cuma khayalan semata, Mbak?”
“Ya ‘kan belum punya kekasih, paling-paling cuma mengkhayal,” sekaknya.
Tentu aku cuma tersenyum mendengar ucapan itu. Kemudian obrolan pun beralih ke seputar penulisan, teknik mengatasi kebuntuan ide, bertukar kontak dan pertanyaan basa-basi lainnya semacam naik apa ke sini, bersama siapa, memfollow facebookku, berapa hari menginap dan lain-lainnya yang sungguh tidak penting amat. Dari situ juga aku mengetahui dia berasal dari sebuah kota yang cukup jauh, dan datang hanya untuk mengikuti acaraku.
Beberapa jam setelah itu kami pun bersiap-siap untuk kembali ke kota masing-masing. Karena perjalan searah, kami sepakat untuk pulang bersama. Namun karena hari itu berbarengan dengan dimulainya libur panjang akhirnya kami tidak kebagian tiket kereta api.
Dengan terpaksa dan sedikit menyesal diputuskanlah naik bis malam. Sesuatu yang selalu aku hindari ketika bepergian beberapa waktu terakhir ini. Naik bis bukanlah sebuah momen yang tepat menikmati perjalanan, apalagi bis malam. Supir yang ugal-ugalan, calo di terminal, kejahatan yang bisa saja terjadi di dalam bis, macet, dsb. Setidaknya itu yang menjadi alasanku untuk lebih memilih naik kereta api.
Terminal agak sepi, tidak ramai seperti biasanya, mungkin karena sudah hampir jam sebelas malam. Hanya ada satu dua bis yang siap berangkat, dan kebetulan bis jurusan ke kotanya. Tanpa pikir panjang kami langsung menaiki bis itu. Cukup bagus, ber-AC dan dapat jatah air mineral.
Satu jam berjalan, dua jam berjalan, bis masih merambat pelan. Berhenti di beberapa halte kota untuk menaikkan penumpang. Bis berjalan lagi tapi supir tetap belum menunjukkan aksinya. Halus jalannya. Halus, lembut, seperti kendaraan iringan penganten. Dan kursi dalam bis baru terisi separuh.
Kami diam, hanya sesekali saling pandang. Entah, kenapa tiba-tiba sulit rasanya aku mau mengeluarkan suara, memulai obrolan dengannya, kata-kata yang selama ini begitu akrab dan mudah kutuang dalam puisi menjadi menjauh, sulit kugiring ke otakku kemudian dikeluarkan lewat mulut.
Kota demi kota telah dilalui. Sudah sekitar jam satu dini hari. Lamat-lamat suasana mencair, kami duduk tanpa jarak sama sekali dan sesekali dia memegangangi tanganku. Di keremangan ruang bis kulihat dia tak menampakkan rasa ngantuk, begitu pun diriku.
“Ternyata kamu beda dengan puisi-puisimu ya, Mas,” bisiknya, yang membuatku terpaksa menatap mukanya di keremangan itu.
“Puisi-puisinya erotik dan agak nakal, tapi ternyata penyairnya sedikit pemalu,” lanjutnya.
“Apa kau menginginkan aku senakal puisi-puisiku?” godaku. Dia hanya tersenyum manja.
Kemudian kami terus mengobrol hal-hal sepele, jauh dari persoalan puisi. Tentang kehidupan pribadi masing-masing sampai soal rencana-rencana ke depannya. Hingga hari menjadi siang, hingga jalanan terang benderang dan tak lama setelah itu bis memasuki terminal terakhir, tiba di kotanya. Dari perbincangan itu kuketahui dia sudah bersuami dan punya anak satu.
“Lalu bagaimana dengan suamimu?” tanyaku sebelum kami turun dari bis dan berpisah.
Dia hanya terdiam. Seperti ada sesuatu yang berat dan ditahan ditenggorokannya. Dia mengalihkan perbincangan, lalu mengucapkan kata pisah sambil mengulurkan tangannya. Mungkin dia tak bahagia, batinku.
“Dan naik bis ternyata menyenangkan ya,” ucapku kepadanya sebelum kami saling menjauh, dan dia telah ditunggu suaminya di luar terminal, dijemput.
