9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Megandu”, Permainan Tradisional dari Tanah Ole – Catatan Festival ke Uma 2017

Made NurbawabyMade Nurbawa
February 2, 2018
inKhas

Anak-anak bermain Megandu di Festival ke Uma/ Foto-foo: Made Nurbawa

40
SHARES

 

DI atas tanah lapang petak sawah kering berlantai jerami, dari kejauhan saya melihat puluhan anak-anak putra dan putri sedang berkerumun membentuk lingkaran. Di bagian lain ada seorang bapak berdiri sambil memberi aba-aba.

Beberapa menit kemudian mulai terdengar riuh anak-anak. Mereka bersorak sorai bergembira sambil bergerak cepat melangkah ke kiri dan ke kanan. Ada juga yang bergerak ke tengah lingkaran lalu merunduk cepat mengambil sesuatu berbentuk bola-bola. Pada waktu yang sama sebagian anak-anak nampak maju mundur seperti gerakan menghindar ketika didekati oleh seorang anak yang bergerak di tengah lingkaran. Anak yang di tengah lingkaran memegang tali panjang yang pangkalnya diikatkan di sebatang patok kayu.

Suara riuh anak-anak tak henti-henti, begitu juga para penonton yang ada di sekitarnya. Suara keceriaan anak-anak itulah yang menggoda saya untuk bangkit, buru-buru saya habiskan sisa kopi di gelas yang masih tinggal separo, bergegas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat ke arah kerumunan.

Persiapan bermain Megandu

Penasaran saya pun bertanya kepada salah seorang panitia yang sedang fokus mengamati permainan sambil menenteng kamera. Saya dikasi tahu kalau anak-anak itu sedang bermain “Megandu”. Dijelaskan “Megandu” berarti “melempar” –bermain lempar-lemparan. Hari itu untuk pertama kalinya saya mendengar dan melihat langsung permainan tradisional Megandu.

Itulah pengalaman baru dan unik saya lihat saat berkunjung ke lokasi “Festival ke Uma” di Banjar Ole, Desa Dauh Puri Marga, Kec. Marga, Kab. Tabanan Bali pada hari Sabtu 25 Juni 2017. Festival Ke Uma diselenggarakan di areal sawah yang baru saja habis panen.

Di beberapa sudut, panitia memasang beberapa peralatan dan ornamen yang terbuat dari bahan-bahan sederhana seperti “danyuh” (dauh kelapa kering), “papah nyuh” (batang daun kelapa), “bubu” (alat penangkap ikan/belut) dan juga pola-pola menarik dari bambu, jerami dan ranting-ranting kayu. Saat malam hari, dengan pencahayaan khusus menggunakan lampu listrik dari tenaga surya, ornamen ala desa itu memancarkan siluet yang eksotik.

Sistem Permainan

Tidak sulit untuk memahami pola dan sistem dasar dari permainan Megandu ini. Saat pertama kali lihat, Megandu dimainkan oleh sekitar 15 – 20 orang anak-anak putra dan putri. Konon jumlahnya bisa menyesuaikan tergantung tempat. Sebelum bermain, terlebih dahulu masing-masing peserta membuat bola-bola dari bahan jerami kering.

Jumlah bola jerami yang dibuat kira-kira sebanyak jumlah anak yang ikut bermain. Bola jerami itu kemudian ditaruh di dekat patok kayu. Setelah itu anak-anak berjejer membentuk pola lingkaran sehingga patok dan bola jerami percis ada ditengah-tengah lingkaran. Setelah itu dibuat seutas tali dari pelepah pisang kering atau lumrah disebut tali “upas”.

Bola Megandu yang terbuat dari jerami
Anak-anak bergembira lakukan permainan

Panjang tali sekitar 3-4 meter atau menyesuaikan dengan tempat bermain. Salah satu ujung tali kemudian diikatkan di patok kayu yang ada di tengah lingkaran, percis seperti cara orang desa mengikatkan tali saat mengembalakan sapi lapangan rumput.

