SUATU sore, di taman, ada seorang anak sedang asyik bermain. Ia berlarian di padang rumput, menikmati warna-warni bunga. Namun, ia terhenti ketika melihat kumbang. Ia mengamati binatang itu. Ia sibuk tenggelam memperhatikan tubuh kumbang itu, menghitung jumlah kakinya, memperhatikan pergerakan antenanya, memperhatikan matanya, dan membiarkannya bergerak di tangan.
“Sedang apa kamu, Nak?” tanya ibunya dari kejauhan mengagetkan anak itu. Ibu itu mendekati anaknya.
“Sedang lihat hal ini, Bu,” jawab anak itu memperlihatkan kumbang.
“Oh, lagi mempahatikan kumbang,” ucap ibunya.
“Ya, Bu,” respon anak itu yang terus asyik mempermainkan kumbang di tangannya.
“Kalau sudah selesai, lepaskan kembali kumbang itu. Mereka juga punya kehidupan sendiri,” ucap ibu anak itu.
“Ya, Bu,” jawab singkat anak itu.
Melihat tingkah laku anaknya, ibu itu tersenyum bahagia.“Lanjutkan mainmu, Sayang. Nanti ceritakan ya sama ibu!” ucap ibu anak itu.
Ibu anak itu pun kembali ke tempat duduknya dan memperhatikan anaknya yang asyik bermain dari kejauhan.
“Bu, kumbangnya sudah pulang. Ia pergi menemui bapak ibunya,” kata anak itu ketika sudah selesai bermain.
Mendengar ucapan anaknya, ibu itu bahagia karena hari ini anaknya mendapat pengalaman baru.
Kumbang di Tempat yang Lain
Di suatu tempat yang lain, ada juga anak yang asyik mengamati tingkah laku kumbang.
“Bu, ini binatang apa namanya?” tanya si anak.
“Buang itu. Nanti kamu digigit, luka!” ucap ibunya takut.
Ibu si anak mengambil kumbang itu dan melemparnya jauh-jauh. Kumbang terlempar bahkan mungkin mati membentur batu. Si anak hanya bisa menangis tidak bisa bermain dengan si kumbang. Si anak pun diiming-imingi es krim agar tidak menangis lagi. Ibu si anak itu sangat bangga bisa melindungi anaknya. Dan, ibu si anak itu selalu mengulang kejadian itu hingga anak merasa sudah terbiasa.
I Belog Pengembala Bebek
Lalu, apa yang dapat kita lihat dari kedua pengalaman anak itu? Bisahkah kita melihat karakter masa depan kedua anak itu?
Dan, bagaimana jika menceritakan berulang-ulang seperti satua (cerita) ‘I Belog Pengembala Bebek’ dalam konteks pemahaman yang berbeda pada anak yang berbeda? Ah, lebih baik mendengarkan ceritanya terlebih dahulu.
Dahulu, diceritakan I Belog terkenal sebagai peternak bebek. Sayang, bebek-bebeknya sudah mati semua dan hanya tinggal satu bebek yang kurus gundul tak berbulu lagi. Bebek itu sekarang dipelihara oleh I Belog. Dari pagi sampai sore, I Belog mencarikan makan untuk bebek kurus itu. Terkadang, I Belog mengajak bebek itu berenang ke sungai.
Bebek kurus itu sangat penurut dan setia. Jika I Belog pergi bekerja ke ladang, bebek kurus itu pasti mengikuti dari belakang sambil berbunyi kwek kwek kwek…
Sungguh, I Belog bahagia walaupun bebek yang dimilikinya cuma satu dan kurus.
Suatu sore, I Belog akan memberi makan bebeknya. I Belog memanggil, ”Ri…ri…ri…ri!”
Tetapi, bebeknya tidak ada. I Belog bingung mencari bebeknya. Dia mencari ke sana-ke mari, tetapi tidak ada. I Belog mencari ke sungai sambil memanggil-manggil bebeknya, ”Ri…ri…ri!!!” Tetap saja tidak ada jawaban. Sampai malam I Belog mencari-cari bebeknya, masih juga tidak ditemukan.
“Oh, kemanakah bebekku? Kok bisa hilang begini. Pergi ke mana dia? Apalagi sudah larut malam. Sudah gelap, tidak terlihat apa-apa,” ucap I Belog kebingungan dan sangat sedih kehilangan bebeknya.
Sampai di hulu sungai di bawah pohon asem, ada sebuah batu besar. I Belog duduk di atas batu itu dan bengong. I Belog tidak tahu kalau tempat itu sangat angker. Saat I Belog melamun bengong, tiba-tiba ada orang tinggi hitam dan dadanya berbulu datang menghampirinya. Matanya melotot dan bertaring tajam. I Belog kaget dan takut. Ia ingin berlari tetapi kakinya lemas dan gemetar. Ia hanya pasrah didekati oleh orang tinggi hitam itu.
“Sudah malam, kok kamu masih ada di sini. Apa yang kamu cari, Belog?” tanya si orang tinggi besar itu dengan suara menggelegar.
”Aku mencari bebek. Sudah malam dia belum pulang. Kasian, aku punya bebek cuma satu!” jawab I Belog gemetar, takut.
“Ooo.. begitu. Memang benar bebekmu berenang sampai ke sini, tadi. Tunggu di sini, aku ambilkan,” kata orang tinggi hitam itu.
