BELAJAR tekanan udara, tentu kita akan belajar masalah faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan udara, alat ukur, dan rumusnya. Kemudian, diberi pemahaman bahwa tekanan udara di setiap daerah berbeda tergantung ketinggian daerah tersebut. Sebab, perbedaan tekanan udara ituah yang mengakibatkan berbagai fenomena cuaca seperti angin, topan, badai, maupun yang lainnya.
Akan tetapi, tujuan belajar anak usia PAUD/TK tidak akan peduli dengan pemahaman itu. Anak-anak hanya ingin memainkan permainan yang serius, bukan main-main seperti orang dewasa sedang membohongi anak-anak. Sebab, dunia ini adalah tempat bermain dan tempat bereksperimen dalam pencapaian maknanya. Anak akan takjub melihat sesuatu yang ajaib walaupun hal itu kita lihat biasa saja.
Apalagi, jika tujuan belajar dikemas dalam cerita dan diperankan dengan serius, anak akan belajar dalam suasana penuh kekaguman.
***
Lalu, suatu ketika guru dengan serius menceritakan kisah “Kisah Penjalanan Yudistira dan Botol Minumannya”. Begini kisahknya:
Di tengah hutan dalam perjalanan pulang menuju istana, Yudistira dan keempat saudaranya sedang beristirahat di bawah pohon besar. Terik sinar matahari pada saat itu sangat panas. Bekal mereka pun sudah habis tak bersisa lagi.
“Kak, aku haus. Aku ingin minum.Tenggorokanku terasa kering karena panas hari ini,” keluh Nakula.
“Aku juga, Kak. Apalagi sudah menempuh perjalanan panjang. Aku lelah,” celetuk Sahadewa.
Melihat keadaan adik-adiknya yang kelelahan dan kehausan, Yudistira mengambil botol minumannya. Akan tetapi, air dalam botol itu hanya tinggal sedikit.
“Minum ini dulu, berbagi dengan adikmu,” ucap Yudistira. Nakula dan Sahadewa saling berbagi air minum itu.
“Masih haus, Kak,” kata Sahadewa.
“Bima, coba kamu cari air di sekitar hutan ini! Siapa tahu ada danau!” pinta Yudistira.
“Ya, Kak. Aku akan secepatnya kembali membawa air minum untuk kita semua,” jawab Bima menyanggupi permintaan kakaknya.
Bima pergi membawa botol minumannya menyusuri hutan mencari danau ataupun sungai. Ia pun akhirnya menemukan danau yang agak jauh dari tempat peristirahatan mereka. Air danau itu jernih dan bening.
“Akhirnya aku menumukan air di sini. Sebelum memasukkan air ke dalam botol ini, sebaiknya aku membasuh muka agar terasa segar dan capek ini hilang,” kata Bima berbicara sendiri.
“Hentikan, jangan kau ambil air itu,” terdengar suara misterius.
Bima kaget mendengar suara itu. Ia memandangi di sekeliling danau itu, tapi tidak melihat satu orang pun.
“Siapa engkau? Aku tidak melihat siapapun di sini,” tanya Bima. Bima tidak mendengar jawaban apapun lagi.
“Ah, mungkin aku salah dengar karena terlalu lelah,” pikir Bima. Bima melanjutkan keinginan membasuh wajahnya. Ia menyatukan tangannya membentuk mangkuk dan menyendok air danau itu.
“Oh, airnya tidak bisa diambil.Kenapa bisa begini? Airnya menghilang ketika ada di tanganku?” ucap Bima terkejut heran.
“Apa hakmu berani mengambil air ini? Air ini adalah milikku. Siapapun tidak boleh mengambil airku,” terdengar suara menggelegar.
“Ternyata benar yang aku dengar,” pikir Bima.
“Maafkan hambamu ini telah lancang ingin mengambil air ini. Tapi, hamba dan saudara-saudara hamba sangat kehausan karena dari perjalanan jauh,” kata Bima sujud di depan danau itu.
