SUKAWANA adalah sebuah desa dalam jajaran desa-desa tua di pegunungan Bali. Pura Penulisan dan Pura Balingkang mengapitnya. Sebuah kawasan yang bertutur banyak ketika seseorang hendak merunut perjalanan kebudayaan Bali. Kawasan arkeologis abad-abad awal masa keberaksaraan Bali.
Seperti desa-desa sekitar lainnya: Penulisan, Dausa, Serai, Manik Liu, Batur, Kintamani, dan Bwahan, di Sukawana juga ditemukan prasasti. Sebuah prasasti yang oleh Dr. Roelof Goris disebut sebagai Prasasti Sukawana AI dalam buku Prasasti Bali, Incripties Voor Anak Wungsu (1954), ditemukan di sana.
Prasasti itu disurat dalam bahasa Bali Kuna, berangka tahun Saka 804 (891 Masehi), menjelaskan perihal pemberian izin kepada beberapa bhiksu untuk membangun pertapaan dan pesanggrahan (satra) di daerah perburuan (atau perguruan?) di Bukit Cintamani. Batasnya ditetapkan. Bhiksu-bhiksu tersebut dibebaskan dari bermacam-macam pajak. Jika ada salah seorang bhiksu yang meninggal, tentang warisannya diurus dan ditetapkan. Sebagian dari warisannya dipakai untuk membeli perkakas pesanggrahan.
Muasal Kata Seni
Ada satu kata dari dalam prasasti tersebut yang akrab dengan telinga kita, yaitu seni, yang dalam prasasti ini ditulis senhi: “… hangga tukad ye kalod, anada tua bhiksu, grama musirang ya marumah ditu, tani kabakaten laku langkah, kayu tringtihing tanggung yathakrtya bsar senhi…”
Dibandingkan dengan yang tertulis dalam Prasasti Srodokan (tahun Saka 837), kata ini ditulis tanpa huruf /h/: sni.
Kata itu mempunyai makna yang berbeda dengan maknanya sekarang. Kata senhi atau sni dalam dua prasasti ini berarti kecil.
Saya meyakini inilah akar arti kata seni yang pakai sekarang dalam berbagai bentukan kata: seniman/wati, kesenian, nyeni, berkesenian, dan seterusnya. Semua deretan kata tersebut kehilangan konteks bila kata seni-nya diganti dengan arti kata senhi, yaitu kecil. Namun, jejak arti ini dapat kita temukan dalam sebuah istilah yang tetap berarti sama walaupun pasangan kata-nya diganti dengan kata kecil. Istilah air seni tetap punya artinya sama dengan air kecil. Atau, ular seni sama maksudnya dengan ular kecil. Dan atau, dalam bahasa Bali, kata cenik (kecil) berasal dari dari kata seni?
Lalu, adakah hubungannya dengan ungkapan Inggris: Small is beautiful? Yang jelas: senhi berarti small, pada masa Bali Kuno!
Hal yang mengganggu dalam benak kita adalah sebuah pertanyaan: Kenapa kata seni sekarang begitu “jauh” perkembangannya dengan arti sebelumnya?
Bahasa adalah sebuah media yang bersifat mirip organisme yang hidup, selalu berubah sesuai gerak perubahan pola pikir dan situasi kultural pemakainya yang terus berubah sesuai perubahan zaman. Banyak kata yang hilang atau tidak banyak dipakai, banyak kata yang “bergeser” maknanya. Dalam rentang waktu panjang dan situasi kultural yang berubah inilah, banyak kata, dalam hal ini kata seni terus mendapat pemaknaan baru hingga “bergeser” sampai maknanya seperti yang sekarang kita kenal.
Dengan menyadari “pergeseran” makna kata semacam ini, sebut saja pendekatan etimologis, kita akan mereka-reka kembali pemaknaan arti kata seni. Jika seni berarti kecil, berkesenian berarti usaha untuk memperkecil “sesuatu”?
Nyeni berarti melakoni “laku pengecilan” dalam hidup?
Keyakinan yang paling mendasar untuk meraih kedamaian hidup dalam masyarakat Bali adalah memperkecil momo dalam diri. Kata momo adalah akumulasi dari kerakusan, kekusutan, kegilaan, keangkuhan, keakuan, kemarahan, kecongkakan, kebingungan, dan seluruh potensi destruktif dalam diri manusia yang akan meledak memberangus kemanusiaan kita, bila kita tiada kendali untuk memperkecilnya.
Orang Bali, secara tradisional, melakukan kesenian dalam rangka untuk murnayang ati (menyempurnakan jiwa), dengan jalan nguwangin momo (memperkecil momo). Memperkecil momo inilah letak mendasar arti seni. Seni merupakan kendaraan kecil — “hinayana” — wahana memperhalus pekerti, dengan jalan masuk ke dalam diri untuk mengenali hakikat, kehalusan diri. Lewat seni, manusia sebagai makhluk spiritual bergerak untuk pengidentifikasian diri memasuki kehalusan semesta dan manunggal (menyatu) dengan Sanghyang Licin (Keillahian Yang Terhalus).
Dalam pandangan para seniman atau sastrawan tradisional di Bali, seni dapat dikatakan seni, hanya apabila seni mampu memperkecil momo. Jadi, seni-man/wati adalah sosok yang hidup dalam kesederhanaan, nyeni adalah melakoni hidup dengan selalu memperkecil momo dalam diri. Karya seni dapat dikatakan karya seni apabila mampu lebih memperhalus pekerti manusia.
Karya seni merupakan hasil pewujudan insipirasi dari ketiadabatasan yang tiada terbatas dengan keterbatasan bentuk. Namun, pengecilan yang mampu menggugah kembali ketiadabatasan yang terkandung dalam diri manusia yang bersentuhan dengannya. Di luar itu semua, seni bukanlah seni, hanyalah hasil kekusutan pikiran manusia, geliat-geliat kegelisahan yang tiada berujung pangkal. Peracunan seni. Pembenaran laku hidup atas nama kata seni yang salah kaprah.
Di Sukawana, di titik ditemukannya prasasti itu, alam membahasakan diri lewat kabut. Kabut datang dalam tiupan angin, berangkat dalam tiupan angin. Pada lahan pertaniannya, perbukitan dan lembahnya, dalam tiupan anginnya; manusia yang bertani di lahan-Nya dan berumah di sana lebih paham arti kata seni. Seorang petani, yang ketika ditanya, tersenyum sebelum menjawab. Laku-nya lebih keras dari bicaranya. Yang selalu setia berdamai dengan alam, pada diri sendiri. Yang ritme hidupnya menyatu dalam ritme alam. Padanya, alam bertutur lebih pasti tentang hakikat senhi. (T)
Toya Bungkah, Batur, 6 Mei 1997