Cerpen: Satia Guna
SORE ini kami ada janji untuk bermain sepak bola kampung. Bermain di lapangan yang dilingkari pohon bambu, cukup sejuk dan rindang untuk bermain sepak bola dengan teman-teman. Dengan gawang yang terbuat dari bambu, maka kita akan bermain sepak bola kampung.
Aku mengayuh sepedaku dengan cepat menuju lapangan, teman-teman sudah menunggu di sana. Kami mulai bermain pukul 17.00 sore.
Tak terasa sudah 2 jam kami bermain, kami bisa merasakannya karena petang sudah mulai menjelang, lapangan sudah mulai berangsur gelap. Teman-teman sudah samar-samar kulihat. Karena keadaan seperti ini, kami pun memutuskan untuk pulang. Tak lupa pula aku menghitung semua teman-temanku agar tak ada yang hilang ataupun mungkin ada yang lebih.
Karena konon kalau anak kecil bermain hingga petang menjelang di area pohon bambu ini akan diculik oleh memedi. Memedi sering menculik dan memakan anak-anak kecil. Mereka biasanya bersembunyi di balik bambu. Maka dari itu kami pulang dengan berlari, agak takut tapi menyenangkan juga, agar tak bertemu memedi dan tak diculik.
Sesampainya di rumah, Bapak sudah berdiri di depan gerbang, dengan kerutan dahi yang kutahu itu bukan pertanda bagus. Aku memutar balik haluan sepedaku hendak melarikan diri dari amukan Bapak. Sekonyong-konyong bulu kudukku merinding, dan terdengar dengan lantang Bapak memanggilku seperti gemuruh yang datang menyambar telingaku, teriakan yang seperti auman singa itu mampu membangunkan seluruh penghuni rumah.
Petang itu aku mendapat tamparan lagi. Kali ini tamparan bolak-balik sebanyak enam kali, aku harus mengulum darah yang harus senantiasa kutelan agar Bapak tak mengira aku laki-laki lemah.
Malam memayungi rumah kami, dingin yang dihantarkan nafas pohon kamboja masuk ke celah-celah kamarku. Meja belajar sudah dipenuhi dengan pekerjaan rumah yang diberikan sekolah. Sesekali aku menengok televisi agar aku merasa sedikit terhibur, tapi aku harus mengintip dan mengintai seperti tim S.W.A.T karena bapak juga mengintaiku saat belajar.
Saat belajar, aku merasa seperti di penjara, sementara Bapak menjadi mantrinya. Aku merasakan di dalam ruangan hampa yang hanya dipenuhi oleh tumpukan buku dan keputusasaan. Jam 19.00 malam, Mamak memanggilku, dengan suara khasnya. Memekik hingga sampai ke ruang belajar.
Saatnya makan malam. Makan malam adalah hal paling menjengkelkan yang kurasakan. Di mana Bapak akan mengintrogasiku, menanyai segala macam keseharianku, tentang sekolah, temanku, sampai hal-hal sepele seperti berdoa sebelum tidur.
Ia terlalu cerewet, berisik, dan sangat senang mencari kesalahan orang. Malam itu ia memulai percakapan di meja makan. Ia mengatakan kalau anak temannya ikut olimpiade SAINS keluar negeri, dan itu sangat membanggakan orang tua.
Ia memang suka begitu, menyindirku dengan bijaksana, dengan senyum dan mimik yang elegan, hingga pada akhirnya aku akan patah hati ketika aku hanya terdiam dan mengunyah nasi pahit yang ia taruh di piring kecilku. Aku benar-benar benci Bapak.
Aku adalah anak Bapak satu-satunya, penerus keluarga, tulang punggung, citra keluarga, ah apalah, aku masih kecil. Tapi Bapak tetap melanjutkan ceritanya, melanjutkan berbagai eksperimen untuk robotnya ini. Robot yang ia ciptakan agar sesuai dengan keingininannya. Agar sesuai dengan idealismenya.
Bapak suka bercerita, ia bisa bercerita dari fajar hingga senja. Ia sering bercerita tentang masa lalunya dan masa laluku. Tatkala ia bercerita tentang masa kanakku, rasa benciku hilang dengan sendirinya. Ia membiusku dengan dongeng lakon seorang Bapak yang sangat menyayangi anaknya.
Ia tak pernah absen memelukku sebelum tertidur saat aku masih belum mengenal beratnya langit dan ringannya tanah. Ia mengajariku cara menjadi lelaki, yang tak boleh menangis kalau terjatuh dan terjatuh lagi. Karena lelaki tak pernah menangis. Lelaki adalah mahluk yang tegar dan tak akan tumbang walau badai menerjang.
Tapi aku hanyalah manusia biasa. Lelaki yang juga punya rasa. Kecewa. Dengki. Iri dan sedih tentunya. Aku masih mengingatnya. Ya, aku masih mengingatnya.
