MUNGKIN agak terlalu klise jika saya memulai catatan ini dengan menghantarkan pengertian tentang monolog. Sebab, dalam rentang waktu dan jarak yang begitu panjang, monolog telah menjadi bagian kehidupan dan berkesenian sehari-hari. Bukan hanya lebur dalam pentas teater tradisi seperti topeng pajegan dan wayang saja, misalnya. Atau sebagai sebuah genre teater modern yang kita amini bersama dengan istilah “monolog”.
Pada kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai kegiatan pidato, dharma wacana, sampai dengan ocehan, curhatan seorang kawan atau pacar yang ga bisa banget dipotong sedang kita sudah kebelet pingin buang air besar. Bukankah semua itu adalah monolog juga? Dalam naskah Putu Wijaya yang saat ini dijadikan tema Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya khususnya, subtext cerita justru banyak berangkat dari kegiatan pidato, dharma wacana, ocehan, curhatan dan sebagainya.
Pertanyaan yang mucul kemudian adalah, di manakah letak tokoh “kamu” sebagai yang diajak ngoceh, yang diajak curhat, yang diajak ngobrol dalam pertunjukan monolog? Bila mengacu pada paham realisme, tokoh “kamu” bisa saja dilekatkan pada penonton, bisa pula dilekatkan pada “tokoh imajiner” yang dibuat pemonolog. Dengan segala pakem, ketentuan, syarat, nilai yang ada dalam monolog, tentu cara-cara inilah yang dirasa paling pas untuk dilakukan.
Sebab inilah realis. Panggung punya realismenya sendiri. Sedang kami, dengan segala kekurangan yang menyertai, dengan segala kerendahan hati, akan tegas mengatakan bahwa kami, tak cukup mampu buat mengemban harapan dunia yang menginginkan penonton menuju katarsis. Apabila kawan-kawan menyaksikan, kerja monolog yang akan dipentaskan pada Sabtu, 17 Juni 2017 di Taman Baca Kesiman, Denpasar pukul 20.00 Wita ini, tentu akan sangat bertolak belakang, bahkan jauh dari apa yang kita kenal saat ini sebagai “Monolog”.
Monolog “Damai” karya Putu Wijaya bercerita tentang pemburu damai yang memperjuangkan perdamaian. Namun, tak ada satupun yang mampu mendefinisikan apa sesungguhnya arti damai itu sendiri. Alhasil yang terjadi adalah damai selalu dibenturkan dengan perang. Perang menjadi sesuatu, sifat, yang begitu jahat. Sehingga semua mesti memeranginya untuk menuju perdamaian. Dalam pentas ini, akan ada banyak pemain yang kami pakai sebagai apa yang kami sebut dengan properti panggung. Sedangkan penonton dalam hal ini, boleh jadi mengambil peran sebagai tokoh “kamu”, yang diajak bicara oleh pemonolog. Boleh juga ambil bagian menjadi sang pengamat dan penikmat peristiwa.
Hal semacam ini sejatinya tak bisa terlepas dari peristiwa keseharian kita. Seperti saat kita berkendara misalnya, yang mesti berhenti di jalan karena ada upacara agama. Kita bisa saja fokus pada orang-orang yang mengusung pratima, tapakan, gamelan, kober dsb. Tapi tak sedikit pula dari kita yang justru tertarik pada pengendara lain di samping kita, seorang perempuan berkacamata, memakai masker dengan bodi yang aduhai. Yang membuat kita penasaran seperti apa sih wajah aslinya?
Begitu banyak fragmen-fragmen kecil persitiwa yang barangkali, kita lupakan atau kita anggap sebagai bagian yang tak terlalu penting dalam hidup. Namun tanpa disadari, fragmen-fragmen ini pula yang menjadi indikator tak terelakan menafsirkan dunia. Kami sadar, materi perdamaian yang terkandung dalam naskah “Damai” Putu Wijaya, bukanlah sebuah hal yang sederhana. Bagi kami yang tak mampu mengelak dari kesederhanaan ini, hanyalah peristiwa yang sanggup kami hadirkan. Entah memang penting atau tidak sama sekali.
Berangkat dari hal inilah, aktor dalam monolog kami, tak hanya bertugas memainkan peran. Melainkan pula merangkai para pemain yang saya sebut sebagai properti ini, menjadi rentetan peristiwa. Tentu, segala peristiwa yang terjadi ini akan berangkat dari teks naskah “Damai” itu sendiri. Ini pula yang kemudian kami sebut sebagai “Monolog: Monopoli Atas Pentas”. Bagaimana usaha pemonolog memonopoli panggung dan pemain lainnya yang bertugas sebagai properti, merajut fragmen-fragmen peristiwa dengan warna dan unsur yang berbeda bahkan bertolak belakang sama sekali, hingga akhirnya terhimpun menjadi satuan pentas.
Apa yang akan dihadirkan ini, saya pribadi tak ingin menyebutnya sebagai pemberontakan apalagi pembaharuan terhadap monolog konvensional. Kami akan selalu mengamini, bahwa monolog adalah pentas presentasi keaktoran, sebagaimana saya mengamini bahwa kerja keaktoran kami belum cukup mampu menuju tujuan. Saya juga tak akan berlindung di balik kata “Eksperimen”. Sebab memang tak ada niatan sama sekali untuk melakukan kegiatan coba-coba. Ini, adalah kerja kolektif yang saya lakukan bersama kawan-kawan lain berdasar pada teks, subtext, dan konteks akan pemahaman kami terhadap naskah. Yang tentu saja, pastinya memerlukan pembacaan, diskusi, dan pembenahan lebih lanjut di sana-sini.
Maka dari itu kawan-kawan, bapak, ibu, dan saudara-saudara. Sekali lagi, silakan datang ke Taman Baca Kesiman, Denpasar, Sabtu, 17 Juni 2017 pukul 20.00 Wita. Sebab peristiwa yang kami hadirkan takkan mampu menjadi genap tanpa kehadiran “tokoh kamu”, Sang pengamat dan penikmat. (T)
Singaraja, 12 Juni 2017