“Kau tetap tidak boleh mengambil air ini! Silahkan kau mencari air di tempat yang lain!” terdengar suara misterius itu memerintah.
“Hamba mohon diijinkan mengambil air ini. Hamba sudah berkeliling di sekitar hutan ini, tapi tidak menumukan apa-apa dan hanya menemukan danau ini,” ucap Bima.
“Baiklah, kau boleh mengambil air ini jika berhasil membawanya,” kembali bergema suara misterius itu.
Tiba-tiba, seorang kakek tua muncul dengan pakaian serba putih dari dalam danau. Kakek itu menghampiri Bima. Bima sontak heran melihat kakek yang bercahaya dengan pakaian serba putih itu.
“Serahkan botol minumanmu!” pinta kakek tua itu.
“Ini botol hamba, Kek,” ucap Bima menyerahka botol minumannya.
Kakek itu mengambil botol minum itu. Kemudian, tutup botol itu diambil. Dengan sihirnya, kakek itu melobangi bagian tubuh botol minuman itu. Sekarang, botol minum itu memiliki lubang kecil.
“Sekarang kau boleh membawa air danau ini dengan botol minummu ini. Ingat, kau tidak boleh menutup lubang kecil botol ini. Jika kau tutupi lubang kecil botol itu, air dalam botol minummu akan menghilang,” kata kakek itu.
“Bagaimana hamba harus membawa air dengan botol bolong ini?” ucap Bima bingung.
Namun, kakek tua itu sudah menghilang dari hadapan Bima. Tanpa berpikir panjang, Bima memasukkan air ke dalam botol minumnya dan lari sekencang-kencangnya agar cepat sampai. Ketika sampai di tempat peristirahatan mereka, Bima menyerahkan botol minumnya kepada Yudistira.
“Bima, mengapa air yang kamu bawa cuman sedikit? Botolnya juga bolong,” tanya Yudistira heran.
“Kak, Bima pingsan,” ucap Arjuna.
“Oh, apa yang terjadi? Ini pasti terjadi sesuatu pada Bima,” pikir Yudistira bingung melihat saudaranya pingsan.
“Kak, biarkan aku saja yang mencari air,” pinta Arjuna.
“Pergilah Arjuna, hati-hati,” kata Yudistira.
Arjuna pergi mencari air dengan membawa botol minumannya yang masih utuh. Ia sampai di danau tempat Bima mengambil air tadi. Ia bergegas mengambil air danau itu. Namun, kejadian yang dialami oleh Bima juga dialami oleh Arjuna. Bergitu juga dengan Nakula dan sahadewa mengalami hal yang sama. Mereka tidak ada yang berhasil membawa air danau itu. Mereka pun pingsan kelelahan seperti Bima.
Kini, tinggal Yudistira sendiri menyaksikan kejadian-kejadian yang dialami oleh sudara-sudaranya. Ia sedih melihat sudara-sudaranya yang belum juga sadar. Ia juga belum mengerti apa yang terjadi dengan sudara-sudaranya. Ia semakin penasaran ingin mengetahui kejadian yang sesungguhnya.
“Aku harus menemukan danau itu. Sebenarnya apa yang ada di danau itu?” pikir Yudistira. Yudistira pergi mencari danau itu dengan membawa botol minuman miliknya yang masih utuh.
“Danau ini airnya sangat jernih. Di sini, aku tidak melihat siapapun. Mengapa saudara-sudaraku menjadi seperti itu? Mungkin karena mereka terlalu lelah,” ucap Yudistira ketika sampai di danau itu.
Merasa tidak ada yang mencurigakan dan tidak ada yang aneh, Yudistira membuka tutup botol minumnya. “Aku harus cepat membawa air ini. Mungkin, saudara-saudaraku sudah terbangun dari pingsannya,” kata Yudistira meyakinkan diri.
“Hai anak muda, jangan kau ambil air itu! Kau tidak akan bisa mengambil air ini. Air ini adalah milikku,” terdengar suara kakek tua. Kakek tua itu muncul dari dalam danau.
“Maaf, hamba tidak tahu kalau danau ini milik kakek,” ucap Yudistira.