Setelah semuanya siap meraka kemudian “mejangkit” atau “syutt” untuk menentukan satu orang yang akan bertugas menjaga telor-telor jerami. Setelah ada satu orang yang terpilih permainan Megandu pun bisa dimulai.

Sistem permainannya yaitu; bola jerami yang terkumpul di tengah lingkaran ibarat telor yang harus dijaga oleh pemiliknya. Pemiliknya adalah mereka yang terpilih saat mejangkit. Pemilik atau si penjaga telor bertugas melindungi telor-telor tersebut dari gangguan dan berusaha agar telor tidak diambil.

Saat bersamaan peserta lain yang mengitari si penjaga harus mengambil telor-telor jerami yang tergeletak di tengah sampai habis. Di situlah tantangannya, jika ada yang mendekat hendak mengambil telor, Si penjaga harus berusaha mengusir dengan cara mendekati orang tersebut sampai tersentuh tali.

Bisa dibayangkan gerakan dan langkah Si penjaga tentu dibatasi oleh panjang tali yang dipegangnya. Ibaratnya seekor sapi yang hendak mengusir pengganggu, namun hanya bisa bergerak ke kiri ke kanan atau memutar sejauh panjang tali tersebut saja. Bagi yang tersentuh tali saat mencoba mencuri atau mengambil telor akan gantian bertugas sebagai penjaga telor. Begitu seterusnya sampai telor-telor jerami itu habis.

Bisa dibayangkan saat proses itu berlangsung akan terjadi gerakan yang sangat cepat dan pariatif, maju-mundur, ke kiri ke kanan atau gerakan sigzag dari seluruh peserta membuat suasana permainan menjadi menarik. Saat itulah sorak sorai peserta dan penonton tak henti-henti sambil memperhatikan gerakan dan ketangkasan masing-masing peserta saat mengambil atau mempertahankan telor-telor itu.

Gema sorak sorai terdengar lebih keras manakala ada yang bisa mengambil telor jerami dengan aman tanpa tersentuh tali Si penjaga. Telor jerami itu dipegang sambil menunggu yang lain mampu mengambil telor jerami yang tersisa. Saat inilah dibutuhkan kerjasama, ketangkasan, teknik, kekuatan, konsentrasi, dan stamina agar mampu menjalankan tugas masing-masing. Semua itu akan dipantau oleh seorang wasit.

Menariknya saat permainan ini berlangung terdengar suara atau ucapan-ucapan mulai dari suara tertawa, ejekan, sanjungan, arahan dan sebagainya. Semuanya berlangsung dalam suasana ceria dan penuh keakraban. Semakin cepat telor jerami yang ada ditengah habis, maka semakin cepat pula satu babak permainan selesai.

Selanjutnya ketika telor-telor jerami yang ada di tengah sudah habis diambil atau “dicuri”, saat itulah peserta yang mendapatkan telor jerami langsung melemparkaan ke arah tubuh si penjaga terakhir. Ibaratnya itu sebuah hukuman karena si penjaga gagal melakukan tugas menjaga telor dari ulah pencuri. Tentu saat dilempar telor jerami itu ke badan tidak merasa sakit, karena telor jerami tidak keras alias empuk. Sebaliknya yang dilempar malah ketawa cekikikan sambil berlari-lari memutar mencoba menghindar.

Lemparan hanya boleh dilakukan sekali saja, bola jerami yang sudah dilempar tidak boleh lagi dipungut untuk melempar kedua kalinya, tetapi tetap saja ada yang curang melempar berkali-kali sehingga wasit harus benar-benar melakukan pengawasan sesuai aturan hukum yang berlaku. Setelah itu permainan bisa diulang lagi seperti proses awal. Jadi satu babak permainan Megandu dengan jumlah pemain 15 – 20 orang durasinya rata-rata sekitar 5-7 menit.

