PEMILIHAN Gubernur atau Pilgub DKI Jakarta 2017 telah usai. Kita, meski tidak tercatat sebagai warga DKI Jakarta dan tinggal di daerah pun merasa lega. Paling tidak sudah berkurang tensi minimal “pergunjingan” antar keluarga, teman sekantor, rekan se-pekerjaan, atau sesama umat beragama. Ya, berdasarkan hasil quick count sejumlah lembaga survei, pasangan Anies-Sandiaga Uno mengungguli pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat.
Ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta ini benar-benar menyita perhatian masyarakat luas. Bukan hanya warga Jakarta, namun berkembang di daerah. Informasi, kabar, berita, dan gosip tentang Pilgub Jakarta menjadi topik yang hampir setiap detik diperbincangkan. Pilgub yang berakhir dua putaran ini menambah panjang durasi waktu. Di media sosial hampir setiap hari menjadi viral, trending topic, dan bahan diskusi.
Sejak awal, Pilgub Jakarta di-status-kan sebagai ajang pertarungan paling utama pada Pilkada serentak 2017. Berkuasa di ibukota Indonesia menjadi daya tarik bagi para calon gubernur (Cagub) dan calon wakil gubernur (Cawagub). Selain itu pertarungan dan pertaruhan masing-masing partai politik pengusung calon membuat suasana menghangat. Bahkan setelah kabar dan isu-isu “tak sedap” seperti meletupnya isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menambah kondisi dan suasana semakin memanas.
Meski telah rampung proses pencoblosan namun Pilgub Jakarta ternyata masih banyak diperbincangkan. Di media mainstream baik media massa maupun elektronik terus diulas. Televisi membahas dan memberikan porsi khusus Pilgub Jakarta. Begitu juga di media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan youtube masih berlanjut dibahas. Status person hingga bahan diskusi di grup.
Bahkan pada mesin pencari Google per Sabtu (22/04/2017) topik putaran kedua Pilkada DKI Jakarta sekitar 857.000 hasil (0,45 detik), Pilgub Jakarta sekitar 5.530.000 hasil (0,55 detik). Namun kata “Anies” sekitar 29.600.000 hasil (0,43 detik) dan kata “Ahok” sekitar 64.300.000 hasil (0,51 detik).
Nah, apakah memang Pilgub Jakarta ini sebagai pintu pembuka untuk hajatan pesta demokrasi yang lebih tinggi pemilihan Presiden (pilpres) atau justru hanya simulacra?
Hitungan Pilpres
Pilgub DKI Jakarta 2017 ini banyak yang pertarungan menjelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Sebuah simulasi Pilgub menuju Pilpres dengan istilah “Pilgub Rasa Pilpres”. Pilgub Jakarta awalnya diikuti tiga pasangan Cagub dan Cawagub dan pemungutan suara pada Rabu (15/02/2017). Ketiga pasangan itu adalah Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (Agus-Sylvi), Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot), dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Sandi).
Agus-Sylvidiusung Partai Demokrat, PPP, PKB dan PAN. Ahok-Djarot diusung PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai NasDem. Anies-Sandidiusung Partai Gerindra dan PKS.
Sejak putaran pertama Pilgub Jakarta seolah pertarungan Pilpres begitu kental. Pertarungan dengan melibatkan para tokoh politik nasional dan petinggi masing-masing parpol. Pasangan Agus-Sylvi mendatangkan Ketua DPP PD yang juga Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak mau kalah dengan “seteru” abadinya, Megawati Soekarnoputri, yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) turun gunung mengkampanyekan jagoannya Ahok-Djarot.
Rasa Pilpres semakin terasa ketika Prabowo Subianto Djojohadikusumojuga bergerak. Ketua Umum Partai Gerindra ini berkampanye untuk pasangan Anis-Sandi. Tiga pucuk pimpinan parpol itu pun telah menggambarkan pertarungan Pilgub Jakarta terasa Pilpres. Belum lagi keterlibatan anggota DPR RI dan DPRD di daerah (bukan hanya DPRD DKI Jakarta) diwajibkan menyumbangkan tenaga dan dana untuk keperluan Pilgub Jakarta.
Pada putaran kedua mengerucut head to head antara pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. Aroma Pilpres makin terasa. Setelah pasangan Anies-Sandi unggul sebagai pemenang Pilgub kabarnya mengukuhkan Prabowo sebagai calon presiden (Capres) pada Pilpres 2019. Teriakan “Prabowo Presiden”pada beberapa pertemuan kader dan pendukung Anies-Sandi. Begitu sebaliknya kekalahan Ahok-Djarot tentu akan berimbas terhadap pencalonan presiden yang diusung PDI-P. Termasuk prospek Joko Widodo (Jokowi) yang berpeluang didorong maju lagi pada Pilpres 2019 nanti.
Namun bicara Pilpres tentu masih panjang karena masih dua tahun lagi. Jadi Pilgub rasa Pilpres itu, baru rasa belum ada wujudnya. Apakah ini hanya simulasi atau sebuah simulakra? Menarik ditunggu.
