Cerpen: I Putu Agus Phebi Rosadi
TAK ada rintih sedih di matanya. Perkabungan justru menyulap Basur menjadi orang paling bahagia. Ditambah lagi, ibu dan saudaranya menyetujui niat untuk menjual satu peti wayang peninggalan bapaknya.
Dalam rapat keluarga sore itu, Basur amat bersemangat.
“Percayalah, bila wayang itu memang satu-satunya pilihan dan harus diimani sebagai jalan keluar keluarga kita!” Basur bersabda dengan wajah berseri-seri sambil memegang kedua tangan ibunya. Memang begitulah perangai Basur, kalau urusan jual-menjual kadang melintang di garis depan.
“Kau tahu sendiri, ada ruh yang hidup di dalamnya, kalau mereka tak menghendaki, mereka akan kembali ke rumah ini, rumah pemiliknya, dengan usaha apapun orang lain mengambilnya,” ibunya mengingatkan.
“Sudahlah, wayang itu tak akan kembali. Uang hasil penjualan wayang bisa kita gunakan untuk biaya ngaben. Sisanya juga masih banyak. Semua akan dibagi rata,” katanya menggebu-gebu meyakinkan. Basur tak membenarkan bantahan ibunya.
“Tapi terlalu beresiko kalau ternyata wayang itu tak berkehendak dijual. Dan apabila sesuatu yang tak diinginkan benar terjadi, kita bisa dituduh menipu…” sergah Kompyang, adik kandung Jero Dalang.
“Ini kesempatan,” potong Basur. ”Mumpung ada pembeli dengan harga tinggi.” Basur memelas. “Sekarang coba pikir baik-baik, kondisi keuangan kita sedang tidak bagus. Agar derajat terjunjung sebagai dalang, pengabenan bapak tentu harus sedikit megah. Paling tidak, ada lembu dan naga banda. Harga dua benda itu tak murah. Percayalah. Kadang untuk mendapatkan sesuatu kita harus mengorbankan sesuatu yang lain.”
“Sudah, sudah, kita turuti saja kemauannya. Tapi dengan satu syarat. Kalau wayang itu kembali ke rumah kita, berarti ia tak mau dijual, dan segala resiko kau yang tanggung. bagaimana?” tanya saudaranya yang lain sambil mendelik ke arah Basur.
Basur memberi anggukan yang sekaligus menutup dengan mufakat rapat keluarga. Ia lekas bergegas meraih ponsel dan menghubungi seorang kolektor.
“Tuan tak akan kecewa. Asli. Terawat. Dijamin. Tak akan tuan temukan di lain tempat,” kata Basur pada sang kolektor.
Memang benar, wayang Jero Dalang kesohor sebagai wayang langka. Kulit bahan wayang juga tak sembarang. Jero Dalang dulu membuatnya dengan kulit sapi gading titisan suci wong samar. Sebab bahan itu pula sanggup memalang gangguan gaib yang mungkin ditujukan kepada si empunya atau wayang itu sendiri. Itulah musabab harganya sekarang terpikat mahal.
Sebenarnya usaha menjual wayang itu pernah Basur lakukan. Setelah Jero Dalang jatuh sakit, dan sanggar pedalangan ditutup, wayang itu tak dipakai lagi. Beberapa kali Basur membujuk bapaknya, dan selalu ia mendapat jawaban yang sama: “Kita lebih baik miskin, Sur, daripada harus menjual harta paling berharga keluarga.”
Saat-saat seperti itu Jero Dalang ingin sebenarnya membentak Basur dan berkata : “Anak kurang ajar! Tidakkah kau tahu, aku membesarkanmu dan menghidupi keluarga dengan wayang itu?!” Tapi Jero Dalang tak kuasa melakukan itu. Bagaimana ia sanggup membentak bila untuk bernapas saja terengah.