Riwayat Permainan

Berdasarkan informasi dari salah seorang warga Banjar Ole yaitu Bapak Wayan Weda yang sehari-hari berporfesi sebagai guru di SMAN 1 Marga mengatakan, pada tahun 1957 permainan ini sudah populer di Banjar Ole. Wayan Weda mengaku pada tahun 1965 dirinya pertama kali ikut bermain Megandu dengan anak-anak seusianya di Banjar Ole. Pada tahun 1998 permainan megandu pernah ditampilkan di Pesta Kesenian Bali (PKB) XIX dan pada PKB ke-36 tahun 2015 kembali dipentaskan dalam bentuk tarian.

Wayan Weda, pembina permainan

Kata Pak Weda permainan Megandu yang dilakukannya saat masa anak-anak dulu (1965) sistemnya sama persis seperti sekarang yang dimainkan anak-anak di “Festival Ke Uma” 2017. Bermainnya pun dilakukan di tengah sawah (uma) sehabis panen padi.

Bedanya, dulu bola jerami di tengahnya dikasi “endut” yaitu lumpur sawah. Sehingga saat bola jerami itu dilempar ke arah tubuh teman-temannya lumpur akan membuat badan jadi kotor blepotan, pada akhirnya semua akan blepotan juga oleh lumpur sawah, di situlah seninya, kemudian setelah bermain kita sama-sama mandi di sungai atau pancoran, terang Wayan Weda.

Lanjut Wayan Weda, memang benar permainan Megandu terinsiprasi dari seekor sapi yang merumput di tengah sawah sehabis panen atau sebelum musim tanam padi. Saat pemilik sapi mencari sayuran di sawah, tali sapinya terlebih dahulu diikat di sebuah patok kayu, sapi pun akan bergerak merumput sepanjang talinya saja. Akan terlihat jejak kaki sapi membentuk lingkaran dengan diameter sesuai panjang tali, begitu juga kotoran sapi yang tercecer menginspirasi dibuatnya telor-telor jarami tadi.

Apakah permainan ini asli dari Banjar Ole? Atau sebelumnya sudah ada di daerah lain? Wayan Weda mengaku sejak anak-anak ia belum pernah melihat dan mendengar permainan Megandu ada di desa lainnya. Entah, saya hanya mengenal pertama kali di Banjar Ole saja, tegas Wayan Weda. “Megandu” dalam bahasa lokal di Banjar Ole berarti “melempar”, imbuhnya.

Jadi berdasarkan data yang disampaikan oleh Wayan Weda di atas, maka setidaknya permainan Megandu sudah bertahan sekitar 60 tahun sejak dilihatnya pertama kali pada dari tahun 1957 hingga tahun 2017 ini saat berlangsungnya Festival ke Uma. Tetapi sangat mungkin permainan ini jauh lebih tua dari tahun tersebut karena Bapak Wayan Weda menyebut pada tahun 1957 Megandu sudah populer dan menjadi permainan favorit anak-anak di desanya. Mungkin permainan tradisional Megandu berkembang secara bertahap, dan para tetua kami dulu terus menyempurnakannya.

Penjelasan senada juga disampaikan oleh narasumber lainnya seperti Made Adnyana Ole, Agung Putradhyana, Nyoman Budarsana, Bakti Wiasa dan Erik Indrawan. Nama terakhir ini adalah seorang mahasiswa IHDN yang sedang meneliti permainan Megandu ini. Menurut Erik, permainan Megandu setidaknya memiliki 9 komponen (bio motorik) penting yang sangat sejalan dengan visi pendidikan, khususnya dalam pembentukan karakter positif pada anak-anak.

Jejak Budaya dan Sejarah

Yang menonjol dari permainan tradisional Megandu adalah sisi hiburannya (rekreasi). Sehingga saat dimainkan saat Festival ke Uma permainan ini mampu menyedot perhatian pengunjung dan sangat diminati oleh anak-anak dan sebagian besar berasal dari Banjar Ole, Marga.

