Cerpen: Agus Wiratama
MATAHARI memang selalu memberi senyum. Begitu pula sebaliknya, langit mendung selalu menanam kesedihan yang dalam. Sawah yang sangat luas selalu ada hubungannya dengan kehadiran matahari mengisi hari. Hujan yang indah pun diabaikan. Ia selalu dianggap membawa kesedihan. Memenjarakan dalam kamar.
Tak ada HP, tak ada facebook, twitter, instagram dan yang lainnya. Jangankan HP, listrik pun belum tumbuh rata merambat di sepanjang rumah, atau ruangan. Tiang-tiang beton belum menancap dengan gagah untuk menyanggah kabel-kabel listrik itu. Jalanan pun begitu, belum disiram oleh kerasnya aroma aspal.
Matahari merangkak menuju barat. Tapi merah masih terbias di timur. Yo segera menuju sungai kecil di samping rumah untuk mengusap belek yang menempel pada kedua mata, begitu juga Leh, Ngos, dan Pong. Anak-anak kelas tiga SD tersebut saling mengintip temannya untuk bisa bangun lebih awal. Membasuh wajah, kemudian memastikan kehadiran matahari. Hari itu, Yo bangun paling pagi, ia memanggil Leh, Ngos, dan Pong dengan mulut, juga mata yang berbinar-binar. Yo telah memastikan matahari terbit tanpa dikerumuni semak putih di langit.
Akhirnya mereka bergegas menuju hamparan sawah yang luas di dekat rumah. Tanpa sandal. baju rombeng, baju kebesaran, atau baju kotor bukanlah suatu masalah bagi mereka karena memiliki baju seperti apapun adalah kebanggaan. Tak lupa, mereka harus melapor dulu pada orang tua Yo, minta izin agar tak serta merta dimarahi orang tua masing-masing. Pamitan pun dengan cara yang sangat sederhana.
“Bu, kami main di sawah”.
Ada atau tidak jawaban, dilarang atau tidak, yang penting sudah minta izin. Mereka langsung bergegas lari menuju hamparan sawah yang sangat luas. Mereka berempat menganggap bahwa sawah itu adalah ujung dunia karena tidak ada tumbuhan raksasa atau benda apapun di tempat itu yang menghalangi mata kecuali hamparan sawah yang sudah terpetak-petak dan semak-semak di pinggirnya. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya sawah dengan jerami atau jagung yang tidak terlalu tinggi.
Di sawah mereka memulai ritual anak-anak. Yo memegang tali, sedangkan yang lain menyiapkan layang-layang yang lebih besar dari mereka untuk ditarik. Setelah Yo memberi tugas pada kaki-kaki kurus dan hitamnya untuk berlari, Leh, Ngos, dan Pong turut mengejar Yo.
Layang-layang itu sudah ada di langit dengan sangat mudah, dan waktunya kemudian mengikat tali layangan itu pada semak-semak di pinggir sawah. Ritual pertama telah selesai. Mereka beristirahat sejenak. Duduk di pinggir sungai kecil untuk menghanyutkan lelah. Sesekali mereka mengambil air itu untuk diminum. Ketika lapar mereka tidak perlu berpikir panjang karena mereka berbekal nasi dari rumah untuk disantap bersama.
Matahari yang menyengat tak membuat mereka mengeluh kepanasan. Karena panas seperti itu adalah hal yang biasa. Kaki bercampur lumpur pun tak membuat mereka gatal dan merengek. Mereka menikmati sawah dan jerami sisa panen dengan cara mereka. Meski pun mereka pernah dimarahi oleh seorang petani karena menginjak beberapa batang pohon jagung hingga rusak, mereka tidak pernah kapok. Sawah selalu menjadi ruang mereka untuk bermain.
Mereka bahagia, tersenyum hingga mereka puas. Bermain di sawah yang begitu luas. Matahari panas, tak akan membuat mereka lantas bergegas meninggalkan sawah. Karena sawah tak hanya menawarkan keindahan untuk dilahap mata, tidak juga hanya untuk bermain layang-layang di atas hamparan jerami yang melimpah. Lumpur dan bekas potongan padi yang masih tertanam adalah amunisi untuk permainan yang lain.