Pikir Basur, bila jalan baik-baik tak berdaya, maka jalan lain patut dicoba. Ia kemudian mengendap diam-diam mencuri dan menjualnya kepada seorang kolektor asal Australia. Entah apa yang terjadi, sesampai wayang itu di Australia, Basur mendapat telepon bahwa wayang itu hilang. Dan ketika Basur mencari-cari di rumahnya, peti yang berisi puluhan wayang itu terongok di tempat semula, seperti tak pernah bergeser sedikitpun dari tempatnya. Basur heran bukan main. Kejadian itu membikin Basur berkalang kecewa dan merugi. Ia harus mengembalikan uang dari kolektor yang sebagian telah ia habiskan.
Ada dua alasan sebenarnya mengapa Basur amat semangat ingin menjual wayang milik bapaknya. Alasan pertama adalah ranum dendam yang sejak lama bersemayam di kepala Basur. Sekira di usia tujuh tahunan, meski ia nakal, Basur tumbuh menjadi anak berbakat. Di hari pertama ia mulai mencoba memainkan wayang, Basur sudah seperti dalang sungguhan.
Saat sebelum memainkan wayang Basur mengucapkan mantra untuk menyapa lelembut agar mereka tak mengganggu jalannya pertunjukan. Setelah ia mulai mengambil gunungan, mantra untuk menenangkan penonton diucapkan. Sampai pertunjukan selesai, ia juga merapal mantra ucapan terimakasih kepada seisi alam semesta karena pertunjukan telah dilancarkan.
Semua mantra yang rumit itu ia hafal dengan mudah hanya dengan kebiasaan menonton bapaknya mendalang. Jero Dalang merasa bangga kepada anakanya. Sejak itu ia kerap bertutur kepada murid-muridnya bahwa Basur benar-benar akan sanggup melampaui kemahirannya mendalang.
Di hari-hari berikutnya, Basur sering mencuri wayang-wayang itu ketika bapaknya melakukan jeda istirahat latihan mendalang. Ia memainkan sendiri dengan sembarang. Tapi diam-diam Jero Dalang mengawasinya dari jauh. Tapi suatu hari Jero Dalang tiba-tiba murka gara-gara melihat Basur menabrakkan wayang-wayang itu dengan dinding hingga lecet sebagian.
Jero Dalang lalu menghampiri dan bercerita pada Basur kecil bahwa bila wayang-wayang itu disakiti mereka akan berubah menjadi sosok jahat. Tubuhnya akan membesar, berkulit legam dan seram. Matanya besar dan menjorok keluar. Basur ingin sebenarnya tidak percaya.
Namun kenyataannya memang benar seperti itu. Semua cerita bapaknya terseret ke dalam mimpi. Dalam tidurnya, Basur sering bertemu dengan Rahwana dan seluruh konconya. Basur sering dikeroyok dan disakiti. Sampai hari ini, ia seperti tersekap dalam ruang kebencian. Jangankan untuk memainkannya, menyentuh wayang itu saja Basur enggan.
Alasan kedua adalah takdir yang menggiringnya bertemu Retni. Perempuan berwajah rekah dengan mata segar kelopak mawar, dan bila ia tersenyum, bibir tipisnya selalu membuat Basur menelan ludah. Baginya Retni adalah palung nasib. Meski alir deras, Basur akan berenang sekuat mungkin menujunya.
“Retni memang cantik, Sur. Tapi perlu banyak modal untuk mencintainya. Dia janda kembang mata duitan. Sainganmu juga semua orang kaya,” kata teman-temannya mengingatkan.
“Tapi aku terlanjur mencintainya. Sekali berani, maka perjuangan harus sampai mati!” bentak Basur.
Sampai suatu sore, Basur berkunjung ke rumah Retni. Sepulangnya ia memasang wajah murung. “Retni baru saja pergi, dijemput pacarnya.” kata ibunya.
