SINGA, si raja hutan berkeliling hutan melihat-lihat rakyatnya. Nyanyian burung dan canda tawa binatang menyambut si Singa. Apalagi, sejuknya udara dan cerahnya mentari pagi dari celah-celah lambaian daun-daun pohon.
“Sungguh damai hutan kerajaanku ini,” kata Singa dengan rasa lega dan bahagia. Si Singa melanjutkan perjalannya. Ia ingin mengelilingi seluruh hutan kerajaannya.
“Tolong! Aku terikat di sini!” terdengar suara rengekan.
Si Singa mendekati sumber suara meminta tolong itu. Tapi, ketika didekati, si Singa semakin banyak mendengar rengekan yang meminta tolong. Ternyata, ada beberapa binatang yang diikat di batang pohon.
Si Singa mendekati salah satu binatang yang terikat di pohon. “Siapa yang berani mengikat kalian di sini?” tanya si Singa marah.
“Tidak tahu siapa yang mengikat kami di sini. Karena ketika kami sadar, kami sudah terikat di pohon ini. Kami hanya mendengar lolongan di balik gua itu,” sahut Monyet menunjuk-nunjuk gua dengan memonyong-monyongkan mulutnya.
“Tunggu! Aku akan melepas kalian satu persatu. Kemudian, aku akan menghukum siapapun yang mengikat kalian di sini,” ucap si Singa kesal.
Namun tiba-tiba terdengar suara menggelegar.
“Tunggu Singa, Raja Hutan! Jika kamu berani melepas mereka, aku akan memakan putri tersayangmu!”
Suara lolongan menggelegar itu terdengar dari balik gua. Angin berhembus keluar dari gua gelap itu menampar si Singa.
Tubuh Singa sontak mundur satu langkah akibat hembusan angin yang keras. Si Singa meraung marah. Semua bulunya berdiri dan matanya terbelalak.
“Siapa kamu? Berani-beraninya kamu melakukan semua ini. Kamu berani menculik putri kesayanganku! Sini, hadapi aku!” tantang si Singa marah.
“Ayahanda, tolong aku!” Terdengar teriakan putri Singa dari dalam goa. Singa terhenyak. Ia hendak masuk ke dalam gua, namun dari kegelapan terdengar lagi suara menggelegar.
“Aku Srigala, si raja malam. Sini, kamu hadapi aku, jika hendak menolong putrimu! Kamu harus cepat sebelum aku makan putrimu,” ucap Srigala di balik kegelapan gua.
“Aku kuliti kau sampai habis, Srigala! Biar kau tahu keganasanku.” Singa mengeram siap menerkam Srigala dalam kegelapan.
“Cepat! Aku sudah siap melawanmu,” kata Srigala.
Tiba-tiba Singa mendengar suara dari luar. Suara yang sangat sabar.
“Sabar, rajaku, Raja Hutan! Masih ingat dengan janji Raja?” kata si Kancil entah datang darimana. Langkah Singa terhenti karena mendengar perkataan si Kancil.
“Hampir saja aku kehilangan mahkota suci ini. Padahal aku sudah bersumpah untuk tidak bertarung. Aku sudah berjanji menjadi raja yang tidak menggunakan kekerasan. Aku harus bijaksana,” gumam si Singa tersadar akan janjinya.
“Hai, mengapa kamu diam, Singa? Apa kamu sudah nyerah? Atau, takut? Haaa, aku telah menang tanpa harus bertarung,” terdengar suara sinis Srigala dalam kegelapan gua.
“Bagaimana ini, Kancil? Apa yang harus kita lakukan? Aku tidak mungkin mengingkari sumpahku,” tanya bingung Singa menghadapi Srigala.
“Tenang rajaku! Jangan panggil hamba Kacil si penasehat Raja kalau hamba tidak bisa menyelesaikan masalah ini,” kata Kancil. Memang, Kancil terkenal dengan kecerdasan dan kecerdikannya sehingga diangkat menjadi penasehat raja hutan.
“Hem, cuma itu keberanianmu, Singa? Mana kemampuanmu yang terkenal itu?” ucap Srigala sombong.
Si Singa yang mendengar perkataan Srigala hanya bisa menahan diri. Ia berusaha tak terpancing oleh ucapan Srigala. “Cepat lakukan sesuatu, Kancil!” bisik Singa.
Kancil kemudian berkata kepada Srigala: “Haaa, mengapa kau harus repot-repot menantang Raja Hutan? Cukup aku saja yang menghadapimu. Kamu pasti sudah kalah. Bahkan, jika aku kalah, kamu bebas melakukan apa saja. Kamu juga bisa menjadi raja di hutan ini, tetapi kamu harus mengalahkanku terlebih dahulu, Srigala!” tantang Kancil.
“Apa kamu yakin dengan yang kamu katakan, Kancil?” tanya pelan si Singa ragu.
“Hamba yakin rajaku. Hamba tak kan mengecewakan raja.”