***
Meski berbeda kota hubungan kami terus berlanjut, semakin intim bahkan hampir-hampir tak ada sesuatu yang disembunyikan antara satu sama lain. Dia juga sering bercerita tentang kehidupan keluarganya, tentang anaknya yang baru masuk SMA atau tentang rutinitasnya sehari-hari.
Dan sesekali aku datang ke kotanya untuk menemuinya, tentu saja bisa dibayangkan bagaimana ribetnya menjalin affair itu, lebih ribet dari menjalin kisah dengan ABG cabe-cabean yang masih tidur dengan emaknya, bahkan, pun hanya untuk bertemu. Juga, dua tiga kali dia datang ke kotaku, menemuiku dan itu lebih mudah.
Ketika kami berjauhan kembali, sesekali dia kukirimi penggalan puisi kangennya WS Rendra melalui pesan WhatsApp—media yang selama ini menjadi perantara kami. “Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi, itulah berarti aku tungku tanpa api.”
Aku tidak tahu seperti apa air mukanya ketika menerima penggalan puisi itu, namun aku yakin dia senang dan itu ditunjukkan melalui simbol-emotion yang dibalaskan kepadaku. Kadang juga kukirimi penggalan puisi-puisi erotiknya Rimbaud atau kutipan dari soneta cintanya Pablo Neruda, penyair masyhur kelahiran Chili itu. Sesekali pula kubacakan puisi langsung ketika kami mengobrol melalui telepon.
“Kalau kamu baca puisi, suaramu selalu mengingatkan aku pada sandiwara radio—Tutur Tinular,” kelakarnya dari seberang sana.
Sebagai balasannya aku selalu memintanya bernyanyi, karena dia memang punya suara yang merdu. Akhirnya mengalunlah lagu Negeri di Awan-nya Katon Bagaskara, lagu kesukaannya. Tentu dengan cara-cara begitulah kami merawat cinta jarak jauh kami agar tidak layu.
Pada suatu kali, perempuanku—panggilan akrabku kepadanya—mengirim pesan singkat saja kepadaku, memberitahukan bahwa dia kini hamil lagi. Baguslah, tentu saja aku merespon begitu. Toh, juga perempuan bersuami. Berarti dia akan punya anak lagi. Beruntunglah orang yang dikaruniai anak, apalagi lebih dari satu. Lihat di luar sana banyak sekali lelaki ataupun perempuan yang ingin menikah agar segera punya anak. Banyak pula pasangan sudah menikah selama bertahun-tahun dan belum dikaruniai anak. Tentu betapa tersiksanya batin mereka, mendambakan keturunan untuk melanjutkan silsilahnya, merumatnya di hari tuanya.
Setelah itu dia tidak menceritakan apa-apa lagi, maksudku hal-hal penting mengenai dirinya. Kadang-kadang hanya memberi sebuah laporan kepadaku melalui pesan singkat mengenai dirinya, bahwa dirinya sehat dan normal. Hingga pada tiba hari persalinannya, sang bayi keluar dari rahimnya.
“Mas… Anakmu udah lahir. Anak kita...”.
Bunyi sebuah chat yang membuatku kaget, tapi sekaligus senang dan terheran-heran. Anakku? Sebelum aku membalas chat-nya, dia sudah membanjiri beberapa kalimat lagi.
“Lihat, matanya mirip benar dengan kamu, hidungnya, bibirnya…”
Sambil mengirimi aku beberapa foto tentang bayi itu.
“Seperti halnya anak pertamaku, nanti anak ini juga aku yang akan memberikan nama. Kunamakan dia Milza, sebagai kebalikan dari namamu: Zamil. Milza Setiawan.”
Dari situ kuketahui dia berkelamin laki-laki. Aku melompat girang, aku telah punya anak, dan lebih awal dari seperti yang kubayangkan. Tapi kemudian, tiba-tiba aku menjadi bingung dan sedih, benarkah aku telah punya anak? Benarkah dia anakku, darah dagingku? Bagaimana nasib ke depannya antara aku dengan anakku? (T)