Ini cerita tentang sebuah panggung di Taman Budaya Bali, yang memiliki ikatan begitu kuat kepada saya. Panggung yang mengubah cara pandang saya pada seni tradisi.
SENIN, 4 Juli 2016. Pagi itu, pukul 11.00, empat orang sepuh dari Dadia Arya Griya, Banjar Ambengan, Desa Tangkas, Kabupaten Klungkung, tengah duduk bersila di tengah-tengah Kalangan Angsoka, Taman Budaya Bali. Mereka tengah memainkan seperangkat gamelan yang bernama Tabuh Saron.
Ini adalah tabuh klasik yang usianya begitu tua. Konon berasal dari Kerajaan Majapahit. Entah sejak tahun berapa. Apakah sejak jam Gajah Mada menjadi patih? Atau sejak Hayam Wuruk berkuasa? Tak diketahui secara pasti.
Sebagaimana nasib tabuh klasik lainnya, tabuh ini terancam kepunahan. Di Dadia Arya Griya, hanya ada delapan orang yang bisa menabuhnya. Di Desa Tangkas, hanya ada tiga kelompok yang masih menggelutinya.
Siang itu, tabuh ini sengaja dihadirkan pada Pesta Kesenian Bali ke-38. Harapannya ada yang menyaksikan. Namun nasib tabuh klasik, tak seindah tari klasik. Ketika tari klasik dipentaskan, penonton pasti menyemut di Kalangan Angsoka.
Berbanding terbalik ketika tabuh klasik dimainkan. Saat Tabuh Saron dibawakan, hanya ada 47 orang yang menontonnya di Kalangan Angsoka. Itu sudah termasuk MC, petugas sound system, juga wartawan. Kebanyakan tidak ada yang menonton, justru sibuk bermain ponsel.
Meski terkesan diabaikan, keempat pria yang belakangan saya ketahui bernama Nengah Rapeg, Nengah Winti, Nyoman Rapug, dan Wayan Suandi, tetap menabuh. Mereka menabuh dari hati, tak peduli ada yang menyaksikan atau tidak.
Saat itu pula saya merasakan kesedihan yang begitu dalam. Ada 47 orang yang menonton – termasuk saya, namun tidak ada yang menyimaknya dengan serius. Tatkala itu, tak terasa air mata saya menetes. Dipicu rasa sedih karena tabuh yang berusia setidaknya empat abad itu, justru tidak ada yang menyaksikan.
Pandangan saya terhadap seni tradisi, saat itu langsung berubah 180 derajat. Sebelumnya, saya begitu menjaga jarak pada seni tradisi. Saya tak paham dengan tari-tarian, juga gong kebyar. Dari sekian banyak seni tradisi, saya hanya paham jegog, karena saya lahir dan besar dan Jembrana. Saya lebih paham dengan kesenian lain, seperti seni rupa, musik, sastra, atau teater. Pemahaman saya terhadap seni tradisi sangat jauh, sangat sedikit.
Hari itu juga, pandangan saya pada seni tradisi berubah. Dalam hati saya bertekad mengembangkan seni tradisi, entah bagaimana caranya. Saya tak bisa menabuh apalagi menari. Saya hanya bisa menulis. Maka saya harus memunculkan wacana-wacana baru di bidang seni tradisi, terutama yang klasik. Kalau bisa yang sudah punah.
Semua seperti gayung bersambut. Tiba-tiba saya teringat dengan sebuah ide membuat film dokumenter tentang Janger Menyali. Janger klasik nan nyentrik. Janger yang tak mengenakan pakaian klasik Bali. Melainkan menggunakan pakaian alat tentara Belanda yang sangat nyentrik.
Semua seperti gayung bersambut. Seorang kawan wartawan, Kardian Narayana bersedia mendampingi menjadi penata gambar. Semua seperti gayung bersambut. Istri saya, Lilik Surya juga setuju mendampingi, serta menggelontorkan dana untuk produksi film tentunya.
Semuanya mendadak terwujud. Wayan Sujana yang saat itu baru saja menjabat sebagai Kabid Kebudayaan pada Dinas Kebudayaan Buleleng, menyanggupi memberikan dana untuk merekonstruksi Janger Menyali. Pasangan suami-istri, Ketut Rediasa dan Luh Sri Susanti juga semangat, bersedia menjadi pelatih tabuh dan pelatih tari. Perbekel Menyali, I Made Jaya Harta juga bersemangat. Siap menggeser dana desa, untuk melancarkan proses rekonstruksi.
Hampir setahun berlalu sejak pencerahan itu muncul, Kamis, 22 Juni 2017, saya datang kembali ke Kalangan Angsoka. Menggandeng dan menyaksikan sebuah pementasan Janger Menyali. Gaya tari janger yang diyakini sempat punah pada tahun 1938 silam. Gaya janger asli dari Buleleng yang begitu nyentrik dan otentik, tapi tak banyak yang tahu. Meski asli Buleleng, gaya Janger Menyali tak pernah diadopsi dalam lomba-lomba janger di Buleleng.
Menyaksikan pementasan Janger Menyali pada Kamis lalu, saya tak bisa berkata-kata. Saya teringat momen setahun lalu, tatkala saya menonton tabuh klasik yang membuat hati terenyuh. Angsoka sudah membuat saya berubah. (T)