LIRIK KASMARAN
Manakala kau sentuh jiwaku
pirus dan safir bertebaran di bawah kakiku
matahari menyingkap kegelapan hatiku
dan sebuah galaksi, dengan gugusan
planet biru mengitari, terbit
dari setiap debu yang kuinjak di bumi.
Jangan bertanya kenapa siulku lebih merdu
ketimbang siul bulbul Sulaiman
sedang napasku lebih lembut
ketimbang desir angin selatan.
Duduklah di sampingku dan saksikan
bagaimana rusa buruan mencari lindungan
di bawah belaian tanganku
bagaimana singa lapar terpejam
tiap kali kubisiki namamu.
Ya kuncup segar sajakku!
Bilamana sekejap saja kau lenyap
apalah artinya dunia dan keajaiban ini bagiku?
Manakala lengkung perahu senyumanmu
melayari sepasang sungai di mataku
darah dan madu tak henti-henti ngalir di situ
ikan-ikan melompat kegirangan
lalu bagai lumut pada permukaan batu
kening pualammu turut menghijau
lantaran lembutnya kecupanku.
Ya seruling bambu lagu-lagu kerianganku!
Bila kelak aku mati
lantas kau dapati gema suaraku—
pernyataan cintaku—
pada letusan gunung atau badai berapi
pahami, betapa segala yang terjadi
bermula dari napas penghabisan
penyair kasmaran ini.
PATAH HATI
Frasa sekaligus kecelakaan paling dominan
dalam sejarah panjang
kehidupan.
Kekecewaan paling nyata
kenyataan paling mengecewakan.
Jika dibandingkan dengan perempuan
laki-laki lebih dekat kepadanya.
Pernyataan di atas belum dibuktikan
namun aku yakin hal itu sepenuhnya benar.
Berapa banyak perang dan sajak-sajak timbul darinya?
Berapa banyak orang mendadak gila
atau bijak karenanya?
Pakar statistika lupa, menjawab hal itu
amat penting bagi perkembangan ilmu jiwa.
Jangan kau pikir ia tak akan hinggap
pada orang dungu atau orang alim.
Ia teman rahasia bagi mereka
yang memiliki hati dan alat kelamin.
Ia bisa datang kapan saja
bahkan lewat cara yang tak lazim.
Jauh di masa silam
aku pernah bersentuhan dengannya.
Jantungku kembang kempis
dihempas arusnya yang dahsyat.
Pikiranku tersayat
mencengkeram ujung pisaunya
berkilat-kilat.
Mereka yang memiliki kesamaan nasib denganku
setidaknya pernah punya alasan baik
menyalahkan takdir.
Dan saat kini kupandang dirinya
aku bagai memandang sebuah taman di kejauhan.
Taman dengan lampu-lampu temaram
bangku-bangku kusam
yang meski tak terawat
terus menjulurkan
mawar hitam.
Cukup rumit menjelaskan bagaimana waktu bekerja
mengajariku menertawakan dirinya.
Ia yang pernah membuatku murung
dan menderita
setelah benar-benar tak ada
nyatanya cuma lelucon kecil
dilempar Tuhan—dengan gembira
ke tengah kemegahan
kenangan muram
manusia.
Bahkan sangat mungkin dilempar Tuhan—dengan sengaja
demi mengembangkan senyum
kemanusiaan kita.
KUPANDANG MALAM YANG LENGANG
Kupandang malam yang lengang.
Sekali lagi, kupandang malam yang lengang.
Kukenang deru hujan gemuruh seharian.
Kukenang betapa basah sebuah ciuman.
Sungguh tak dapat kupejamkan mataku.
Tak dapat kuterima bahwa kau tak bersamaku.
Malam kian lengang. Bintang-bintang
tampak makin samar dan gemetar.
Kuraba dadaku hampa.
Kuremas-remas jemariku putus asa.
Bagai sulur-sulur kembang anggrek
kesunyian merambati dinginnya tembok jiwa.
Mengapa cinta sanggup
membuat hidup demikian menderita?
Mengapa rindu kerap
menghempas keras daun pintunya yang terbuka?
Kupandang malam yang lengang.
Sekali lagi, kupandang malam yang lengang.
Gumpalan kabut merayap pelan
menyelimuti lampu-lampu berkilauan.
Mengapa kenangan terasa dekat
justru saat aku dan dirinya berjauhan?
Mengapa masa lalu terlihat indah
manakala masa kini hancur berantakan?
Angin. Hanya angin.
Lalu kepak kelelawar di dahan pohonan.
Angin. Benar-benar hanya angin.
Lalu lolong anjing di simpang jalanan.
Dingin. Sungguh dingin
kutatap selembar potret dalam genggaman.
Dingin. Benar-benar dingin
hasrat pada sebuah dekapan melintasi malam.
Sendiri. Hatiku sebongkah batu karang
tampak tegar sekaligus putus asa.
Rinai gerimis ingatan
menjelma jadi guyuran lembing tajam seketika.
Ah, tusukan kilau mutiara matanya!
Busur alisnya!
Bening betis serta senyumannya yang bercahaya
cermin kelembutan alam semesta!
Sajak cinta. Ya, aku tengah menulis sajak cinta.
Aku menulis larik rayuan dan dukalara!
Tapi, apalah arti semuanya
jika kemudian aku malah terlihat menderita?
Apalah arti semuanya
jika aku tak kunjung bijak dan dewasa?
Apalah arti sajak cinta
jika aku terus mabuk dalam kemurungan tiada habisnya?
Kupandang malam yang lengang.
Sekali lagi, kupandang malam yang lengang.
Bintang-bintang kian gemetar umpama
baris-baris sajak sedih yang kutulis untuknya.
Tuhan dan malaikat tersenyum
melihat aku menangis untuk pertama kalinya.