“Awas, waspada, hati-hati, tukang gebeg lontar sedang beraksi di Bali. Jika tak ingin banyak tahu, cepat sembunyikan lontar Anda. Jika tak ingin sadar akan pentingnya warisan kekayaan intelektualitas manusia Bali tempo doeloe, jangan tunjukkan lontar warisan panglingsir yang selama ini tersimpan dengan tenget tak pernah dibaca. Biarkan lontar itu dimakan ngengat, dimakan rayap, dimakan kecoa, sampai ludes dan Anda tak pernah tahu apa isinya sama sekali!”
He he, jangan dipercaya pesan pembuka tulisan ini. Bacalah tulisan yang agak serius di bawah ini:
***
LONTAR di Bali adalah wadah kedalaman intelektualitas manusia Bali. Dengan media lontar-lah manusia-manusia Bali tempo doeloe menuliskan buah pikirannya, hasil eksperimen, dan simpulan atas fenomena alam, sekala maupun niskala. Maka, kesimpulan sederhananya, lontar yang diwarisi Bali adalah gudang kekayaan intelektualitas.
Percaya? Tentu Anda mesti percaya. Sejarah pun mencatat, peradaban menulis di atas daun lontar (don ental) adalah peradaban kemajuan teknologi keberaksaraan manusia di Bali yang diwariskan dari peradaban di tanah Jawa. Peradaban ini akhirnya dipandang sebagai peradaban yang sukses menyelamatkan harta karun kesusastraan Jawa Kuno pasca runtuhnya kejayaan Majapahit.
Mau bukti? Sudah banyak peneliti menegaskan dengan karya ilmiah bahwa kesusastraan dan berbagai karya ilmiah dalam lontar manusia Bali adalah adaptasi dari karya-karya ilmiah peradaban (keemasan) Jawa. Bahkan saking suksesnya, berbagai genre naskah lontar di Bali kemudian bermunculan, yang tidak hanya hasil adaptasi, namun hasil reinterpretasi, hasil dekonstruksi, hasil ulang alik naskah-naskah lontar Jawa.
Lebih hebat lagi, Bali bahkan menciptakan karya-karya sastra fenomenal yang lepas dari patron Jawa Kuno. Bali sukses mengembangkan pengalaman lahiriah dan batiniahnya lalu didokumentasikan dalam lontar. Guna sekali lagi mempertegas kehebatan ini, Van Eck, seorang penjelajah kesusatraan Jawa Kuno, membuat klasifikasi kepustakaan Bali dengan menyebut bahwa tulisan-tulisan orang Bali sangat komprehensif, sehingga pengklasifikasiannya begitu kompleks. Hebat.
Berdasarkan gambaran itu, tidaklah mengherankan jika masyarakat Bali saat ini mewarisi begitu banyak naskah lontar. Mayarakat Bali banyak yang mewarisi naskah lontar hasil karya kakek-nenek, kumpi, kelab, kléwaran, panglingsir mereka. Sayangnya, generasi pewaris naskah lontar ini cenderung tidak mengetahui dan atau tidak menyadari bahwa mereka mewarisi kekayaan intelektual yang begitu berharga.
Ketidaksadaran ini terjadi akibat beberapa faktor, di antaranya adalah faktor aja wéra. Faktor yang satu ini adalah faktor yang paling dekat dan paling banyak berpengaruh di kalangan generasi pewaris lontar. Aja wéra ini merupakan suatu bentuk ungkapan untuk tidak sembarangan dan serampangan mengambil lontar, apalagi membacanya.
Kesadaran atas ungkapan itu bertujuan positif, tapi kemudian diterjemahkan meleset dari makna sesungguhnya. Aja Wéra sejatinya adalah kesadaran untuk membaca lontar dalam situasi yang “sadar”. Artinya sang calon pembaca lontar memang secara sadar harus siap lahir bathin untuk membaca dan meresapi isi dari lontar. Kemudian, untuk jenis lontar tertentu (kadiatmikan, kalepasan, wariga, modré, dll), membutuhkan guru yang secara khusus mendampingi ketika pembacaan (baca:pembelajaran). Sebab kandungan dalam lontar tersebut tidak saja sulit dipahami tetapi membutuhkan pendekatan khusus. Pada posisi inilah lontar membutuhkan sistem guru-sisya, kepatuhan dan kepatutan. Bukan berarti tidak boleh memegang lontar atau membaca lontar, bukan sama sekali. Ini tegas.
Akhirnya akibat salah persepsi, munculah cerita mistis di balik lontar yang sama sekali tidak berkaitan dengan lontar. Meskipun beberapa lontar tertentu memang diyakini dan memang merupakan dokumentasi dunia mistisitas serta relevansinya dengan kesadaran spiritual manusia Bali. Akibat kesalahpersepsian tersebut, pewaris lontar akhirnya tak berani menyentuh apalagi mencoba menyelami lontar yang mereka miliki. Keadaan ini bertahan dan berlangsung sedemikian lama, diwariskan dari generasi ke generasi, yang menjadikan lontar warisan mereka tak terurus dengan baik. Banyak lontar yang rusak, termakan usia, termakan ngengat, termakan rayap, termakan ketidaksadaran sang pewaris.
