//Manusia, sejatinya, mahluk pendamba sunyi. Setelah jenuh mencerap kenikmatan duniawi, pada puncaknya dia justru butuh bersunyi-sunyi. Bahkan, banyak penemuan yang berpengaruh besar bagi dunia juga berawal dari keheningan nan sunyi.//
Messi dan Ronaldo yang piawai menggiring bola di lapangan hijau boleh jadi tak pernah menyadari diri mereka masing-masing bisa menjadi inspirasi bagi orang-orang untuk melakoni Nyepi. Sepak bola dan Nyepi sungguh berhakikat amat dekat, memang. Selain keindahan dan kepiawaian para pemain memindahkan potensi kreativitas otak ke kaki, sepak bola, sejatinya, juga menyajikan hakikat manusia yang suntuk, teguh, dan kukuh mengejar kosong.
Nyatanya, kedua pemain sepakbola tenar dunia asal Argentina dan Portugal itu dengan segenap kecerdasan, kecemerlangan kreativitas, dan penyatuan energi berebut kosong. Kosong dalam permainan sepakbola—yang beberapa dasawarasa belakangan seolah‑olah menjadi ‘agama baru’ dan dapat mempersatukan dunia dengan bahasa tunggal ini—antara lain, berwujud tempat strategis yang kosong maupun bola—yang hakikatnya merupakan bulatan kosong juga.
Begitulah, seorang pemain mengejar bola yang kosong, terkadang juga mengumpankan bola yang kosong tersebut kepada teman satu timnya yang berada di tempat dan posisi kosong. Terkadang seorang pemain berkelit diam‑diam dari kawalan pemain lawan untuk menempati tempat kosong. Dari kosong, seorang pemain sepakbola mencari kosong, lalu berupaya sekuat daya menembus kosong.
Pada puncaknya, sang pemain dengan akumulasi energi dan momentum yang tepat berkonsentrasi penuh memasukkan bola yang kosong tadi ke bagian gawang yang kosong pula. Dengan segenap daya dan kreativitasnya sang pemain mengecoh penjaga gawang—yang juga mengawal tempat kosong. Maka, puncak akhir semua permainan sepakbola ini adalah keberhasilan menyarangkan kosong ke kosong—dan itulah yang dimaknakan sebagai kemenangan nan cemerlang. Seorang mahayogi, penekun yoga, pun pada puncaknya memasuki alam sunya, sunyi, ning, dan nol dengan sunya pula. Sunya numpak ring taya, begitu Mpu Tantular menyuratkan dalam kakawin Sutasoma.
Ada perbedaan, memang. Sepakbola menyajikan dunia penuh keriuhan, sementara Nyepi justru menciptakan kesunyian. Di Bali Nyepi bahkan diwujudkan dalam suatu ‘teater religius’ kesunyian yang kolosal: Satu jagat pulau sunyi selama 24 jam nonstop. Selama 24 jam itu juga tak ada gerak kecuali irama prana yang hening, tak ada suara kecuali gema detak batin hening, tak ada nyala api selain gemilang-cemerlang api batin yang tak pernah padam (agni anglayang). Tapi, kontras riuh sepakbola dengan sunyi Nyepi justru menampakkan esensi yang serupa: Sama-sama membidik dan menuju Alam Kosong dengan Kosong.
Bukankah secara naluriah dan alamiah manusia sesungguhnya juga mahluk pendamba sepi, sunyi, damai, ning? Bukankah selalu ada kerinduan manusia agar lepas dari keriuhan untuk selanjutnya menukik dalam kesunyian? Setelah usai berenang dalam keriuhan sebagai mesin ekonomi, manusia lantas merindukan berendam dalam kesunyian, entah dengan berlibur ke pulau yang sepi, entah beristirahat di pegunungan yang tak terjamah hiruk-pikuk kehidupan kota, tiada telepon, tiada surat kabar, tiada televise, dan aneka hiburan duniawi.
Nyepi, karenanya, kini di Bali menjadi langkah nungkalik, paradoks (arus balik) di tengah era dunia yang mengalami global paradoks. Ketika dunia ramya, riuh-rendah, dengan arus turisme untuk mencari kesunyian dan melepas lelah hingga ke seberang benua, Nyepi justru menjadikan diri sendiri sebagai arena latihan sekaligus pusat semesta untuk berdialog dengan sunyi. Ketika dunia hiruk-pikuk dengan polusi sekaligus ancaman krisis bahan bakar akibat revolusi bidang transportasi, Nyepi justru mengajak manusia menghentikan segala aktivitas, termasuk gerak transportasi sehingga alam semesta jadi hening, jernih, bersih.
Bukankah karya-karya temuan nan langgeng muncul dari keheningan, seperti buah apel yang jatuh dari pohonnya dalam suasana hening lalu menyentakkan Newton sehingga terlahir teori gravitasi yang menumental? Lalu, kenapa Sidharta mesti diperhadapkan dengan pohon boddhi? Dan, makna apakah yang mesti ditangkap ketika nabi-nabi dicatatkan oleh kisah masing-masing mesti berhadapan dengan sunyi diri sendiri-sendiri?