Ritual di sawah yang kedua, mereka membuat dua benteng. Yo satu kelompok dengan Pong. Leh menjadi sekutu Ngos. Mereka membuat masing-masing benteng untuk pertahanan. Kemudian melempar lumpur seperti melempar granat dalam perang. Tak ada yang kalah, apa lagi menang. Satu hal yang mereka kejar adalah senang.
Tapi sayangnya, itu adalah cerita Yo pada anaknya. Katanya, itu adalah hal yang dialami Yo sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Sebelum hotel besar berdiri di tengah-tengah sawah. Sebelum, café-café menjalar liar seperti ular. Sebelum sungai menjadi tempat sampah yang mengalir ke laut. Sebelum tiang listrik dan kabel-kabel kusut menutupi langit dan cahaya matahari, sebelum suara burung diganti dengan suara sound sistem yang memekakkan telinga. Sebelum orang-orang berbondong-dondong menanami sawah dengan rumah dan perumahan.
Kini sawah telah berubah. Menjadikan Yo sangat asing dengan semuanya. Hal ini berawal dari tamatnya Leh, Ngos, dan Pong dari kuliah. Sepulangnya mereka ke kampung, mereka sadar dengan keindahan sawah yang mampu mendatangkan uang. Mereka menjadikan kampung mereka sebagai pohon keberuntungan untuk ketiga orang itu, dan mereka berkata pada penduduk asli kampung yang jumlahnya sedikit itu bahwa menjual sawah adalah bagian dari berbuat kebaikan. Leh, Ngos, dan Pong berhasil membujuk penduduk untuk menjual segala sawah yang dimiliki. Kecuali Yo. Mereka tak berani memaksa teman kecilnya itu. Sekali Yo berkata tidak menjual sawahnya, itu berarti keputusan akhir yang tak berani dipaksakan.
Dalam keadaan seperti itu, Yo tidak mampu dialiri paham yang sama dengan teman-teman kecilnya. Namun, ia hanya diam ketika sawah yang sangat luas itu diubah menjadi perumahan, menjadi restoran, menjadi hotel, villa dan bahkan perkantoran dengan gedung yang hampir menyentuh langit. Yo tidak bergerak untuk membantah teman-temannya. Yo juga tidak mengeluh pada siapa pun. Ia hanya murung, menumpuk kepedihannya di dalam diri. Kesal, marah, dan kecewa ia ramu dan racik sedemukian rupa.
Bertahun-tahun Yo memupuk segala perasaan itu dalam diam. Hingga suatu pagi, pada saat-saat itu, Yo sudah tidak kuat lagi menahan segala emosi itu di dalam diri. Selama bertahun-tahun hanya diam, Yo menyusun strategi untuk melakukan sesuatu. Dalam hening, diam, dan sunyi di kamarnya. Segala pikiran untuk berbuat sesuatu tersusun dalam kepalanya. Segala kekacauan yang ada dalam pikirannya ia paksakan menjadi sebuah ide. Ide besar yang akan mengubah dunia.
Yo memanggil anaknya dengan suara yang menggema dan besar. Lalu, anaknya datang menghampiri.
“Ada apa, Yah?” tanya anaknya dengan lugu.
“Ajak semua teman-temamu berkumpul, kita akan bermain seperti permainan ayah sewaktu kecil yang pernah ayah ceritakan itu!”
“Apa aku harus melakukan permainan seperti itu?”
“Iya, karena permainan itu sangat menyenangkan, permainan akan lebih menyenangkan apabila kita bermain beramai-ramai!” Yo menyakinkan anaknya. “Bila perlu, suruh temanmu untuk mengajak teman-temannya yang lain, lalu suruh temanmu untuk mengatakankan hal serupa pada temannya!” lanjut Yo dengan tegas namun santai.
Anak Yo terlihat bingung, lalu anak itu bertanya, “Kenapa kita tidak mengajak paman-paman teman kecil ayah itu?”
“Mereka sudah tidak mengerti permainan ini. Ayah adalah orang yang paling hebat dalam bermain seperti ini. Apalagi mereka terlalu tua untuk hal seperti ini. Ayo, sekarang lakukan apa yang ayah suruh. Kita berkumpul besok di lapangan sepak bola di ujung desa kita, sebelum siang hari!” tegas Yo dengan wajah yang lebih meyakinkan.
