9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Menerka Nasib Drama Gong Lewat Koetkoetbi

Wayan SumahardikabyWayan Sumahardika
February 2, 2018
inUlasan

Pementasan Drama Gong dengan judul Koetkoetbi oleh Kampung Seni Banyuning di Pesta Kesenian Bali 23 Juni 2017./ Foto=foto: Agus Wiryadhi Saidi

48
SHARES

KOETKOETBI dan Ragoesa melarikan diri! Mereka lari ke tengah hutan yang kian lama kian terasa kelam. Sepasang kekasih yang tengah mengenyam pendidikan di pesraman Mpu Agni itu terus saja berlari. Memburu nafas, menanggalkan cemas di setiap depa langkah pelariannya. Alih-alih sampai di muara hutan, yang datang justru sosok Mpu Agni sendiri, yang cemburu atas hubungan mereka. Ragoesa dibunuh. Koetkoetbi dikutuk membatu. Mpu Agni pun memilih menjelma batu. Sampai tiba suatu masa, seseorang berhasil melepaskan kutukan dan Mpu Agni kembali menjadi manusia, kembali untuk merebut hati Koetkoetbi.

Sebagai adegan pembuka drama gong, tentu akan terasa asing bagi penonton dengan cerita “Koetkoetbi” karya Ir. Soekarno. Mungkin tak banyak pula yang tahu, sosok Ir. Soekarno, bapak proklamator juga merupakan seorang seniman teater. Ia kerap menulis drama dan mementaskan pertunjukan terutama saat masa pengasingannya di Ende dan Bengkulu.

Ini tentu menjadi daya tarik penonton untuk menikmati drama gong yang digarap oleh Teater Kampung Seni Banyuning, Buleleng dalam acara PKB ke-39 di Kalangan Madya Mandala Art Centre, Denpasar, 23 Juni 2017 lalu. Putu Satriya Kusuma sang sutradara, mengadaptasi naskah “Koetkoetbi” dalam bahasa Bali dengan judul “Koetkoetbi: Pengwales Bangke Idup”.

Selama tiga jam, penonton dibuat mengikuti alur cerita. Selama itu pula, para pemain dengan sabar merajut satu persatu adegan. Rasa penasaran akan cerita dijaga begitu ketat dan rapi. Dalam hal ini, plot dan perkembangan karakter tokoh di atas panggung menjadi momen berharga yang ditawarkan para pemain kepada penontonnya.

Tokoh Koetkoetbi yang diperankan Ayu Damayanti misalnya, pada babak pertama tampak bermain begitu kalem, polos, dan mendayu. Ia menjadi Koetkoetbi, perempuan yang begitu lemah mengahadapi kuasa Mpu Agni, gurunya sendiri, yang ingin menikahinya.

Sedang di pertengahan adegan, Ayu berubah 180 derajat. Pasca terlepas dari kutukan batu 500 tahun kemudian, ia menjadi sangat liar, sadis, dan berapi-api. Gesture, vocal, dan mimik wajah Ayu mampu membius penonton kendati berhadapan langsung dengan pemain senior seperti Sugita yang berperan Mpu Agni dan Nengah Wijana sebagai Dokter Amir. Pengembangan karakter ini terjadi pula pada Ketut Warta yang berperan sebagai tokoh Dokter Muzaki, yang secara tak sengaja melepaskan kutukan batu Koetkoetbi. Ia yang semula ramah sekaligus takut pada kekasih, seketika berubah menjadi tangkas dan gagah berani semenjak diguna-gunai oleh Koetkoetbi.

Tawaran akting seperti ini, sejatinya bukanlah barang baru dalam dunia pemanggungan khususnya dalam teater modern. Sayangnya, hal serupa begitu jarang ditemui dalam teater tradisi saat ini. Para pemain pada umumnya seolah begitu nyaman dengan temuan karakter masing-masing dan segala improvisasi yang dimiliki. Padahal, jika ada sedikit saja kesadaran dalam mencermati struktur dramatik teks dan karakterisasi penokohan, tentu akan menambah wawasan sekaligus memperkaya kosatubuh, tawaran akting, serta kemungkinan-kemungkinan lain yang sekiranya menjadi tawaran baru buat penonton menikmati pentas.

Tiga Kemungkinan

Dari pentas drama gong “Koetkoetbi” Teater Kampung Seni Banyning itu, setidaknya ada tiga hal yang dapat dicermati dan menjadi kemungkinan dalam pengembangan drama gong.

Yang pertama adalah bentuk pemanggungan. Gaya Bali Utara boleh jadi mendominasi bentuk permainan jika dilihat dari pilihan backdrop lukisan yang berganti di setiap babak, penggunaan bahasa kepara yang dilakukan pemainnya, serta penyikapan kostum dan pola permainan yang cenderung realis. Putu Satriya pun juga membuka ruang bermain dengan kemungkinan gaya lain dalam pertunjukannya. Seperti pola alienasi brechtian, yang dilakukan saat para pemain meminta batuan sekaa gong karena kesulitan menggotong Mpu Agni yang berubah batu. Juga saat Mpu Agni meminta tanggapan penonton apakah dirinya melakukan hal yang benar atau salah. Semua itu adalah usaha membuat penonton sadar bahwa yang ditontonnya hanyalah sebuah pentas.