Sungguh nungkalik, ketika dunia cenderung mengejar kenikmatan dengan berebut ke arah luar diri, Nyepi justru mengajak orang masuk mengenal sang Diri di dalam diri, bukan ke luar. Lebih daripada itu, Nyepi lantas menjadi pentas sekaligus momentum religius untuk menangkap Sunya lewat sepi diri dan alam sehingga tercapai penyatuan jagat alit (bhuwana alit) dengan Jagat Agung (Bhuwana Agung). Penyatuan ini menjadi suatu kerinduan yang tiada putus ingin diraih oleh para pengejar Sunya yang lebih hakiki daripada sekadar berlibur ala tawaran pasar pelancongan, turisme.
Kerinduan demikian secara cerdas dan original dilukiskan dalam kitab Jnanasiddhanta berbahasa Sanskerta dan Jawa Kuna layaknya sebatang bambu yang bergerak-gerak tiada henti karena udara yang ada dalam batangnya rindu-gelisah ingin meretas keluar lewat celah-celah yang membuka. Lewat itulah udara dalam batang pohon bambu ingin menyatu dengan udara yang ada di alam semesta mahaluas yang melingkupinya. Dalam penyatuan itu, semua menjadi awor, tiada bekas, tidak dapat dikenali lagi angin yang semula berada dalam kurungan batang bambu. Tetes air hujan yang menetes di tengah samudra tak dapat dikenali lagi karena telah melebur dengan asin air samudra. Air yang mengalir dari sungai-sungai pun tak dapat dipilah-pilah lagi setelah sampai di kedalaman samudra. Di sana identitas sungai jadi tiada, nir.
Mencapai titik penyatuan dengan Sunya itu berarti mencapai titik yang Nir. Inilah titik di mana seseorang berada dalam keadaan pribadi yang Merdeka, Bebas, Mandiri, dan Independen. Mereka yang telah mencapai titik inilah yang mampu berkreasi dan berproduksi optimal yang memenuhi syarat harmoni-komplit antara kebenaran (satyam), kemuliaan (siwam), dan keindahan (sundaram).
Cuma, dalam kerangka jalan mencapai titik penyatuan dengan Sunya yang Nir itu, Bali memilih jalannya sendiri yang teatrikal sekaligus kolosal: Seantero jagat Bali sunyi senyap. Inilah jalan pengheningan untuk mencapai penjernihan (Ning) yang berpencerahan. Ibarat air, setelah habis diubek-ubek selama setahun, diri manusia menjadi keruh. Maka, untuk menjernihkan kembali perlu dilakukan pengheningan. Pengheningan air telaga hanya dapat dilakukan dengan mendiamkan, sehingga dedeg. Memang, untuk dapat diisi kembali maka gelas yang sudah penuh harus dikosongkan terlebih dahulu. Tanpa itu, air yang dituangkan ke dalam gelas tadi akan tumpah.
Itu berarti saat demikian manusia perlu diam, perlu melakukan pengosongan diri: Menutup telinga dari keriuhan rutinitas yang memekakkan (amati lelanguan) untuk selanjutnya mencerap keheningan detak suara irama batin (kuta mantra, OM); menutup mata dari terang api (amati geni) untuk kemudian dalam pejam menatap dengan cemerlang sinar api diri yang tak pernah padam (agni anglayang); menahan diri dari gerak rutinitas melelahkan (amati karya) untuk terus menukik ke dalam perenungan lewat aliran prana yang tenang layaknya nyala lilin di ruang hampa udara (sudipa ring kulem). Pun, mendiamkan diri dan pikiran dari kebiasaan berlari mengejar nikmat duniawi (amati lelungan) untuk selanjutnya berkonsentrasi mampat-pedat ke titik Ning yang Nir sebagai bentuk pemujaan dengan kepasrahan-penuh-seluruh bunga hati yang tak pernah layu (puspa tan alum).
Setelah melewati tahapan dan proses demikian, maka seseorang akan terlahir menjadi pribadi dengan api diri yang suci. Di Bali sehari setelah Nyepi ini diistilahkan dengan ngembak geni, membuka api suci diri yang baru dan lebih gilang-cemerlang.
Jalan pengheningan demikian dengan cemerlang disuratkan Mpu Kanwa lewat gubahannya, Kakawin Arjuna-wiwaha, layaknya menangkap bayangan rembulan dalam tempayan yang berisi air. Maka, dalam setiap air yang jernih-bersih-suci bayangan sang rembulan akan menampak sedemikian jelas. Demikianlah, Hyang Sunya yang serba Nir itu menyusup ke dalam segenap mahluk: Hanya pada dia yang rajin belajar ilmu kerohanian, sadar pada diri, dan tekun beryogalah Dia akan menampakkan diri-Nya. Demikian, Mpu Kanwa menyuratkan dalam kakawinnya yang oleh para penekun susastra Jawa Kuna disebutkan sebagai karya puncak dari era Jawa Timur ini: sasi wimbha haneng gatha mesi banu/ ndan asing suci nirmmala mesi wulan/ iwa mangkana rakwa kiteng kadadin/ ring angambeki yoga kiteng sakala//.