“Jika kau tidak ingin seperti sudara-sudaramu, jangan pernah kau ambil air ini! Namun, kalau tetap berkeinginan membawa air ini, kau harus berhasil membawa air ini,” kata kakek tua itu.
Tiba-tiba, botol yang masih dipegang oleh Yudistira ada bolong kecil. “Silahkan ambil air danau ini dengan botolmu itu! Tapi kau harus ingat, jika kau menutup lobang kecil dalam botol itu, air akan menghilang sendiri,” ucap kakek tua itu.
“Jadi kejadian ini yang dialami oleh sudara-sudaraku. Tentu mereka tidak akan bisa membawa air danau ini. Sebab, air dalam botol didorong oleh kekuatan udara sehingga air terus keluar melalui lubang kecil dalam botol,” pikir Yudistira.
“Apakah kau sanggup anak muda?” tanya kakek tua itu memecah lamunan Yudistira.
“Hamba sanggup kakek.Tapi, mohon kakek mengembalikan tutup botol minuman hamba!” ucap Yudistira.
“Mengapa aku harus mengambil tutup botol ini?” tanya kakek tua itu.
“Jika tidak menutup mulut botol minum ini, hamba tidak mungkin bisa membawa air. Karena, kekuatan udara akan terus mendorong air dalam botol keluar dari lubang kecil ini,” kata Yudistira.
“Coba kau buktikan!” pinta kakek tua itu dan memberikan tutup botol milik Yudistira.
“Ya, hamba buktikan,” ucap Yudistira. Yudistira memasukkan air danau ke dalam botol dan menutupnya rapat-rapat. Kemudian, diangkatlah botol itu tinggi-tinggi. Ternyata, memang benar airnya tidak keluar dari botol itu.
“Ini kek! Hamba akan bisa membawa air danau ini tanpa harus menutupi lubang kecil botol ini,” ucap Yudistira memperlihatkan pembuktiannya. Tapi, kakek tua itu hilang di balik jernihnya air danau itu.
Tiba-tiba, cahaya pelangi mengelilingi tubuh Yudistira. Tubuh Yudistira hilang terbawa cahaya pelangi itu. “Ada apa ini? Mengapa aku bisa ada di sini?” keluh Yudistira heran melihat dirinya sudah berada di samping sudara-sudaranya yang masih pingsan.
“Hai putraku, kau tidak perlu bingung. Kakek yang kau lihat di danau itu adalah aku, Dewa Dharma. Kau sudah berhasil menyelesaikan tantangan yang aku berikan. Sekarang buka tutup botol yang masih kau pegang! Ketika tutup botol itu terbuka, pancuran air akan keluar dari lubang botol membangunkan saudara-saudaramu,” ucap Dewa Dharma.
Belum sempat Yudistira melihat sosok Dewa Dharma, Dewa Dharma menghilang bersama sinar cahaya pelangi. Lalu, Yudistira membuka tutup botol minum miliknya dan air keluar dari lubang kecil botol membangunkan sudara-sudaranya.
“Menjadilah sudara yang saling menjaga dan menyayangi,” itu sabda terakhir Dewa Dharma.
Di hutan itu menjadi hening, hanya terdengar nyanyian-nyanyian burung. Yudistira dan saudara-saudaranya melanjutkan perjalanan. Namun ajaibnya, botol-botol minuman mereka kembali utuh dan air yang ada di dalamnya tak pernah habis walaupun selalu diminum selama dalam perjalanan.
***
Dari kisah cerita “Penjalanan Yudistira dan Botol Minumannya” ini anak-anak bermain sains sederhana tentang tekanan udara. Ketika mulut botol masih tertutup, air tidak keluar dari lubang kecil botol. Namun, ketika tutup botol dibuka, air keluar dari lubang kecil botol. Kemudian, anak memahami bahwa ketika mulut botol ditutup, udara tidak dapat mendorong air keluar botol. Dan, ketika tutup botol dibuka, air didorong oleh udara sehingga air keluar melalui lubang kecil botol. (T)