SAYA tidak pernah semalu ini menjadi orang Indonesia, saat ini. Banyak orang yang selalu dengan senantiasa membangga-banggakan dirinya sebagai orang Indonesia. Katanya, kita punya adat istiadat yang kental, kita punya beragam budaya dan kesenian tradisional yang begitu membanggakan. Lalu apa? Apakah negara lain tidak punya adat istiadat mereka sendiri? Apakah mereka tidak memiliki seni khas mereka sendiri? Apa hanya itu yang bisa dibanggakan?
Sayangnya iya. Kita memang tersusun dari berbagai jenis adat budaya, agama dan tradisi. Lalu di mana istimewanya? Maaf, bukan maksud saya mencemooh budaya, tradisi dan agama kita yang begitu menarik jika dibandingkan dengan negara lain, mungkin. Ya, hal itu membuat kita bangga sebagai orang Indonesia, tapi bukan berarti tidak ada hal yang memalukan sebagai orang Indonesia. Ada beberapa hal yang membuat saya malu sebagai orang Indonesia.
Hal sederhana pertama yang membuat saya cukup malu, WAKTU. Bagi saya, kita terlalu toleran terhadap kebiasaan tidak menghargai waktu. Sepele mungkin, “Ah, cuma terlambat 15 menit,” “Ah baru 30 menit,” “Lagian kan jadwalnya pasti dimajukan 1 jam, soalnya mereka tahu kita pasti datangnya lebih lambat 1 jam.” Memuakkan!
Saya tidak bermaksud untuk mengeneralisasi bahwa semua orang Indonesia memfleksibelkan waktu, tapi kebanyakan dan kebiasaan kita berpikir seperti itu merupakan sebuah indikasi bangsa yang mengalami kemunduran. Masalah “jam karet” mungkin terlihat sepele, namun itu merupakan hal kecil yang menjadi fondasi sebuah komunitas untuk belajar menghargai. Jika waktu saja tidak dihargai, bagaimana mau menghargai hal lain?
Hal yang kedua yang sangat miris di pandangan saya, SEKOLAH. Sekolah kini menjadi ajang eksperimen pemerintah untuk menunjukkan kedigdayaannya. Berganti pemerintahan, berganti pula kurikulum. Lalu apa manfaatnya? Ketidakstabilan pengembangan pendidikan. Saya ingin sedikit realistis. Jaman sekarang, murid sekolah hanya untuk mendapatkan nilai dan lulus saja. Esensi sekolah sebagai institusi tempat anak-anak belajar mulai memudar. Peran sekolah dan sistem pendidikan formal sebagai sarana belajar telah bergeser makna menjadi sarana eksperimen pemerintah dan pemberian cap (baca: nilai) semata bagi siswa.
Tragisnya lagi, nilai-nilai yang mereka dapatkan adalah nilai cuma-cuma yang diberikan guru karena takut apabila muridnya tidak lulus. Sangat salah menurut saya. Sekolah tidak hanya bertujuan untuk meluluskan murid, tapi lebih penting dari itu adalah untuk membuat mereka memiliki cara berpikir yang logis, rasional, toleran dan apresiatif. Katanya pendidikan karakter? Bagaimana mau membangun karakter jika kelulusan mereka dipaksakan? Seorang anak seharusnya diberikan kesempatan untuk gagal yang terbimbing, karena dengan itulah mereka bisa belajar untuk memotivasi dan mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik.
Hal ketiga yang menjadi sorotan saya adalah, TELEVISI. Saya sangat sedih sekali ketika hari Minggu dan yang saya tonton di televisi adalah acara-acara basa-basi yang memaparkan kehidupan pribadi selebritis (yang saya yakini hanyalah hasil rekayasa) yang katanya adalah reality show. Sangat sedih saya bahwa hari Minggu, satu-satunya hari kebebasan bagi anak kecil telah direnggut. Saat saya kecil justru pada hari Minggu saya rajin bangun pagi, karena acara kartun dan acara anak-anak ditayangkan mulai dari pagi sampai sore.
Tapi sekarang, yang memenuhi televisi, dalam hal ini hari Minggu, adalah acara-acara yang katanya reality show, acara-acara politik hingga acara musik yang justru digunakan sebagai acara curhat. Aneh sebenarnya, kenapa seseorang mau mempublikasikan kehidupan pribadinya. Sangat aneh. Sangat tidak masuk akal. Bagi saya, anak-anak masa kini telah direnggut masa kanak-kanaknya karena mereka dengan gampangnya terekspos ke acara-acara ataupun media yang lebih layak disuguhkan kepada orang-orang 18 tahun ke atas. Sangat saya sayangkan.