Orang tinggi hitam itu masuk ke belakang batu. Ketika mendengar bebeknya ada di sana, ketakutan I Belog menghilang seketika. Hatinya bahagia karena menemukan bebeknya. Dan, orang tinggi hitam itu datang membawa bebek. Tetapi, bebek yang ia bawa adalah bebek yang berbulu halus, bersih, dan suaranya nyaring.
“Ini bebekmu, Belog?”
“Bukan, bebekku tak berbulu!”
Orang tinggi hitam itu kembali mengeluarkan bebek. Bebek yang dikeluarkannya sangat gemuk dan bersih–mengkilat. Jika dijual pasti akan laku mahal.
“Yang ini bebekmu?”
“Bukan! Bebekku kurus dan tak berbulu!”
Orang tinggi hitam itu sudah banyak sekali mengeluarkan bebek. Tetapi, I Belog selalu mengatakan bukan, karena semua bebek itu memang bukan bebeknya. Orang tinggi hitam itu berbicara lagi.
“Bah… kok semuanya bukan. Kalau begitu bawa saja semua itik-itik ini!”
“Aduhh… saya tidak berani. Bebek-bebek itu bukan milikku. Bebekku cuma satu, kurus dan tak berbulu!” kata I Belog.
I Belog pulang meninggalkan orang tinggi hitam itu tanpa membawa bebek yang diberikan padanya. Ia hanya merasa berhak membawa bebek miliknya yang kurus gundul itu. Ketika sampai di rumah, I Belog mendengar suara bebek, kwek kwek kwek, di belakang rumahnya.
“Mungkin itu bebekku pulang,” pikir I Belog.
I Belog mendekati suara bebek itu. Dan, ternyata memang benar itu bebeknya I Belog. Namun, I Belog kaget melihat ada bebek-bebek lain juga.
“Bukankah bebek-bebek ini milik Orang tinggi hitam itu.Mengapa bisa ada di sini?” kata I Belog bingung.
“Biarlah aku beri makan saja bebek-bebek ini dulu .Biar nanti aku kembalikan kepada pemiliknya. Sebab, pasti orang tinggi hitam itu bingung mencari-cari bebek-bebeknya,” ucap I Belog.
I Belog Bodoh atau Jujur?
Kembali lagi kepada konteks pemahaman satua ‘I Belog Pengembala Bebek’. Jika satua ‘I Belog Pengembala Bebek’ didokrin sebagai pemahaman I Belog yang memang bodoh, tentu karakter anak yang terbentuk akan berubah arah. Walaupun pada awalnya dianggap sebagai lelucon, tetapi tanpa disadari menjadi dampak yang serius bagi perkembangan karakter anak. Apalagi, anak sendiri yang terus-menerus menginterpretasi bahwa I Belog memang orang yang bodoh.
Hem, cerita ini mungkin kalau dibaca tidak nyambung bahkan mungkin tidak penting. Sebab, orangtua merasa paling tahu dan paling menentukan apa yang dilakukan terhadap anaknya. Ya, orangtua paling tahu karena ketika anak beranjak umur tiga tahun dan selanjutnya, anak sudah dianggap dewasa dan mengerti semua kemauan orangtuanya.Kemudian, jangan heran kalau anak-anak begitu bebas menikmati tontonan-tontonan dewasa di televisi tanpa batas dengan alibi kenyamanan.
“Bu, anaknya kok dibiarkan nonton senetron? Gak baik lo!”
“Gak apa-apa, biar ia tak nangis lagi. Nanti, ketika sudah besar, ia akan ngerti mana baik dan buruk.”
Apalagi ketika anak masuk Paud/TK, terkadang guru cenderung fokus mendeteksi apa yang belum dikuasai anak. Kemudian, dengan instan, guru membentuknya agar mereka segera menguasainya. Karena proses instan itu, semua kesempatan yang diberikan oleh lingkungan yang tepat tidak bisa dimanfaatkan dan dinikmati oleh anak-anak itu sendiri. Padahal, pada masa mengenyam pedidikan inilah pondasi dasar untuk mengembangkan kesadaran anak-anak.
Sekarang, bagaimana ketika anak diberikan ruang berinteraksi di lingkungannya seperti anak yang mengamati kumbang tanpa menyakitinya? Atau, kita tidak lagi menganggap bahwa ‘I Belog Pengembala Bebek’ sebagai lelucon belaka, tetapi sebagai seorang yang sangat jujur.
Tentu, pengalaman anak dalam melatih motorik, indra perasa, proses mengenal sains, perkembangan pengamatan, interaksi sosial, dan rasa hormat terhadap segala kehidupan yang ada di alam ini terbentuk kearah yang positif. Anak pun dengan jelas berani berekspresi, kreativitasnya berkembang, berpikir yang bertujuan pemecahan masalah, dan keterampilan sosialnya terbentuk.
Terlahirlah anak manusia yang memiliki daya tahan, daya motivasi, dan keterampilan dalam menerima perubahan sosial masyarakat. Dan, proses anak menjadi orang dewasa terbentuk secara utuh tanpa melewatkan setiap tahapannya. Sebab, proses pendewasaan anak seperti metamorfosis kupu-kupu yang selalu melalui setiap tahapan dari telur sampai menjadi kupu-kupu yang sempurna. Kupu-kupu dengan warna yang begitu indah dan menakjubkan.
Kemudian, masihkah kita percaya dengan mitos “Nanti kalau sudah menjadi orangtua, ia pasti dengan sendirinya atau secara otomatis bisa mendidik anak-anaknya dengan baik?” (T)