Permaian Megandu menjadi salah satu permainan yang bisa memberi arti, bahwa Festival ke Uma 2017 walau dalam kesederhanaanya benar-benar sebuah momentum budaya. Disebut “momentum budaya” karena festival ini syarat dengan muatan lokal, seperti adanya nilai dan norma lokal yang mendukung, juga berada dalam lingkup sistem sosial seperti Subak dan Desa Pakraman, terbukti materi acara dalam Festival ke Uma mampu menyedot partisipasi masyarakat lokal khususnya kalangan anak-anak.

Juga dari sisi bentuk (hartifak) juga nampak kuat, seperti materi dan jenis permainan, bahan dan materi pendukung yang digunakan semuanya adalah bahan yang lumrah digunakan oleh masyarakat petani di Banjar Ole.

Senja di Subak Uma Ole
Sepenuhnya kuliner dari desa

 

Festival ke Uma di malam hari

Secara umum materi acara yang ditampilkan dalam Festival ke Uma kali ini berhasil mewakili, menjelaskan serta mengingatkan kembali sebuah peristiwa dan nilai-nilai kehidupan di sebuah desa. Festival yang memiliki unsur peringatan, perayaan sekaligus ungkapan kegembiraan dari para pelakunya yang dikemas sedemikian rupa dan tidak asing dengan kehidupan sehari-hari mereka.

Hari itu anak-anak Banjar Ole seperti sedang ber-“Wisata Desa” di desanya sendiri. Hal ini ditegaskan kembali oleh salah satu panitia bahwa “Wisata Desa” bukan berarti kita harus pergi berkunjung ke desa-desa lain. “Wisata Desa” adalah bagaimana kita mengetahui, memahami, dan meyakini segala sesuatu yang ada di desa sendiri.

Festival Ke Uma adalah festival desa untuk warga desa itu sendiri. Hal-hal positif yang kita rasakan selanjutnya kita rawat dan pelihara sebagai pedoman hidup bagi diri dan mudah-mudahan hal positi itu dapat memberi bermanfaat juga bagi orang lain, terang panitia itu saat duduk bareng ngopi di tumpukan jerami kering.

Selanjutnya festival juga sebagai bentuk ungkapan rasa syukur, misalnya bersyukur karena hasil panen padi tercapai sesuai harapan. Festival ke Uma yang dilaksanakan untuk pertama kalinya di banjar Ole, juga dilaksanakan di areal sawah saat habis panen padi.

Sesuai dengan riwayatnya dulu, permainan Megandu yang digelar kali ini tidak beda jauh seperti apa yang diceritakan saat era tahun 1950 an silam. Begitu juga sarana dan bahan-bahan yang digunakan, semuanya adalah bahan-bahan yang biasa dijumpai saat pergi menuju sawah (uma), begitu juga lokasi kegiatannya dilakukan di kawasan Subak Uma Ole. Sehingga permainan Megandu dilihat dari latar belakangnya terdapat nilai-nilai, sistem sosial, serta pelaku dan bentuk permainan yang memang asli dan ada di Banjar Ole.

Dengan demikian permainan Megandu bisa disebut sebagai “permainan budaya”. Sebuah permainan yang menghibur sehigga bisa memulihkan stamina jiwa dan raga setelah lelah bekerja dalam ruang dan aktivitas budaya, seperti bertani di carik (sawah), melaksanakan panca yadnya dan tradisi lokal lainnya. Dengan pulihnya jiwa dan raga maka produktifitas pun akan terus tercipta-berkelanjutan.

Begitu juga dari sisi pengetahuan sejarah, ada banyak bukti yang bisa memberikan gambaran kepada kita bahwa jejak sebuah permainan atau olahraga bisa memberi petunjuk tentang peristiwa sejarah di masa lalu. Juga tentang perkembangan peradaban dari jaman ke jaman. Saya tidak ragu menyebutnya bahwa, permainan tradisional Megandu adalah salah satu simbul dari tatanan budaya dan produk sejarah yang pernah ada di tanah Ole dan sekitarnya.

