BERBEDA dengan interpretasi, yang memungkinkan seseorang memilih dan mengembangkan berbagai sudut pandang lain/beda/baru pada sebuah lakon, manipulasi adalah penyelewengan/pemanfaatan/pendomplengan.
Manipulasi berpura-pura menghamba dengan setia pada lakon, tapi di buntutnya tiba-tiba berbelok patah atau berbalik atau melompat atau menghilang dari lakon dan melakukan sergapan atau serangan yang sama sekali tak ada/berbeda/bertentangan dengan esensi/pesan moral lakon.
Baik interpretasi maupun manipulasi adalah produk/out put kreativitas. Tetapi interpretasi adalah pengayaan/pengembangan, sedang manipulasi adalah pencurian/penyalahgunaan/penyesatan.
Penonton sering tak bisa membedakan keduanya. Apalagi bila kreatornya/sutradara cerdas. Karena itu kehadiran kritikus/pengamat, sangat diperlukan dalam kehidupan teater/seni. Sektor itulah yang masih rawan/senyap di negeri kita ini. Akibatnya perkembangan teater terhambat. Teater bagai mobil balap yang tak punya cirkuit.
Media sosial (medsos) dan media online, yang sempat menjadi harapan kita sebagai “sawah”-nya, juga tidak terlalu serius menggarap, karena wartawan biasa dimutasi mengerjakan berbagai aspek berita supaya jadi pasukan elit.
Kita sangat memerlukan hadirnya para kritisi yang berwawasan luas dan memiliki pisau pembedah yang tajam serta “netral”. Mereka akan mengamati setiap langkah kita. Bukan sebagai polisi, yang menjegal dan melarang, tetapi sebagai sebagai “mata ketiga” (di antara tontonan dan penonton).
Untuk menjelaskan misalnya: apa arti dan guna Festival Monolog Bali setahun penuh ini. Apa kesimpulan yang bisa ditarik dari 100 penampilan dari berbagai komunitas di seluruh Bali itu. Dan apa yang disuarakan oleh orasi-orasi budaya para aktivis/budayawan terkait?
(Pada suatu Perhelatan PKB, pernah ada diskusi: benarkah ada pilih kasih pemda pada seni tradisi dan seni modern? Apa sejatinya masalahnya?) (T)
Jakarta, 30 Maret 2017
Baca juga : Catatan Kecil Putu Wijaya: Kritik Teater, Bukan Sekedar Hujatan-Pujian