Melihat keyakinan Kancil tanpa rasa takut sedikit pun, Singa tidak merasa harus melanggar sumpahnya. Tapi, jika rencana Kancil gagal, Singa merasa harus melakukan apapun mesti harus mengorbankan mahkota kerajaannya. Semua ini harus Singa lakukan demi menyelamatkan rakyat dan putri kesayangannya.
“Haaaa, Kancil badannya yang kecil itu melawanku? Kamu tidak pantas bertarung melawanku,” kata Srigala penuh kemenangan.
“Hem, biar badan kecil….”
“Kancil! Aku dengar kamu terkenal sebagai binatang yang cerdik. Kamu pilih saja permainan yang kamu inginkan! Kalau bertarung denganku, sekali gigit saja kau sudah mati. Haaa,” ucap Srigala meremehkan.
“Sungguh sombong kamu Srigala! Baik, aku akan mengajakmu permainan meniup. Tapi, jika kamu gagal melakukannya, semua binatang yang kamu sandera dan putri kesayangan raja harus kamu bebaskan. Kamu juga harus pergi dari hutan ini. Kamu berani?” sahut Kancil.
“Cuma main tiup. Itu kecil dan tak ada apa-apanya. Aku meniup kamu pun bisa sampai terbang,” jawab enteng Srigala.
Tiba-tiba, Srigala keluar dari kegelapan gua. Matanya bersinar menyala. Taringnya panjang. Ia melolong panjang. Kemudian, ia menarik napas panjang dan meniup ke arah Kancil. Secepat kilat Kancil berpegangan pada sebatang pohon. Daun-daun pohon mati berterbangan.
“Srigala hentikan! Bukan ini permainan yang sesungguhnya. Aku tahu kamu sangat kuat. Tapi, kekuatanmu akan terbukti jika melakukan permainan yang kumaksud,” teriak Kancil.
Mendengar perkataan Kancil, Srigala berhenti meniup Kancil. “Gimana tiupanku? Dasyat kan!” Srigala membanggakan diri.
“Ya, kamu kuat.”
“Cepat katakan apa permainannya!” Aku sudah tidak sabar lagi menunggu kamu kalah, Kancil!” perintah Srigala garang.
“Santai saja Srigala, kita akan mulai permainan yang sesungguhnya,” sahut enteng Kancil. Kancil mengusap-usap bulunya yang berantakan karena tiupan Srigala.
Lantas, Kancil mengambil botol dari kantong kain yang selalu dibawanya. Kemudian, Kancil merebahkan botol itu di atas batu besar di depan gua.
“Kancil! Kamu ingin memasukkan aku dalam botol itu? Oh, tidak bisa! Aku yang paling kuat di sini,” celetuk Srigala ketika melihat Kancil meletakkan botol itu di atas batu.
“Mana berani aku dengan kekuatan yang hebat itu? Bisa-bisa botol ini pecah nanti. Aku akan melakukan permainan yang adil,” ucap Kancil merendah.
“Oh, jadi kamu hanya mempermainkanku untuk mengulur-ulur waktu, Kancil? Berarti kamu udah siap untuk aku makan! Emm nyam-nyam, pasti enak dagingmu, Kancil!” Srigala mulai marah.
“Ah, Srigala mulai takut ya?” canda Kancil memancing kemarahan Srigala. Kancil pun mengambil potongan daun tipis kecil-kecil.
“Aku tidak pernah takut dengan siapapun. Auuuuuuuung.” Srigala marah siap menerkam Kancil.
“Oh, kamu mau menerkamku, Srigala? Permainan ini akan dimulai. Benarkan kau takut, Srigala?” ledek Kancil.
“Tidakkkkk!!!” teriak Srigala.
“Ayo kita mulai permainannya! Yang mampu meniup masuk potongan daun tipis ini ke dalam botol, dialah yang menang dalam permainan ini. Sekarang siapkan teman-teman terbaikmu!” jelas Kancil dalam aturan mainnya.
“Aku sendiri saja sudah cukup,” kata Srigala.
“Tidak bisa! Kalau kamu sendiri, permainan ini tidak akan berfungsi,” tolak Kancil.
“Bagaimana dengan kamu, Kancil? Kamu bermain dengan siapa? Kamu kan hanya bersama dengan Singa saja,” protes Srigala menunjuk-nunjuk Singa yang duduk memperhatikan mereka berdua.
“Aku kan bisa main dengan mereka yang kamu ikat, termasuk putri kesayangan Singa,” terang Kancil santai.
“Tidak akan kubiarkan itu!!” teriak Srigala.
“Bagaimana kamu dikatakan sebagai kesatria, kalau dengan sarat permainan ini saja, kamu menjadi penakut. Hem dasar Srigala….”
“Baik, aku buktikan keberanianku. Kamu boleh bermain dengan mereka yang kuikat, tapi tidak dengan putri Singa. Biarkan putri Singa itu tetap di dalam guaku. Aku tidak mau kamu tipu, Kancil!” tegas Srigala kesal.
“Baik Srigala,” sahut Kancil menyembunyikan senyumnya.
