KEMARIN sore Pekak Renes main ke rumah. Tumben lumayan rapi, bercelana panjang berkemeja putih, mirip Jokowi. Sambil ngopi ia bercerita kangin-kauh, mulai dari krisis ekonomi sampai urusan jalan benyah alias jalan usak atau jalan rusak, yang selalu ramai dibincangkan di Tabanan.
Menurut Pekak Renes, ada dua hal yang harus kita sikapi bersama yaitu jalan usak dan usak ulian jalan (jalan rusak atau rusak karena jalan. “Keduanya sama-sama serius,” sergah Pekak Renes.
“Koq bise keto, Nang?” tanya saya penasaran.
“Sekarang banyak warga mengeluh karena di beberapa desa, jalan banyak yang berlubang alias aspalnya compang-camping. Sok beker motor dan mobil enggal benyah, ibu-ibu ane beling jeg jejeh ngelewatin. Ngangkut hasil bumi pun jadi susah, padahal pemerintah sedang mendorong pembangunan berbasis pertanian. Tapi jangan salah, banyak juga hal yang usak ulian jalan. Kawasan hijau dan lahan pertanian produktif terus diintip investor, siap-siap fungsinya beralih, ada untuk ruko, kavlingan, cafe dan sebagainya. Itu semua terjadi karena jalan mulus hingga ke pinggir pangkung,” katanya.
Saya memandang Pekak Renes serius.
Ia pun melanjutkan cerocosnya. Menurut dia, karena jalan, penghormatan budaya dan kearifan lokal juga berubah. Pemahaman warga terhadap fungsi jalan pun berubah, kawasan tenget tidak lagi dihormati, misalnya Catus Pata hanya dianggap perempatan alias pertemuan empat arah lalu lintas kendaraan-secara horisontal. Padahal Catus Pata bukan sekadar perempatan lalu lintas kendaraan, tetapi sebuah tempat suci dan disucikan karena erat kaitannya dengan pengetahuan dan keyakinan turun temurun terhadap keseimbangan dan pola hubungan horisontal-vertikal. “Terbukti di Catus Pata dibangun pelinggih atau patung yang mencerminkan simbul keyakinan budaya/agama,” katanya.
Lebih jauh, Pekak Renes terus nyerocos. Menurutnya, karena keberadaan jalan, tata ruang pun berubah. Banyak terjadi, hanya karena ingin badan jalan lebar, lurus dan mulus, sikut Catus Pata bergeser dan digeser. Bahkan di banyak tempat jalan yang dibangun lebar, nyaman dan mulus akhirnya merusak tatanan irigasi tradisional-subak. “Bahkan ada juga di sebuah desa, setelah jalan dekat rumahnya diperlebar dan dibetonisasi, kocap krama di sekitarnya kesisipan atau pemalian,” katanya sambil tersenyum.
Terus, kata Pekak Renes, benarkah yang berlalu dan melintas di jalan hanya kendaraan? Kalau jalan hanya untuk lalu lintas kendaraan, mengapa orang Bali melaksanakan pecaruan dan upacara tawur kesanga di Catus Pata (pempatan jalan)? Dan masih banyak dijumpai, jika ada kecelakaan keluarga korban melaksanakan upacara nebusin di pempatan atau di tepi jalan TKP (tempat kejadian perkara). Bahkan di tempat-tempat tertentu banyak pemakai jalan membunyikan klason untuk nyelang margi.
“Dengan adanya semua itu, berarti orang Bali masih meyakini, jalan bukan hanya tempat lalu lintas mobil atau kendaraan saja, tetapi diyakini juga sebagai margi unsur alam lain,” sergah Pekak Renes dengan suara tegas.
Lucunya lagi, kata dia, di sebuah desa di Tabanan bagian kauhan, sejak jalan di desa itu diaspal, banyak orang tua jengah, karena anaknya keruang-keruing minta dibelikan motor baru Cross X. Padahal harga jual kopi lagi anjlok. Lalu apa yang terjadi? Konon setelah dibelikan motor, anaknya malah tidak suka berkendaraan di jalan aspal mulus, tapi lebih suka menerobos jalan setapak di tegalan atau kebun kopi penduduk. Kedis, alu, lubak, punglor, landak, melaib entah ke mana. Kawasan tenget mereka lintasi begitu saja, nabrak punyan kopi tetangga, ampah dan campah, gruang grueng ngilut gas motor.
“Jadi, jalan usak bukan sekadar jalan berlubang, tetapi jalan usak adalah jalan yang berdampak terhadap terjadinya kerusakan dan/atau ketidakseimbangan alam dan kehidupan,” kata Pekak Renes dengan wajah agak merah, mungkin menahan jengah.
“Ohh, keto, Nang?” Saya bertanya sekaligus mengangguk-angguk. Pekak Renes juga mengangguk.
Beh, kalau dipikir-pikir, benar juga. Jalan usak dan usak ulian jalan, keduanya sama-sama berisiko, membuat tatanan budaya dan krama Bali pati kaplug, akeh gawe kurang pangan alias kriris keyakinan dan tatanan. Kalau begitu kebijakan publik ideal seperti apakah yang harus ditempuh? (T)