SELAMAT SIANG
Sekarang aku ingin belajar cara menjadi jinak
Percuma meliar jika liang kelaparan telah diisi
Untuk apa pistol dan pentungan kalau jadi pernik di punggung?
Lagi pula ini sudah jam istirahat
Mari sejenak menghidu tengik kemacetan
Lekas tinggalkan pos jaga muram itu
Lalu mengukur luas meja makan menggunakan sendok
Lihat, ada yang mencoba tidur
Mengajak jasad dari timbun tumpukan berkas
Tidak ada kasur tersedia di tempat kerja
Beribadah menjadi pembuka lelap
Singgah sekejap, firman Tuhan telah genap
Berkah dan bekal para pencari istirah sejati
Praktik ilmu mengukur suhu tubuh
Menggunakan tangan kosong dan suara ambulans
Minggir, orang sakit juga ingin tepat waktu
Tiba di ruang rawat, negara mengaku tak mengenalnya
Bukan dia yang menusuk potretnya saat pemilihan umum
Tidak, nama mereka semua tidak tercantum di buku tamu
Memasuki ruang kelas, sejuk buatan mesin, duduk berhadapan menantang papan tulis
Dosen bertanya, “Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?”
(Makassar, Desember 2016)
SEMIOTIKA HUJAN
Lihat, kelabu yang bergantung itu
padanya seluruh rindu disematkan
beratkan gerak dan tangis palsunya
dan laut tidak memberi kiat mengobat kesedihan
Lihat, cucur yang berkejaran itu
semua dijamin akan mandi hingga bersih
tanaman hingga binatang melata, kecuali kaum amfibi
sebuah proses yang dijelaskan terbata oleh buku biologi
Lihat, kantuk yang bertamu itu
merayu-rayu nyenyak untuk beratkan kelopakmu
jika menyerah, hasil akhir kerja jam kala berkomplot
terlambat datang kerja menjadi kejahatan paling manis
Lihat, penulis puisi ini
terlalu banyak meneguk gerimis kemudian tersedak
mendung bahkan gumpal di jantungnya
kudengar dia tengah menyusun daftar cucu keturunan cuaca buruk
(Makassar, Desember 2016)
LELAKI PENANTANG
Aku berdiri di bibir pantai, lamat-lamat terdengar juga bersenandung kidung kelaparan, padahal saban hari dia masih menuangkan ombaknya pada cangkir dan teko milik pengunjung
pencari keramaian dan kesepian. Ini semua terlalu membingungkan, maka kulempar sejumput rambutku ke atas pasir, berharap malam akan menumbuhkan diriku dan berganda jadi seribu.
Harus diakui diriku telanjang tanpa pakaian, busana paling mutakhir hanya sekumpulan pijar kunang-kunang yang dilekatkan pada tiap senti tubuh dan menegakkan paksa bulu roma.
Kulitku menjadi kitab suci paling terang untuk seorang pemeluk agama peragu ritus gerak-gerik ritmik alam semesta karangan mistikus tua renta.
Kulebur perpisahan batas kota dalam sajak janji perjumpaan. Kutundukkan jantung penempa nafas-nafas dan penghitung jarak percabangan nadi. Kutulis pula surat kaleng untuk dibaca oleh peradaban tanpa wasiat.
(Makassar, Desember 2016)
BELAJAR HOMONIM
Kata seorang dokter, bisa ular bisa menjadi obat untuk orang-orang patah hati. Kuperoleh kopiannya saat meneguk kopi di sebuah kafe di mana aku selalu menjadi pengunjung pertama.
Sayang sekali tak mungkin kucoba resep mutakhir itu karena tubuhku telanjur mengurus, hasil terlalu banyak mengurus puisi dan tenggelam dalam cerita-cerita sedih dari negeri-negeri jauh.
Kubaca di brosur yang berbeda, kaum wanita memperjuangkan hak untuk gratis memperoleh hak sepatu sebagai bagian dari upaya menyebar semangat pemberontakan bersenjata kecantikan. Lelaki pun resmi memasuki
masa-masa genting, debarnya mengalahkan sensasi saat memanjat rumah untuk memperbaiki genting. Kubaca tulisan kampanye itu berkali-kali sebelum disemat dan dipaku pada dinding kali batas kota.
(Makassar, Desember 2016)
FABEL KAVALERI
Dengarlah suara baling-baling pesawat bersiap terjun menukik
menjatuhkan bom paling kobar, hujan buatan dari peluru timah
ini bukan adegan latihan dari kamp-kamp persiapan
tidak ada istal tempat tinggal
tidak ada induk-induk
tidak ada petakan jerami
tidak ada puting susu dan cinta
Kami kena gempur, menerjang letupan dengan ringkikan
antara berani atau bebal, juga batas antara teguh dan takluk
serahkan jawaban kepada penunggang
malam ini kita akan jumawa
semua telah mereka janjikan
nama-nama dijamin akan masuk buku sejarah
dicetak tebal-tebal seperti maklumat
Kukembangkan telingaku
sayup simfoni suara sekumpulan betina
(Makassar, Desember 2016)
BENIH MUSIM PANAS
Sengaja kita mengawal arak-arakan angin
dan meliuk licin di antara pelukan pohon
siasat ampuh selain tersesat membentur rumah
sebab tak ada petunjuk arah di bawah lampu neon
Terbatuk tak mampu meneguk
terlampau haus oleh kekeringan padang rumput
musim panas mengayun jaring laba-laba
langkahku oleng, mabuk terik matahari
Sebatang cemara terserak hilang kuasa
ikhlas memeluk bumi tempat ziarah
kini aku menunggu kabar kehamilan
benihmu sepakat jalani ritual kedewasaan
(Kaluppini, Agustus 2016)
SAJIAN HIBURAN UNTUKMU
Kusunting sajak ini hingga ratusan kali
harapan bertemu para pasien rumah sakit jiwa
yang mendekam dalam jejeran kamar sempit
dirantai kesakitan rutinitas berwujud entah
Maka mulailah kita menutup jendela
mendengar lagu terlarang dalam instruksi negara
perihal peluh dan rasa mual paling alami
sesekali permisi untuk meraba kulit licin terluka
Kuputar haluan menuju kelas tanpa alat tulis
menghasut muda-mudi meragukan masa depan
dan jam dinding itu sengaja kucabut jarumnya
kemudian ditusuk pada bagian paling indah tubuhmu
(Makassar, Agustus 2016)
RENCANA MALAM KENCAN
Di sini, sebagian orang berpapasan dengan diri sendiri
meja makan, benda bisu yang berisyarat melawan malam
karena di sela kepul asap kita berunding menentang diam
hari ini bukan liburan serta tidak pula Minggu esok
Ingatkan aku jika lupa kapan jadwal rutin berseteru
kadang jam dinding tahu tipu muslihat paling licik
perasaan pun pandai bohong sejak dunia masih perawan
ambil seteguk air, biarkan menyumbat lalu lintas peluh
Bacakan berita-berita larut malam sebagai pengantar tidur
sesekali aku harus menangis setelah mendengar bencana
pengingat singkatnya waktu, riwayat rotasiku dalam dirimu
namun catatan hutang bernama selimut selalu bertambah
Lebih baik kenakan busanamu yang paling nyalang
kemudian berlatih cara berteriak dalam udara jelaga
seminggu sekali hingga perjalanan mencapai titik jenuh
lalu kita menuju garis awal lagi, abaikan syarat-syarat lelah
(Makassar, September 2016)