Sebuah Simulakra
Melihat dan mendengar perbincangan Pilgub DKI Jakarta di televisi semakin hari semakin menarik. Tidak hanya menghabiskan waktu satu jam atau dua jam, namun berjam-jam untuk menunggu dan menonton tayangan Pilgub DKI Jakarta. Apakah itu berita, straight news, feature, ulasan, analisis hingga perbincangan para tim pemenangan. Sejumlah televisi nasionalnya sejak awal membuat program khusus Pilgub Jakarta. Kegiatan para calon, keluarga calon, dukungan, bujuk rayu, hingga propaganda.
Penayangan dari sudut-sudut tertentu di Jakarta membawa pemirsa seperti berada di Ibukota. Bahkan rasa khawatirnya melebihi warga Jakarta dan pendukung para calon. Tayangan debat publik para calon yang disiarkan langsung televisi nasional dengan rating tinggi. Bahkan para pemirsa bukan hanya warga Jakarta saja, namun masyarakat di luar Jakarta yang hampir seluruh rumah mempunyai televisi rela menanti debat final Pilkada Jakarta. Urat-urat dan otot para calon begitu jelas. Gambar wajah dan gaya tangan Ahok saat bicara misalnya tampak detail. Juga gaya bicara Anies tampak jelas.
Setelah itu, perkataan, gaya, hingga gestur para calon itu menjadi viral dan trending topic di media sosial. Belum lagi tayangan televisi yang “diciptakan” Jakarta begitu genting. Tayangan gambar pengadangan calon saat kampanye hingga pengusiran dari tempat ibadah. Juga spanduk-spanduk yang dipasang di berbagai titik dan tempat ibadah tentang larangan salat antarpendukung. Statistik target dan optimistis para tim pememangan.
Padahal bisa jadi, di Jakarta tidak terjadi setegang yang dilihat melalui televisi tersebut. Para calon dan pendukung sama-sama tidak ada bertemu. Mereka tetap tersenyum antarpendukung. Namun para penonton justru terbawa oleh suasana panas setelah melihat tayangan televisi.
Mereka rela menunggu lama hanya ingin melihat perkembangan, situasi dan kondisi Jakarta. Seperti para penonton, pendukung, suporter sepak bola. Apalagi laga yang menyajikan pertandingan dua klub yang punya sejarah dan rivalitas panjang. Derby AC Milan vs Inter milan, Liverpool bertemu dengan Manchester United, El Clasico antara Real Madrid versusBarcelona selalu dinanti.
Para pemirsa Pilgub Jakarta menunggu di depan televisi dengan wajah cemas dan berseri. Mereka terlihat pucat pasi. Ada juga yang berteriak-teriak saat jagoannya unggul dalam perhitungan suara. Mereka lalu menggelar syukuran di berbagai tempat, di rumah, di sekolah, bahkan di tempat ibadah. Realitas yang semu yang diciptakan televisi sebagai industri media menjadi acuan bagi realitas asli.
Pada tahap inilah seperti Jean Baudrillard menyebut sebagai simulasi atau simulakra. Baudrillard menuturkan simulakra ini seperti mantra kehidupan yang ampuh mengubah dan membentuk berbagai realitas palsu dalam kehidupan manusia yang mempunyai pengaruh syang kuat terhadap khalayak.
Simulasi atau simulakra telah menciptakan hyper-reality. Sebagai subyek sosial, manusia seharusnya diletakkan sebagai pusat dari seluruh realitas, namun kehadiran televisi telah meruntuhkan kekuatan manusia yang menyebabkan runtuhnya ideologi tentang humanisme.
Seperti ditulis Iswandi Syahputra (GPU: 2013) nilai-nilai kebaikan umum dalam humanisme bercerai berai dalam berbagai implosi (ledakan) makna struktural karena dilumat oleh simulakra atau hyper-reality yang dibangun di atas berbagai kode. Hasil akhir dari pemikiran Baudrillard ini adalah terlepasnya kontrol manusia sebagai subyek sosial terhadap berbagai obyek kehidupan.
Bagi Baudrillard, media massa yang telah membentuk dunia dari berb gai simulasi menjadi kebal terhadap berbagai kritik yang dilontarkan kaum rasionalis. Berbagai produksi kemasan informasi yang membanjiri masyarakat dapat menjinakkan siapa saja yang mempertanyakan media massa dengan nada kritis. Walau televisi memproduksi berbagai program tanpa akar realitas yang jelas dan cara kerjanya di luar logika representasi, namun masyarakat tetap memberi respon.
Tayangan televisi Pilgub Jakarta yang jauh di ibukota telah mengubah cara berfikir, tingkah laku, idealisme hingga pandangan agama masyarakat yang ada di daerah. Bahkan sering masyarakat terbawa emosi dan marah dengan teman yang tidak sependapat dan beda jagoan pada Pilgub Jakarta.
Sekarang Pilgub Jakarta telah selesai, maka masyarakat mudah-mudahan kembali ke realitas sehari-hari yang benar-benar real. Di sisi lain, media televisi jangan harap berhenti membuat simulasi-simulasi baru. (T)