MINGGU 2 Juli 2017, terlaksanalah Diskusi Kecil-kecilan sebagai jawaban dari kegelisahan kami akan diskusi teater – yang mungkin saja tidak mati – tetapi tidak tumbuh subur di Denpasar. Sebagai orang yang ingin menekuni lebih jauh dan mempelajari lebih dalam dunia perteateran, saya pribadi beserta kawan-kawan muda lainnya merasa butuh suatu wadah untuk bertukar pikiran, pengalaman, maupun pembelajaran, sebab diskusi-diskusi seperti yang terjadi 2 Juli itu sangat jarang ditemui sejak awal belajar teater.
Di beberapa pengalaman diskusi, ada keresahan saat melihat sebagian besar orang yang ada di lingkaran tidak terlibat secara aktif, terutama anak-anak muda seperti saya. Entah karena tidak paham, atau memang tidak ingin angkat bicara. Tetapi menurut salah seorang teman, mungkin hal itu terjadi karena tidak ada kesamaan referensi satu dengan yang lainnya.
Maka dari itu, lahirlah Diskusi Kecil-kecilan dari kami yang penuh keresahan ini. Sesuai dengan namanya, Diskusi Kecil-kecilan adalah diskusi yang dikemas dengan santai dan sederhana, bukanlah diskusi penuh ketegangan dan debat kusir. Melalui diskusi ini, kami berharap dapat memfasilitasi kawan-kawan yang ingin berbagi dan meluruskan kebingungan-kebingungan seputar teater yang sering menghantui agar meyempitkan lagi kesenjangan referensi antara satu dengan yang lainnya. Karena bagaimanapun, regenerasi itu pasti akan terjadi. Sehingga, alangkah indahnya jika nama besar dengan segala pengalamannya bersedia membagikan ilmu kepada kami yang kecil ini agar kami punya bekal untuk belajar yang lebih nantinya.
Jong (nama di KTP: Putu Santiasa Putra), sebagai perwakilan dari Teater Kalangan, terlihat lebih cerah dari biasanya. Sebelum diskusi dibuka, dia sibuk menyiapkan ini-itu yang diperlukan. LCD, proyektor, kopi, teh, dan lainnya. Kawan-kawan dari Teater Orok, Angin, dan Rakmung yang hadir membaur dalam obrolan yang tentu saja dilengkapi oleh kelakar khas dari Jong, yang sekaligus menjadi pemandu diskusi dan juga Iwan CRX, yang merupakan sesepuh Teater 108.
Ruang sekretariat Teater Orok Noceng pun menjadi ruang keluarga yang hangat. Yang muda, yang sepuh punya hak bicara yang sama. Yang tidak mau bicara, dipaksa untuk bersuara. Bukan apa-apa, itu hanya untuk melatih keberanian berpendapat di depan umum.
Bahan diskusi perdana itu adalah pementasan drama satu babak berjudul Pinangan karya Anton Chekov yang dibawakan oleh Komunitas Teratai pada tanggal 30 Juni 2017 di Bentara Budaya Bali, serta oleh Teater Tiga SMA Negeri 3 Denpasar dengan naskah yang sama di acara Makramat (Malam Kreativitas Anak Muda Tiga) tahun 2014 yang lalu.
Ada rasa yang berbeda dari dua pementasan yang disajikan. Cenderung bertolak belakang. Namun sebelum menuju ulasan kedua pementasan tersebut, kami sangat mengapresiasi kawan-kawan dari Komunitas Teratai yang meskipun dengan keterbatasannya, mereka tetap semangat berkarya dan mewujudkan sesuatu yang selama ini dipandang tidak mungkin bagi kebanyakan orang. Hal ini patut memacu semangat kawan-kawan yang lain, bahwa sebenarnya bukan keterbatasan fisik yang membuat kita tidak produktif, tetapi ada tidaknya tekad dan keinginan untuk memulai.
Kembali lagi pada catatan tentang pementasan Pinangan.
Konteks dan Logika Peristiwa
Membawakan naskah adaptasi, bukan berarti seenaknya mengobrak-abrik naskah tersebut dan dengan instan menghadirkan tempelan-tempelan agar pertunjukan seolah menjadi lebih dekat dengan kita – penonton. Meskipun sutradara sah-sah saja mengolah naskah menjadi bentuk yang bagaimana, seperti kata Abu Bakar dalam sesi diskusi tentang adaptasi naskah pada 30 Juni 2017 di Bentara Budaya Bali yang lalu. Tetapi menurut Jong, perlu disadari bahwa riset yang dalam perlu dilakukan untuk dapat menyesuaikan antara teks dengan kejadian-kejadian yang sepadan dengannya.