Dalam rumusan yang lain Dang Hyang Nirartha dalam karya kakawinnya, Nirarthaprakreta, merumuskan jalan pengheningan tersebut sebagai cara menangkap sang Sunya yang Nir: Lewat penjernihan (heneng) hingga benar-benar hening, halus, dan cemerlang/ hingga menyusup ke alam Sunya sebagai alam pikiran yang sempurna/ pada saat itulah pikiran lalu bagaikan telah menyusupi seluruh alam, namun sama sekali tidak diketahui entah dari mana datangnya/ maka, orang yang telah mencapai tingkatan yang demikian itu adalah orang yang telah mencapai hakikat sang Sunya sebagai inti ajaran kerohanian//(ri heneng ikanang ambek tibralit mahening aho/ lengit atisaya sunya jnanasraya ya wekasan/ swayeng umibeki tan ring rat mwang deha tuduhana/ ri pangwakira sang hyang tattwadhyatmika katemu//).
Demikianlah, Nyepi, jadinya, merupakan jalan pengosongan sang Diri yang sudah penuh dan letih digeber setahun penuh oleh berbagai rutinitas aktivitas, kepentingan, pikiran, ambisi, mungkin juga dendam, iri, benci, dan seterusnya. Dengan pengosongan itu, kemudian diri manusia siap menerima isi baru yang lebih segar. Bukankah, sehari-hari orang juga butuh istirahat sejenak untuk kemudian menjadi lebih produktif dan lebih kreatif? Bahkan, bukankah mesin sekalipun juga butuh didiamkan sejenak untuk kemudian difungsikan kembali sehingga bisa memberikan nilai ekonomi berlebih?
Secara praktis keseharian, dengan demikian, pengosongan dan ‘pendiaman’ lewat Nyepi merupakan satu momentum penyiapan diri untuk menjadi pribadi yang lebih jernih, cemerlang, dan berpencerahan sehingga menjadi lebih kreatif, inovatif, dan produktif. Dalam kaitan religius-spiritual, Nyepi menjadi suatu tahapan proses untuk mencapai pembebasan dan pemerdekaan sang Diri untuk mencapai penyatuan dengan Sang Pencipta yang Sunya dan Serba-Nir, yang bahkan tak bisa dilukiskan dengan kata-kata (luput inangen-angen winarna ya). Sebab, manusia dalam permenungan Hindu adalah Putra Sang Abadi Yang Mahasuci (Amretsya Putra). Karena menjadi Putra Sang Abadi Yang Mahasuci, maka manusia hakikatnya adalah suci. Namun, akibat dikurung oleh maya dan mala serba-duniawi yang berlebihan, maka dia menjadi kotor.
Toh begitu, secara naluriah sesungguhnyalah manusia punya kerinduan untuk kembali pulang ke asalnya, Sang Abadi Yang Mahasuci Maha Ning Nir. Kerinduan itu layaknya keinginan para pemain bola di lapangan hijau nan lapang yang berebut bola yang kosong. Ada kalanya juga meliuk-liuk melewati musuh untuk memilih tempat atau posisi di titik yang kosong. Dan, pada puncaknya, sang pemain bola ingin memasukkan bola yang kosong ke dalam gawang yang kosong.
Cuma, sedemikian sering peluang gagal disarangkan jadi gol oleh sang pemain. Entah karena tak sabar, entah karena tak tenang. Entah juga karena ambisi yang meletup-letup sehingga saat hendak menendang bola yang sudah lengket di kaki, eh malah melenceng. Tapi, tak jarang juga karena membentur mistar gawang. Atau, bahkan karena ditangkap oleh sang penjaga gawang. Malahan tak sedikit kena semprit wasit akibat bermain curang, atau tertangkap basah off side.
Seorang pemain bola yang ingin menciptakan gol—apalagi spektakuler—tak cukup cuma cerdik, seperti Messi atau Ronaldo. Tapi, juga butuh tenang, tak ambisius, tekun, berketetapan hati, sekaligus jujur. Singkatnya, sang pemain mesti bersih secara mental, tak bercacat di mata wasit. Boleh saja dia belepotan lumpur secara fisik, tapi permainannya mesti tetap bersih.
Dalam konteks spiritual, itu berarti dia mesti berbatin yang jernih dan bersih. Tak terkecuali dia seorang gelandang di pemerintahan, atau cuma seorang pemain belakang di ekonomi, atau malah cuma sayap kiri di sektor informal pedagang kaki lima. Tanpa itu, dunia sepak bola akan berubah jadi dunia tawuran yang barbar karena aneka kecurangan tak kena semprit, main kasar tak diganjar, kerakusan tak dikendalikan.
Dan, ketika kebarbaran ragawi tiba, mungkin saat itu juga manusia mesti berani mengambil langkah paradoksal sehingga tercipta revolusi Kesadaran: menciptakan nyepi pada diri masing-masing sehingga tercipta ruang kosong bagi dialog dengan Sunyi Mahapenuh yang Ning dan Nir itu. (T)
Baca juga: Kenapa Ada Tradisi Nyepi?