Lalu, anak itu pergi dan segera melakukan apa yang disuruh oleh Yo. Meskipun anak itu tidak paham betul apa yang dikatakan oleh ayahnya, namun anak yang masih lugu itu tetap melakukannya karena ia selalu ingat dengan hal yang diajarkan oleh guru di sekolahnya: “Anak harus patuh pada guru dan orang tua!”
Keesokan harinya, tepat pada pukul tujuh pagi. Waktu di mana Yo selalu mengintip matahari di antara celah-celah kabel yang berusaha menutup langit, dan gedung tinggi dengan bangunan yang berhimpit, ia sudah berada di lapangan yang ia katakana pada anaknya. Yo masih merindukan segala hal tentang masa-masa itu. Dan ia menunjukkan pada anak-anak bahwa ada banyak cara untuk bermain.
Dari balik cahaya yang remang, langkah kaki anak-anak mulai memenuhi lapangan sepak bola. Sekitar sembilan puluh dua anak tiba di sana. Yo menyapa mereka satu per satu dengan senyum dan mata yang sangat meyakinkan sebelum menyuruh mereka berbaris dengan rapi. Yo paham betul bagaimana cara memperlakukan anak-anak dengan baik. Kemudian ia menyuruh salah satu anak pada setiap barisan untuk memilih ketua. Pada saat itulah Yo mulai menjelaskan permainan-permainan masa kecilnya.
Pertama, ia mengajak anak-anak itu membuat layang-layang yang besar. Kemudian, bermain perang-perangan. Hingga sore bermain, anak-anak itu tak satu pun yang mengatakan lapar, tak satu pun yang mengeluh lelah. Dalam kehidupan hiruk-pikuk yang tak menyediakan mereka tempat bermain, Yo menyediakannya. Dan semua anak-anak itu begitu menikmati. Pada hari pertama itu, Yo terlihat dihanyutkan dalam lelah. Mengurus anak-anak sebanyak itu, bukanlah sesuatu yang mudah. Ia perlu banyak tenaga untuk memperlakukan mereka.
Keesokan harinya, anak-anak datang lebih banyak. Tiga kali lipat dari jumlah yang kemarin. Debu bertebaran ke mana-mana karena langkah kaki yang jumlahnya berates-ratus itu serempak memukul tanah. Anak Yo yang mengundang teman-temannya itu merasa takut dengan jumlah kedatangan anak-anak itu. Tapi dengan sangat meyakinkan, lagi-lagi Yo membuat anaknya begitu tenang, bahkan ikut bergabung dengan anak-anak yang lain untuk bermain meskipun dalam hatinya Yo merasa tak akan mampu meladeni semua anak-anak itu. Tapi ketika Yo mengingat kembali apa yang akan ia lakukan, semangat kembali berkobar. Lelah telah dibakar. Ia yakin semua yang ia lakukan tak akan sia-sia.
Kali ini, sebelum bermain, Yo mengajak anak-anak itu melakukan yoga sambil memberi mereka pelajaran dengan cara menyampaikan suatu hal. Entah pelajaran apa yang diberikan, entah kata-kata apa yang disampaikan. Yang mengerti hanya anak-anak itu. Namun, anehnya semua anak tersentak diam mendengarkan Yo berbicara. Yo membayangkan dirinya seperti seorang presiden yang sedang berpidato di hadapan masyarakat yang ketika itu adalah anak-anak. Anak-anak itu diam, mata mereka berbinar. Seolah benar-benar paham apa yang dikatakan oleh Yo. Setelah satu jam melakukan yoga dan mendengarkan Yo berbicara, mereka bermain lagi di lapangan itu dengan debu yang beterbangan.
Tak ada satu pun orang tua dari anak-anak itu yang mengeluh. Para orang tua justru bersyukur ketika ada yang mau mengurus anak-anaknya. Kesibukan dunia kerja telah membuat anak-anak itu seperti peliharaan yang sesekali bisa dianggap mengganggu oleh kedua orang tua mereka.