Sejak saat itu, Basur sangat ambisi dan pantang baginya memberikan orang lain untuk mendahului mengajak Retni pergi. Basur berhasil mengandaskan hubungan Retni dengan lelaki itu hanya dalam tenggang sebulan. Entah bagaimana caranya, semua orang heran. Ia pemuda pengangguran, tapi setiap sore ia selalu punya alasan untuk mengajak Retni keluar, dan sepulang itu, Basur selalu membikin Retni kerepotan membawa belanjaan.
Belakangan, barulah diketahui bagaimana uang-uang itu sampai ke tangan Basur. Sejak Basur jatuh cinta pada Retni, ia jarang pulang. Hidupnya terambung-ambung dan sesak teka-teki. Pernah suatu ketika ia tiba-tiba datang dan meminjam motor salah satu murid di sanggar bapaknya, dan sampai sekarang tak pernah jelas juntrung nasib motor itu.
Sekiranya sudah dua kali Basur berlaku serupa. Esoknya, Jero Dalang selalu menambah utang untuk mengganti rugi motor yang dibawa Basur kabur. Tak hanya itu, ketika Basur terpojok bangkrut, tidak memiliki uang serupiah pun, ia terpaksa pada suatu malam mengendap-endap mencuri induk ayam milik ibunya yang sedang bertelur. Dengan menempelkan sabut kelapa yang digosok bawang di dekat kepalanya, maka mata ayam itu perih dan tak akan berkeok kala didekap. Basur dengan segera kemudian membawa induk ayam beserta telur-telurnya untuk dijual di pasar.
Berbilang bulan kemudian, tabungan bapaknya habis untuk membayar utang. Hampir setiap hari, ada saja yang mengadu perihal utang-utang Basur. Jero Dalang terpatah berkoar mengutuk perangai Basur dan menyumpahi hidupnya. Setiap kali Jero Dalang bertemu Basur, selalu ia merasa bersalah. Karenanyalah Basur tak paham bahwa ia adalah satu-satunya keturunan lelaki yang harus mengadu untung-malang hidup dengan waris ilmu dalang.
Tapi hari ini hidup Basur bergegas kembali meraih titik terang. Ambisinya untuk meminang Retni akan terwujud. Basur benar-benar tak ingin menuai kegagalan lagi. Sore setelah rapat keluarga diputuskan, Basur mendatangi orang pintar, dan menanyakan perihal wayang itu pernah tak mau dijual dan kembali lagi ke rumahnya. “Peninggalan bapakmu bukan wayang biasa. Mestinya tak boleh dijual,” kata orang pintar itu. Ia kemudian berbisik di telinga Basur. Entah apa yang mereka bicarakan.
Sepulangnya, Basur bersiul gembira. Ia langsung menyelinap ke ruang penyimpanan wayang. Basur berdiri ngangkang di atas peti. Mulutnya komat-kamit, tempo-tempo ia membuka peti, kemudian membuka retsleting sebelum ia selorotkan celanaya ke bawah. Sambil mengencingi wayang, Basur membayangkan bagaimana sebentar lagi akan memiliki banyak uang dan menikahi Retni. Dengan langkah tenang dan riap cahaya gembira di wajahnya, hatinya mantap melangkah kemudian menuju kamar. Di atas dipan ia baringkan tubuh.
Menatap langit-langit kamar sambil menyisir rambutnya dengan jemari. Ia ingat petunjuk yang diberikan orang pintar itu perihal ritual selanjutnya, bahwa pada detik matanya mengatup dan memasuki wilayah tidur, ia harus mengucapkan mantra untuk memalang ruh-ruh wayang yang mungkin hadir dalam mimpinya untuk menuntut balas perlakuan kasarnya. Menunggu saat-saat seperti itu adalah siksa. Basur kembali memijat dahinya sendiri tanpa sadar saraf-saraf matanya kian melemas.
Dan akhirnya ia harus mengakui bahwa Tuhan selalu punya siasat untuk mematahkan rencana manusia. Matanya benar-benar terasa berat. Malam itu, tanpa sempat menjalankan petunjuk, Basur langsung tertidur. Nyenyak sekali. (T)