Pada pertunjukan Pinangan yang dipentaskan Sabtu lalu, terdapat konteks yang tidak jelas tentang Lapangan Renon yang membentang dari Sanur dan diperebutkan oleh Agus Tubagus dengan Ratna Kholil. Lapangan Renon dihadirkan untuk mengganti Lapangan Sari Gading yang disebutkan naskah, bahwa lapangan itu membentang dari Anyer sampai Jakarta. Disebutkan pula bahwa lapangan tersebut digunakan untuk aktivitas pertanian. Itu sudah sangat jelas di naskah.
Lalu, yang masih menjadi pertanyaan adalah, mengapa Lapangan Renon itu dihadirkan di sana? Sementara, dari segi logika saja, kita yang mengetahui keberadaan Lapangan Renon itu, pasti merasakan kejanggalan, karena sudah barang tentu lapangan itu secara nyata bukan merupakan tempat untuk bertani. Jadi, tidak pas jika Lapangan Renon hadir di sana dengan konteks sebagai lahan pertanian.
“Terlepas dari konteks dan logika peristiwa yang tidak pas, pementasan Komunitas Teratai itu lebih kelihatan unsur kedaerahannya. Dari segi kostum dan kehadiran Lapangan Renon di dalamnya,” begitu tambah Nadya Kirana, Teater Orok.
Ya, kostum. Hal kecil tapi sedikit menggelitik. Terutama kostum yang dikenakan oleh tokoh Ratna Kholil. Mungkin teman-teman yang menonton pementasan itu, tidak semua sependapat. Apa yang salah dengan kostum yang sangat rapi dengan balutan kebaya, kamen, lengkap dengan riasan khas Bali-nya? Bahkan dengan kostum tersebut, tokohnya terlihat makin cantik.
Kembali lagi pada teks, di sana sudah sangat jelas bahwa tokoh Ratna, tidak tahu bahwa ia akan dilamar oleh Tubagus. Bahkan dia juga menyampaikan permintaan maaf karena memakai baju jelek saat itu. Mengacu pada teks tersebut, seharusnya kostum yang dikenakan bisa lebih disederhanakan lagi agar terlihat lebih rumahan. Dengan begitu, akan ada kesesuaian antara teks dengan visualnya. Hal ini tentu berbeda dengan Agus Tubagus yang berpakaian layaknya seorang yang ingin melamar, sudah sewajarnya demikian rapinya. “Penyesuaian yang kurang pas dengan logika, akan membuat pesan tidak sampai ke penonton,” tambah Nadya.
Sementara, dari pementasan Teater Tiga yang saat itu disutradarai oleh Nadya, naskah secara utuh dimainkan. Hal ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengadakan sebuah riset. “Selain karena tidak ada cukup waktu untuk riset, keputusan untuk memainkan naskah secara utuh juga dilakukan karena Teater Tiga masih berada pada tataran SMA. Mereka harus belajar dari dasar sebelum akhirnya nanti menggarap dengan bentuk-bentuk yang lain,” begitu tambahan dari Iwan CRX, selaku produser garapan tersebut.
Meskipun memainkan naskah dengan utuh, penonton tidak diberi kesempatan untuk merasa bosan, karena adegan demi adegan terbangun dengan cantik.
Secara konteks pun pementasan ini lebih masuk akal. Tokoh Ratna Kholil digambarkan sebagai gadis yang tomboy. Rupanya, penggambaran itu dipilih karena mengacu pada teks tentang nasib Ratna yang seret jodoh. Kostum semua aktor pun lebih sederhana dan rumahan, kecuali Tubagus, karena dia punya agenda melamar Ratna.
Bisnis dan Tawaran Akting
Setiap gerakan maupun bisnis-bisnis di atas panggung, harus ada dasarnya, entah itu dilakukan untuk memperjelas karakter tokohnya, menunjukkan perasaannya, atau respon terhadap sesuatu yang terjadi padanya.
Jika kita menyadari, naskah Pinangan menyediakan berbagai tawaran akting dan bisnis di dalamnya. Kejadian maupun konflik yang hadir pada naskah, menjadi sebuah komedi yang natural. Tapi sayangnya, peluang-peluang itu belum digarap secara maksimal pada pementasan Komunitas Teratai yang disutradarai oleh Hendra Utay tersebut. Adegan demi adegan digambarkan dengan lurus-lurus saja seperti teks, minim “permainan”.