Setiap hari Yo dan ratusan bahkan ribuan anak-anak itu melakukan kegiatan yang sama. Yoga, orasi, dan bermain. Namun, setiap harinya permainan itu selalu berubah. Pilihan Yo sangat variatif. Tidak itu-itu saja sehingga tak ada seorang anak pun yang mengeluh bosan melakukan itu. Mungkin, itulah penyebab jumlah anak pada setiap harinya selalu bertambah. Yo pun bingung dari mana kedatangan anak-anak yang banyak itu. Karena jumlah yang banyak, di lapangan itu dipasang sebuah sound sistem yang besar, dan panggung yang tingginya dua meter. Benda ini tentu tidak disewa oleh Yo sendiri, tetapi semua itu adalah sumbangan dari para orang tua yang merasa senang karena anaknya telah diajak bermain.
Enam bulan sudah berlalu, anak-anak itu rela meninggalkan sekolahnya. Yo berhasil melobi penduduk dengan masuk TV, koran, dan majalah. Bahkan di media sosial dia menyampaikan betapa pentingnya permainan-permainan yang dilakukan oleh anak-anak itu. Wajah Yo terlihat di mana-mana. Bahkan foto copy fotonya tertempel pada setiap tiang yang ada di tepi jalan. Mulai dari tiang listrik, hingga tiang telepon. Kecerdasan Yo untuk melobi membuat para guru setuju dengan apa yang dilakukan Yo. Para orang tua setuju sekolah-sekolah ditutup sehingga anak-anak itu bisa bebas bermain. Orang tua pun semakin bahagia. Guru-guru juga bisa dengan leluasa menikmati liburan dengan gaji yang tetap mengalir sepanjang anak-anak itu bermain bersama Yo. Semua orang sibuk dengan dirinya sendiri, kecuali Yo dan seluruh anak-anak itu.
Kini anak-anak itu sudah berubah menjadi anak-anak yang sangat mandiri. Lapangan sepak bola di ujung desa telah berubah menjadi forum diskusi. Membicarakan topik-topik yang disampaikan Yo pada dini hari. Segala hal yang disampaikan oleh Yo seolah menyihir keseluruhan anak-anak itu. Tetapi, permainan tetap menjadi tujuan berkumpul, tetapi waktu bermain yang dikurangi. Berkumpul lebih banyak untuk berdiskusi. Ketika orang-orang tahu perkembangan dan perubahan yang terjadi pada anak-anak, mereka semakin bangga. Semakin banyak uang yang mengalir untuk membiayai permainan itu.
Tepatnya pada hari Senin, semua semua orang mulai sibuk lagi dengan kegiatan-kegiatannya. Sepeda motor dan mobil saling klakson. Semua itu adalah elegi hari yang tak bisa dihindari. Namun, di dalam kesibukan itu anak-anak datang dengan sangat rapi seperti para tentara. Tanpa suara, berkumpul tanpa canda tawa anak-anak. mereka terlihat seperti orang dewasa bertubuh mungil dengan dua bola mata yang beringas. Kali ini permainan tidak akan dihentikan oleh mereka, temasuk Yo yang memerintahkan hal itu. Menurut Yo hari itu adalah hari yang sangat tepat untuk masturbasi permainan. Sebelum kepuasan itu didapat, permainan tak akan dihentikan.
Mereka membuat lingkaran-lingkaran kecil, permainan yang sesungguhnya akan segera dimulai. Setiap ketua kelompok sudah membawa daftar yang harus dikerjakan. Ketika semua anak itu sudah siap dengan tugasnya, Yo pulang dengan sangat santai. Dengan raut wajah yang lebih bahagia dari yang sebelum-sebelumnya. Meskipun ia tahu, pada permainan ini, anaknya bisa saja mati ditikam belati atau bahkan peluru, mungkin juga diledakkan bersama sebuah gedung bertingkat. Ia siap dengan segala resiko, kepergiannya sekarang pun karena ada hal yang sedang dipersiapkan.
Langkah kaki Yo sudah tidak terlihat, apalagi terdengar, waktunya anak-anak itu menjalankan misinya. Mereka berpencar ke segala arah. Pada saat ini, masih tetap saja, para orang tua dan semua yang melihat anak-anak itu membiarkan mereka berkeliaran pada hari yang sudah gelap. Orang tua masih sibuk mengurus pekerjaannya sendiri. Semua berjalan seperti yang diharapkan yo.