Faktor lain yang turut menunjang terpinggirkannya lontar adalah hadirnya jarak antara lontar dan pemiliknya. Jarak yang dimaksud adalah jarak antara naskah lontar beraksara Bali dan berbahasa Jawa Kuno/Bali dengan generasi penerusnya yang alpa belajar aksara Bali apalagi bahasa Jawa Kuno/Bali. Mereka mewarisi fisik lontar, sayang tak mampu menjamah isinya. Kemudian pada beberapa pewaris muncul niat menjamah, namun untuk mengejar keterjarakan aksara dan bahasa terlampau jauh bagi mereka. Akhirnya berhenti, urungkan niat lebih jauh menjamah, sebab takut pula tersesat.
Hadirlah “Tukang Gebeg Lontar”
Dua faktor di atas saja rasanya sudah sangat cukup menggambarkan bagaimana kondisi lontar di Bali. Tapi untuk lebih mendramatisir keadaan, saya tambahkan ungkapan pedas dari Prof. Dr. Dr (HC). Andries “Hans” Teeuw: “Candi di Prambanan telah dipugar, Candi Borobudur sedang dipugar, tetapi candi-candi pustaka Jawa Kuno (baca: Bali) terbengkalai, dilalaikan, dibiarkan bobrok oleh generasi yang seharusnya mencintainya, menyelamatkannya, membanggakannya/” (1978). Cukup pedas bukan?
Atas dua faktos plus satu sindiran A. Teeuw, rasanya sudah cukup alasan untuk para pewaris kebudayaan Bali beranjak dan sadar, bahkan kita adalah pewaris yang sah. Sehingga layak untuk kita preténin warisan candi kebudayaan tersebut. Jika di antara pembaca yang budiman ada yang memiliki warisan candi budaya berupa lontar dan merasa seperti dua faktor yang tersebut di atas, maka solusinya ada di dekat Anda: PENYULUH BAHASA BALI.
Itu adalah solusi yang cepat, hemat, terlebih lagi tepat. Cepat karena mereka hadir menyapa Anda jika berkenan bertandang ke kantor kepala desa atau lurah di tempat Anda berdomisili. Hemat, karena mereka adalah tenaga kontrak yang disiapkan (digaji) oleh Pemerintah Provinsi Bali untuk menjadi garda terdepan menjaga, melestarikan dan menginovasikan Bahasa Bali.
Tepat, karena mereka semua adalah tenaga ahli yang dilahirkan dari dunia akademis jurusan Bahasa dan Sastra Bali/Jawa Kuno di beberapa perguruan tinggi di Bali. Sehingga atas dasar itu, penyuluh Bahasa Bali memiliki kompetensi untuk membantu masyarakat mengelola lontar miliknya.
Secara struktural, penyuluh Bahasa Bali memiliki beberapa divisi, di antaranya adalah Divisi Khusus Konservasi Lontar. Jika sulit dipahami istilah itu, sederhananya mereka adalah baga Pergebegan Lontar. Lebih sederhana lagi, mereka itu Tukang Gebeg Lontar atau “tukang rampas lontar”. Eit, jangan salah. Rampas di sini artinya diambil untuk dibaca dan dikonservasi, dan tentu saja bukan untuk diambil dan dimiliki.
Lihat saja. Mereka siap ngayah bersama Anda (masyarakat) pemilik lontar yang mengalami kesulitan dalam mengelola kekayaan intelektual warisan panglingsir Anda. Kerja mereka sangat militan, cukup teliti, cukup terampil dan tidak menerima upah aliasbayaran, cukup siapkan secangkir kopi atau teh beserta penganannya. Jikalaupun tidak kopi atau teh, atau bahkan air putih, ya tidak masalah juga. Mereka tetap bersedia membantu, tapi itu namanya bes nyajaang sajan. 😀
Sejauh ini, Penyuluh Bahasa Bali telah mendata berbagai jenis lontar di seluruh pelosok Bali. Hasilnya adalah ribuan (lebih dari 8000) yang telah terdata, datanya ada nyata dan bisa kontak penyuluh untuk minta datanya. Beberapa pemilik lontar yang tertutup awalnya, setelah pendekatan yang persuasif dan intensif, perlahan mulai menyadari arti penting penyelamatan (konservasi) sebuah warisan candi budaya.
Sedikit menyombongkan sahabat Penyuluh Bahasa Bali, mereka telah mampu dengan sukses menyadarkan banyak sekali para pewaris candi kebudayaan (lontar) untuk merawat dengan baik warisannya. Euforia lontar di tengah masyarakat Bali kini begitu terasa (jika Anda merasakannya), menggebunya gerakan kemBali pada kecintaan pustaka lontar tengah di hembuskan pada ruang-ruang pemilik cakepan intelektualitas ini.
Sekadar info, penyuluh Bahasa Bali telah membantu mengelola (konservasi) lontar di Gria, Puri, Pondok, Pakubon, Rumah Elite, rumah sederhana, rumah agak sederhana hingga rumah sangat sederhana sekali.
Klien mereka adalah orang Bali yang (kembali) sadar, dan yang sangat sadar mulai dari Sulinggih, Pemangku, Panglingsir Puri, Pan Kacong, Bapa Redig, Madé Stephen, Kelihan Banjar, Kelihan Subak, Bendesa, Tentara, Dokter, Perawat, bahkan terakhir adalah staf khusus Presiden Jokowi (barangkali menterinya sedang menunggu waktu saja).
Barangkali sebagai penutup, saya ucapkan terimakasih bagi sahabat Penyuluh Bahasa Bali yang telah serius bekerja membantu menjaga kekayaan intelektual panglingsir kita sekalian. Saya angkat topi dan secangkir kopi untuk sekalian Anda. Ayo, siuuuuup…! (T)