Kancil pun melepaskan ikatan Monyet, Bebek, Kambing, Ayam, Anjing, Kucing, dan binatang yang lainnya. Begitu juga, Srigala memanggil beberapa pasukannya yang sedang menjaga putri kesayangan Srigala. Mereka pun berkumpul didekat botol di atas batu itu. Mereka siap bermain.
Kancil meletakkan potongan kecil daun tipis itu di bibir mulut botol. Kemudian, satu-persatu kawanan Srigala meniup potongan kecil daun tipis itu, tetapi semuanya gagal. Kini, hanya Srigala, sang pemimpin yang belum meniup potongan daun itu.
“Kalian semua tidak berguna! Aku yang tiup potongan daun ini. Biar sekalian botolnya yang ikut terbang,” kata Srigala kesal.
Lalu, Srigala menarik napas panjang dan meniup sekencang-kencangnya potongan daun di bibir mulut botol itu. Tapi, daun itu terpental keluar dari bibir mulut botol. Srigala berulang kali mencoba meniup potongan daun itu. Namun, tetap saja gagal memasukkan daun itu.
“Ini botol pasti kamu curangi, Kancil?” Srigala kesal.
“Lihat saja sendiri!” pinta Kancil menahan tawa.
Dalam keadaan marah, Srigala melihat dan membolak-balikkan botol itu, tetapi di dalam botol tidak ada apa-apa. Kemudian, Srigala membanting botol itu hingga pecah berkeping-keping. “Botol ini tidak ada gunanya. Aku ambil saja botolku di dalam gua.” Srigala itu masuk ke gua mengambil botol.
Sedangkan, kepingan-kepingan pecahan botol itu menyatu menjadi botol kembali seperti sediakala. Lalu, botol itu menghilang.
Datanglah Srigala membawa botol dari dalam gua. “Sekarang giliranmu dan kelompokmu meniup potongan kecil daun ini, Kancil. Kalau kamu juga gagal, aku yang menentukan permainan berikutnya. Aku akan berpesta atas kekalahanmu nanti,” ucap Srigala. Srigala merebahkan botolnya di atas batu dan meletakkan potongan kecil daun tipis itu di bibir mulut botol.
Kancil hanya tersenyum mendengar perkataan Srigala. Kancil mendekati Singa. “Rajaku, kini giliran paduka yang meniup potongan daun ini,” pinta Kancil. Singa pun mendekati botol itu. Singa menarik napas panjang dan meniup potongan daun itu. Potongan daun itu pun masuk ke dalam botol. Potongan daun itu pun berputar kencang di dalam botol.
Tiba-tiba, Singa tersedot masuk ke dalam botol dan diikuti oleh Kancil. Begitu juga, Monyet, Bebek, Kambing, Ayam, Kucing, dan binatang yang lainnya ikut tersedot masuk ke dalam botol. Mereka menghilang di dalam botol.
Srigala kaget melihat kejadian itu. “Kemana perginya mereka? Mengapa botol yang kuambil sendiri bisa ajaib begini?” heran Srigala. Srigala membolak-balikkan dan melihat dalam botol itu dengan teliti. Dan, membuat Srigala semakin bingung, ternyata pantat botol itu bolong. Srigala pun mengocok botol itu sekencang-kencannya, tetapi tidak terjadi apa-apa.
“Aku ditipuuuu! Bawa putri kesayangan Singa itu ke sini!” teriak marah Srigala.
“Tuan, Putri Singa hilang,” sahut salah satu kawanan penjaga.
Mendengar itu, Srigala semakin memuncak marahnya. Ia melolong-lolong menggetarkan pepohonan. Botol yang masih dalam gegamannya, ia lempar ke arah gua. Namun, seketika muncul pusaran angin dari dalam botol menyedot Srigala dan kawanannya.
Ketika Srigala dan para kawanannya sadar, mereka sudah berada di dalam hutan asing yang tak berpenghuni. “Kurang ajar Kancil. Kalau ketemu dia, aku akan langsung terkam tanpa memberi ampun lagi,” sumpah Srigala.
Sedangkan, Singa dan putrinya maupun rakyat yang ditawan Srigala sudah berada di dalam istana. “Oh, kita sudah ada di dalam istana. Apakah kita sudah aman dari Srigala?” kata Putri Singa takut.
“Tenang tuan putri. Kita sudah aman dari Srigala itu. Aku sudah mengirimnya ke tempat yang jauh dengan botol ajaib ini. Karena, botol ajaib ini bisa melakukan apapun yang kamu minta, tetapi harus berkata jujur,” kata Kancil.
“Kamu memang hebat dan cerdik, Kancil. Tidak sia-sia aku mengangkatmu menjadi penasehat raja. Kamu pantas mendapatkan hadiah istimewa dariku, Kancil,” kata Singa bangga.
Singa menepati janjinya memberikan permata cantik pada Kancil. Dan semenjak itu, mereka tidak pernah lagi diganggu oleh kawanan Srigala. Hutan kerajaan Singa pun menjadi damai kembali. (T)