Beberapa anak akhirnya masuk ke setiap kantor polisi, setiap markas tentara. Mereka bepergian hingga berjarak ribuan kilometer dari lapangan tempat berkumpul itu. Mereka bergerilia. Bahkan mereka mampu menyeberangi satu pulau ke pulau yang lainnya. Dengan tampang anak-anak itu, mereka dengan mudah mencuri senjata. Setiap anak, akhirnya membawa satu senjata. Ada yang membawa senapan laras panjang, bom, pistol, bahkan tank. Semua tentara atau polisi yang ingin menghalangi, mereka bunuh dengan sangat keji. Semua dibabat. Tak ada yang berdaya.
Anak-anak itu kemudian menembaki semua orang yang mereka temui kecuali anak-anak yang lain. Mereka mencongkel mata, menembakan peluru tepat pada otak, pada mata, bahkan pada mulut. Mereka kini telah menjadi mesin buas yang siap meratakan siapapun yang menghalangi. Termasuk orang tuanya mereka sendiri. Entah apa yang telah ditanamkan Yo pada otak anak-anak itu. Kali ini penyesalan para orang tua sudah terlamat. Anak-anak sudah menjadi mesin tempur.
Tak ada yang tahu tujuan anak-anak itu kecuali Yo. Polisi dan terntara telah habis, tak satu pun yang tersisa. Begitu pula penduduk, yang terlihat hanya mayat berkaparan, dan api menyala di setiap tempat.
Pada saat itu, Yo dan anaknya muncul dengan alat berat. Ia merobohkan semua bangunan bertingkat yang ia temui. Menyemburkan api pada tiang-tiang penyangga kabel kusut, kemudian menumbangkannya. Akhirnya semua diratakan dengan tanah. Api masih menyala dimana-mana, sesekali tangisan masih terdengar. Namun, ketika ada anak-anak yang mendengar tangisan, orang itu akan langsung ditembak atau ditikam dengan belati hingga tangisan itu tak tersisa lagi.
Semua gedung sudah selesai diratakan, anak-anak itu berkumpul lagi di tengah-tengah kekacauan itu, Yo berdiri pada tumpukan beton bekas gedung tinggi. Api masih menyala-nyala. Di sana ia berorasi sekali lagi pada anak-anak itu.
“Permainan kita sudah berakhir. Kita adalah pemenang yang sesungguhnya!” ucapnya dengan tegas dan berapi-api.
Lalu semua anak itu mengangkat tangan sambil mengangkat senjata yang mereka bawa dan berteriak “Kita menang! Kita menang! Kita menang! Kita menang!” Begitu terus menerus.
Yo mengangkat tangannya lagi, memberi tanda untuk berhenti berbicara. Lalu Yo berkata, “Besok, kita akan melihat langit biru tanpa dihalangi kabel, tanpa dihalangi gedung tinggi. Air tak akan lagi kotor. Dunia adalah tempat kita bermain” seru Yo dengan sangat bersemangat.
Tapi, suara tembakan terdengar, Seketika Yo terjatuh dan terkapar di atas puing-puing bangunan. Kepala Yo mengeluarkan darah, sebuah peluru sudah tertancap di sana. Ia tertembak. Salah satu anak telah menembaknya. Semua anak kebingungan, tetapi anak Yo muncul di atas puing-puing itu dengan tawa yang menggelikan. Kematian Yo menjadi kemenangan sesungguhnya bagi anak itu.
Anak itu menyerukan bahwa permainan belum selesai. Sontak ribuan anak itu berteriak kegirangan. mereka bertambah senang, senyum anak-anak itu bertambah lebar. Matanya semain buas. Permainan anak-anak itu dilanjutkan. Mereka membentuk kelopok-kelompok dan bermain perang-perangan dengan senjata sungguhan tanpa berhenti, tanpa larangan. Semuanya adalah anak-anak. mereka telah benar-benar berkuasa. Anak-anak telah mengkudeta desa, kecamatan, kota, negara, hingga dunia. Tak ada lagi orang tua. Perang-perangan dengan senjata akhirnya merambat kemana-mana. Ke segala penjuru dunia. Perang itu mengalir tiada henti hingga kapan pun, hingga di mana pun. (T)