Tidak berhenti sampai di sana, yang selanjutnya membuat saya sedih adalah, keterbelakangan mental kita dalam BERBIROKRASI. Realistis saja, banyak orang yang dengan gagahnya menepuk dada karena mendapatkan suatu pekerjaan, utamanya dalam pemerintahan. Padahal mereka menggunakan “orang dalam” untuk memasukkan nama mereka ke dalam daftar pegawai institusi-institusi tersebut.
Sekali lagi, saya tidak mengeneralisasi masyarakat kita. Saya yakin sekali banyak yang mendapatkan pekerjaan karena mereka memang berhak dan berkualifikasi untuk pekerjaan tersebut. Tapi saya masih menyayangkan pendapat atau pola pikir banyak orang bahwa pekerjaan itu harus dibeli. Sungguh aneh, orang yang mencari uang harus mengeluarkan uang dulu.
Di samping pekerjaan, masih banyak dari kita yang mau menggampangkan urusan adminstrasi birokrasi. Contohnya saja, calo pembuatan SIM, calo pembuatan paspor, dan calo-calo lainnya masih melenggang berkeliaran. Ini juga satu hal lain yang menunjukkan betapa terbelakangnya mental kita. Kalau ingin cepat dan gampang bayar saja pegawainya. Saya menangis. Kenapa hanya karena orang lain melakukan hal tersebut kita merasa harus melakukan hal yang sama? Saya menangis karena akal sehat dan mental kita telah punah. Apa tidak bisa kita mengikuti aturan dan berusaha dengan diri sendiri untuk mendapatkan apa yang kita inginkan?
Yang terakhir yang begitu membuat saya marah dan sedih akhir-akhir ini, kemunduran kita dalam BERDEMOKRASI. Hati saya teriris ketika berpikir bahwa perjuangan para pejuang ‘98 kini disalahgunakan. Mereka berjuang untuk kebebasan. Kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan kebebasan lainnya. Kini semuanya terlalu bebas, dan saking bebasnya mereka menyalahgunakan kebebasannya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Menyuarakkan aspirasi boleh saja, tapi tetaplah menyediakan hati yang lapang untuk segala keputusan.
Awalnya saya ragu untuk menulis artikel ini. Namun kesabaran saya untuk mentoleransi hilangnya akal sehat dan toleransi di negeri ini tidak mampu lagi terbendung ketika hakim memvonis 2 tahun penjara untuk Ahok. Jujur saya mungkin sedikit sinis jika mengatakan bahwa demo untuk memenjarakan Ahok yang dilangsungkan berkali-kali oleh jutaan massa itu tercampur dengan muatan politik. Tapi secara logika, bagi saya, tidak layak orang seperti Ahok dipenjara hanya karena satu kesalahan sebagaimana yang dituduhkan itu.
Jika melihat kontribusi Ahok bagi warga Jakarta semasa menjadi gubernur, saya rasa kesalahannya itu tidak sebanding dengan kontribusi yang telah ia berikan. Apalagi, Ahok sudah meminta maaf berkali-kali kepada mereka yang merasa dinistakan. Sangat konyol dan sangat tidak masuk akal jika ini semua dikatakan tidak ada adukan politik di dalamnya.
Maaf jika tulisan ini terbawa kemana-mana. Saya bukan tipe orang yang suka politik dan sejenisnya. Saya hanya sangat geram melihat begitu mundur dan terbelakangnya akal sehat kita dan mental kita sebagai manusia. Melihat beberapa hal di atas, saya ingin memotivasi kita semua untuk merevolusi mental, merenovasi otak, mengevaluasi budaya, dan mengadaptasi perilaku yang layaknya perlu diadaptasi untuk perkembangan mental dan perilaku serta pembangunan karakter yang lebih baik bagi kita sebagai manusia, tidak hanya sebagai orang Indonesia, tapi sebagai manusia secara umum.
Hanya sekadar curahan pemikiran sederhana saya saja. Katanya kita bebas berpendapat bukan? Kalau orang lain memiliki pendapat berbeda, lapangkanlah hati untuk menerima pendapat tersebut. Mari “telanjangi” sedikit pikiran kita agar lebih terbuka dan mampu melihat suatu masalah dari berbagai segi perspektif dan mampu menanggapi segala hal dengan lebih bijak.
Salam damai. (T)