Putu Satriya sendiri sebagai sutradara pun tak bisa dikata berdiri sendiri. Setidaknya, sebagai seorang peteater kawakan yang mencecap begitu banyak panggung di tingkat daerah dan nasional, tentu begitu banyak refrensi pertunjukan, bacaan yang ia miliki. Meski tak semuanya terasa secara gamblang dan harafiah, namun semua itu juga tak bisa dipungkiri kehadirannya. Elemen-elemen ini saling jalin menjalin, kait mengkait menjadi pertunjukan yang begitu apik.

Kedua adalah naskah. Suatu hal yang menarik bila mencermati semangat Teater Kampung Seni Banyuning dalam mengembangkan pola Drama Gong masa kini terutama soal naskah. Setahun yang lalu, di Kalangan Ayodya pada event yang sama, mereka mengadaptasi novel “Sukreni Gadis Bali” karya A.A Panji Tisna menjadi drama gong dalam rangka merespon Bali yang tak mengenal identitasnya sendiri. Kini, adaptasi juga dilakukan menggunakan naskah drama Ir. Soekarno yang semula bahasa Indonesia, menjadi bahasa Bali. Masalah utama bukanlah semata-mata persoalan adaptasi teks saja. Melainkan bagaimanakah agar teks menemukan konteksnya. Sejauh manakah perjuangan sekaa drama gong mampu membawa penonton ke dalam lapisan kontemplasi pertunjukan.

Pentas Koetkoetbi karya Ir. Soekarno kali ini, telah mengingatkan kita pada perjuangan generasi terdahulu membentuk dasar negara pancasila di tengah konflik rasisme terhadap agama yang melanda Indonesia sekarang. Pada adegan akhir, diceritakan Koetkoetbi mati karena dendam masa lalunya sendiri, Mpu Agni mati karena keserakahannya. Posisi Tuhan dalam konteks ini sama-sama menghukum mereka tanpa memerdulikan siapa dan apa agama yang dipunya.

Ketiga, pembinaan terhadap pemain. Menyaksikan drama gong Koetkoetbi, adalah menyaksikan pluraritas kesenian Bali. Yang Utara dan yang Selatan, yang tua dan yang muda, yang tradisi dan yang modern, semua saling rangkul jadi satu panggung. Menariknya, semua itu dijembatani bukan karena kepiawaian improvisasi semata. Melainkan kesadaran memahami naskah, memainkannya, serta saling membagi wawasan dan pengalaman satu sama lain. Ini tak akan pernah terjadi hanya dengan satu dua kali latihan saja. Teater Kampung Seni Banyuning membawa kita pada pemahaman drama gong sebagai sebuah seni proses, seni tumbuh dan berkembang antarsesama pemainnya. Bukan cuma seni ngebanyol asal penonton bisa ketawa, sebagaimana yang diamini oleh pertunjukan pada umumnya.

Titik Kulminasi

Drama gong, yang sejak tahun 50-an berdiri sejatinya merupakan titik kulminasi, pertemuan kesenian tradisi dan modern. Semua menjadi satu, berbaur dalam estetika tradisi yang berangkat dari rakyat sekaligus mengemban semangat dan pemikiran modern, yang saat itu telah menjadi sumber gerakan pembaharuan dalam kesenian di Bali.

Pada PKB XXXIX ini, kita cukup beruntung menyaksikan semangat sejarah kesenian drama gong kembali hidup dalam acara Parade Drama Gong se-Bali, khususnya dalam pentas “Koetkoetbi”. Pertanyaan selanjutnya, mampukah drama gong berjalan terus melintasi zaman. Selalu berbenah dan menggenapi hal-hal yang dirasa kurang, atau akan tetap menunggu uluran tangan pemerintah dalam setiap proyek kesenian? Berharap selalu dikasihi lewat celetukannya yang membumi, “Drama Gong jani sube sekarat. Sing ada anak ane ngupah!” Betapa ironisnya, jika drama gong yang dulu kerap mengocok perut penonton, kini jadi bahan olok-olok pemainnya sendiri. (T)

Singaraja, 2017

Tags: bulelengdrama gongPesta Kesenian Baliseni pertunjukanSoekarno
Previous Post

Kenyataannya, Manusia itu Menipu Diri Sendiri – Sentilan dari Pemikiran Sigmund Freud

Next Post

“Dag Dig Dug” Sebelum Main “HP” – Curhat Kecil Aktris Monolog Pemula

Wayan Sumahardika

Wayan Sumahardika

Sutradara Teater Kalangan (dulu bernama Teater Tebu Tuh). Bergaul dan mengikuti proses menulis di Komunitas Mahima dan kini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Pasca Sarjana Undiksha, Singaraja.

Next Post

“Dag Dig Dug” Sebelum Main “HP” – Curhat Kecil Aktris Monolog Pemula

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co