Dari informasi yang berhasil saya kumpulkan ditengah-tengah acara festival berlangsung Minggu tanggal 25 Juni 2017 , beberapa petunjuk penting saya dengar dari beberapa warga seperti adanya situs tua Pura Sangawang (Subak Sangawang) yang lokasinya tidak jauh dari lokasi festival. Juga tentang nama-nama desa/banjar di sekitarnya, juga tentang tarian kuno seperti tari Wali Sangyang Celeng yang konon pernah ada di sekitar wilayah itu.

Dan tentunya Banjar Ole juga sebagai pengingat tentang kisah-kisah eroik para pejuang kemerdekaan Indonesia yaitu saat perjalanan pasukan pejuang Ciung Wanara pimpinan I Gusti Ngurah Rai (pahlawan nasional), terutama menjelang terjadinya perang Puputan pada tanggal 20 Nopember 1946 di mana sehari sebelumnya sempat melakukan konsolidasi pasukan dan persembahayangan bersama di Pura Sangwang dan Pura Dalem Basa yang ada di Banjar Ole.

Sebuah Pemikiran

Patut disyukuri di tengah perkembangan zaman dan arus modernisasi yang sangat cepat, masih ada orang-orang yang peduli untuk melestarikan permainan tradisional. Begitu juga sacara pemerintahan, kini mulai dilakukan langkah-langkah revitalisasi dan sosialisasi tentang kearifan permainan dan olahraga tradisional. Memang kalau kita pelajari, banyak cabang olahraga yang kita kenal saat ini berakar dari permainan dan olahraga tradisi yang turun temurun.

Jika ditelusuri beberapa cabang olahraga prestasi yang ada sekarang ini merupakan permainan yang sangat purba seperti atletik, bela diri, catur dan sebagainya. Dalam dunia pemerintahan, cabang olahraga tersebut digolongkan menjadi olahraga pendidikan, rekreasi maupun sebagai olahraga prestasi. Olahraga prestasi dikelompokan lagi menjadi cabang olahraga pemainan, cabang olahraga terukur, cabang olahraga beladiri dan cabang olahraga akurasi.

Sejumlah tokoh budaya dari Tabanan berdiskusi tentang budaya dan sejarah di areal Festival ke Uma

Dalam perkembangannya saat ini, meraih prestasi di bidang olahraga adalah salah satu indikator kuwalitas pembangunan di sebuah wilayah. Tidak sedikit cabang olahraga sengaja diperkenalkan ke berbagai belahan dunia sebagai bentuk pertukaran budaya.

Tidak menutup kemungkinan kedepan Megandu bisa dikembangkan sebagai olahraga resmi, olahraga rekreasi maupun olahraga prestasi. Dengan menambahkan beberapa aturan standar, kelak bisa saja Megandu dipertandingan antar klub maupun antar wilayah. Hal tersebut sempat saya diskusikan dengan Bapak Wayan Weda. Agar bisa dipertandingkan, permainan Megandu bisa ditambahkan metode dan sistem penilaiannya, misalnya mengenai durasi waktu, formasi, teknik dan kecepatan.

Begitu juga mengenai standar lapangan dan peralatannya. Riset-riset kearah sana penting untuk dilakukan, siapa tahu suatu saat nanti permainan tradisonal Megandu yang asli tumbuh dan berasal dari banjar Ole bisa menjadi duta budaya oleh bangsa dan negara di kancah dunia. Rahayu. (T)

Previous Post

Mari Salahkan Andy Dufresne – Tentang Kaburnya 4 Napi Asing di LP Kerobokan

Next Post

Kapan Kolaborasi Seni Bisa Pentas di Panggung Ardha Candra pada Pesta Kesenian Bali?

Made Nurbawa

Made Nurbawa

Tinggal di Tabanan dan punya kecintaan yang besar terhadap tetek-bengek budaya pertanian. Tulisan-tulisannya bisa dilihat di madenurbawa.com

Next Post

Kapan Kolaborasi Seni Bisa Pentas di Panggung Ardha Candra pada Pesta Kesenian Bali?

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co