Pertama kali aku menangis saat nilai ulanganku buruk dan Bapak mengetahuinya. Aku menangis sejadi-jadinya, menangis seperti singa yang kehilangan jati diri. Air mataku keluar begitu derasnya, mataku sudah seperti bendungan. Dan perkataan Bapak membuat bendungan itu jebol, dan aku tak dapat membendungnya lagi. Aku merasa lega bisa menangis, tapi takut Bapak marah.
Aku menangis dengan dahsyat, aku ingin menghentikan tangisanku. Tapi tak bisa, air mata ini seolah-olah tak mau berhenti mengalir, aku bisa tersenyum tapi air mataku tak mau selaras dengan itu, suasana hatiku sudah membaik tapi aku masih tetap menangis sampai aku kehabisan tenaga.
Aku pingsan, aku merasakan tangan Bapak menggendongku, samar-samar aku melihat Bapak juga ikut menangis. Walaupun ia berusaha menepisnya. Aku melihat kemilau air mata yang terpantul cahaya di matanya. Aku lega Bapak ternyata masih bisa menangis. Aku kira Bapak memang sudah tak punya air mata lagi.
Tapi ia masih menyimpan persediaan air matanya untukku, untuk Mamak mungkin sudah ia habiskan separuh. Sekarang ia sedang menutup bendungan air mata di matanya. Mungkin, ini hanyalah firasatku, ia masih ingin menangis lagi, di hari-hariku selanjutnya, tangis sedih sudah pasti, tapi mungkin ia akan menyisakan air mata yang banyak untuk melihatku bahagia, ya, air mata bahagia.
Saat aku tersadar dari pingsanku, Bapak mendekatiku, lalu membisiskkan sesuatu di telingaku. “Maafkan Bapak ya, Bapak janji tidak akan melukai perasaanmu lagi.”
perkataan Bapak tak masuk akal. Aku melihat sisi yang berbeda dari Bapak. Bapak yang selalu terlihat tegar dan tegas, kini meringkuh ketakutan saat ia tahu aku sudah sampai batasnya.
Kenangan itu masih terngiang di ingatanku ditambah lagi bekas luka di sekujur tubuh. Mungkin perlu kuceritakan pula, mengapa Bapak mengatakan untuk tidak menyakitiku lagi. Jelas memang sebelum aku pingsan. Di berbagai musim, sakit yang kuterima bukan perasaan sakit yang biasa.
Aku disakiti secara mental dan fisik. Digantung di bawah pohon kamboja lalu dicambuki dengan belt polisi di tangan Bapak, lalu air di dalam bak mandi sudah kucicipi setiap minggu, tamparan, tendangan, sikuan, langkah bebek, push up sebanyak 50 kali, semua pendidikan militer itu sudah kucicipi dengan darah terkulum di dalam mulut.
Kalau mental jangan ditanya lagi, mentalku sudah keras, sekeras karang di lautan. Aku mengingat ketika aku tidur siang yang terlalu lama, Bapak membangunkanku lalu berkata “Bangun, jangan tidur terus, nanti saja tidur sekali kalau sudah mati!”
Aku ingin sekali meminta maaf kepada Tuhan, karena Bapak yang dikirimkan Tuhan sangat kubenci. Ia memainkan ilmu kemiliterannya kepadaku. Mendidikku sama seperti mendidik siswa sekolah militer. Aku benci menjadi anak seorang aparat.
Kalau disuruh menceritakan bagaimana Bapak, aku bisa menceritakannya sampai ke akar-akarnya. Tapi ketika aku beranjak dari SMP ke SMA. Tingkah polah Bapak berubah. Aksi kemiliternya berubah. Ia tak lagi memberikan tendangan atau tamparan yang membuatku harus menundukan kepala.
Ia justru membimbingku, mengajakku untuk menjadi temannnya. Menjadi pelindungnya. Karena ia berkata ini sudah masanya untukku. Bukan lagi tentang ketegangan fisik. Tapi tentang olah rasa dan pemikiran. Aku masih membenci Bapak. Membenci semua kenangan yang telah ia bangun bersama ideologinya. Tapi aku tidak pernah membenci air matanya.
Air matanyalah yang paling tulus kurasakan semenjak aku di lahirkan ke dunia ini. Aku jadi rindu tamparannya. Aku pula baru mengingat. Saat-saat tamparan terakhir Bapak aku melihat raut wajahnya. Raut wajah kesedihan yang tampak. Tangannya memang keras saat menampar, tapi air matanya selalu saja menggenang di dalam kelopak matanya. Bapak ingin mengajarkanku rasa sakit. Karena rasa sakit yang bukan berasal dari tamparan Bapak. Tapi dari diri sendiri.
Hingga tiba aku jadi dewasa. Setamat kuliah, saat wisuda, Bapak datang. Turun dari panggung pengukuhan sarjana, aku diserang pelukan. Bapak memelukku erat. Aku tegang. Apalagi tangannya kemudian mengusap-usap pipiku. Lama, lama sekali, seakan-akan mencari bekas tamparan tanggannya yang menggumpal di pipiku. (T)
Singaraja, Februari 2016