Sementara pementasan Teater Tiga lebih kaya dengan bisnis dan tawaran akting. Properti di panggung pun tidak hanya menjadi tempelan, tetapi ikut dimainkan. Misalnya ketika sedang gugup, Tubagus meremas tangan kursi dan dasi berkali-kali. Pada adegan percakapan antara ketiga tokoh, cemilan dalam toples di atas meja tidak hanya menjadi pajangan, tetapi juga benar-benar dimakan. Bagian ini terasa pas karena percakapannya masih santai.
Emosi dan Motivasi Gerak
Emosi yang terbangun dalam pementasan Komunitas Teratai masih patah-patah. Hal ini sangat menonjol ketika adegan pertengkaran antara Agus Tubagus dengan Ratna Kholil. Intonasi yang sudah tinggi tidak dibarengi dengan tempo dialog yang sepadan, sehingga terkesan saling tunggu. Jiwa antara aktor dengan karakter yang dimainkan belum menyatu, terutama pada tokoh Agus Tubagus, sehingga di bagian-bagian saat dia diam, kentara sekali dia kehilangan nyawa, seolah dia menjadi aktor hanya saat dia mendapat bagian dialog.
“Yang cukup menjadi penyelamat adalah aktor yang memerankan tokoh Rukmana Kholil. Pembawaannya yang tenang memberikan atmosfer yang berbeda di tengah konflik Tubagus dengan Ratna,” begitu komentar Ayik, Teater 108.
Mengenai motivasi gerak, hal ini menjadi sangat penting untuk membangun suatu kejadian. Tubuh dengan dialog yang diucapkan mestinya saling mendukung. “Gerak itu akan membantu mengisi kekosongan ketika aktor tidak mampu membangun sebuah peristiwa dengan dialog,” kata CRX.
Misalnya, saat pertama kali adegan sakit jantung itu muncul. Kurang ada motivasi yang kuat untuk menyatakan bahwa Agus Tubagus terkena penyakit jantung, karena sebelumnya dia tidak menunjukkan gejala-gejala kesakitan yang membuat itu menjadi masuk akal.
Berbeda dengan Teater Tiga, peristiwa-peristiwa yang diwujudkan di atas panggung, lebih jelas motivasinya. Sebelum adegan sakit jantung memuncak, terlihat gejala-gejala yang menunjukkan bahwa Agus Tubagus sedang kesakitan. Meskipun sama-sama memegang dada bagian kiri saat adegan itu, aktor dari Teater Tiga lebih mampu untuk mengekspresikan rasa sakitnya, didukung dengan dialognya yang menjadi lebih terbata-bata.
Pada bagian romantisme, kedua pementasan mampu menghadirkan suasana jatuh cinta dengan didukung pula oleh musik pengiring, serta gestur yang menunjukkan suatu keintiman.
Terlepas dari beberapa hal yang menjadi kekurangan, pendapat yang berbeda disampaikan oleh Ayik dan Tress, Teater Orok. secara keseluruhan mereka lebih menyukai pementasan yang dibawakan oleh Komunitas Teratai. Sebab, dinilai lebih to the point dan tidak bertele-tele.
Sedangkan Gayuh Asmara, Teater Rakmung, mengakui bahwa ia kagum terhadap kawan-kawan Komunitas Teratai. Sebab, saat menonton rekaman pementasan mereka, ia belum menyadari bahwa beberapa aktornya adalah kawan kita yang memiliki keterbatasan penglihatan dan tidak menyangka bahwa mereka memiliki semangat yang luar biasa untuk terus berkarya. Di situ Gayuh juga menyampaikan bahwa keterbatasan fisik bukan penghambat jika kita ingin menjadi aktor.
Tetapi memang, di sisi lain perlu kesabaran dan kerja yang ekstra dari sutradaranya. Sutradara harus memiliki metode melatih, terlebih bagi kawan-kawan yang memiliki keterbatasan fisik, entah penglihatan, pendengaran, atau yang lainnya. “Oh iya, satu kritik lagi, warna tembok bawah di setting panggung Teater Tiga itu malah membuat warna lain yang tertumpuk dengannya menjadi mati. Warnanya biru gelap, menenggelamkan hijaunya daun dan baju yang dipakai oleh tokoh Agus Tubagus,” tutupnya.
Malam terlewati dengan cepat, tengah malam berlalu tanpa terasa. Diskusi ditutup dengan agenda latihan reguler dan jadwal diskusi selanjutnya. Diskusi selesai, tapi ruang keluarga masih ramai… (T)