BANYAK yang tahu, dalam rangka menyambut hari jadi ke-229 Kota Denpasar, digelar berbagai kegiatan tanggal 27 Februari – 3 Maret 2017. Banyak juga yang tahu, tapi belum pernah datang ke tempat kegiatan itu.
Kegiatan itu dipusatkan di Taman Kota Denpasar dan di sekitaran Lapangan Lumintang. Setiap hari selalu ramai dikunjungi warga, bukan hanya warga Kota Denpasar tapi juga warga dari luar Kota Denpasar. Ada yang sengaja datang, ada juga yang hanya sekadar lewat lalu mampir.
Selayaknya perayaan zaman sekarang, di situ banyak dibuka stand-stand makanan, ekonomi kreatif dan produktif, dan stand usaha kecil-menengah. Banyak juga stand pameran yang bisa dilihat-lihat. Perayaan jadi makin semarak karena banyak hiasan yang menjadi ornamen pelengkap di sekitar panggung dan lokasi tertentu dalam acara.
Nah, dari sekian banyak stand, terdapat satu pemandangan yang sangat menarik yang harus dikunjungi. Lokasinya berada tepat di sebelah kiri panggung utama. Di situ terdapat sebuah ruang yang di dalamnya memperlihatkan sejumlah media yang dipadukan dengan karya-karya seni seperti lukisan, patung, dan mural.
Itu adalah seni Instalasi Mural Padmaksara. Karya ini digarap bersama seniman, sastrawan dan beberapa komunitas. Komunitas itu memang komunitas seni dan komunitas yang berfokus dalam pelestarian bahasa, aksara dan sastra Bali, di antaranya Komunitas Hellmonk, Djamur, Gurat Institute, Aliansi Peduli Bahasa Bali, dan Nano U Hero (Wayan Sudarna Putra).
Seperti kata pepatah yang mengatakan “Usaha tak akan pernah menghianati hasil”. Kerjasama yang apik itu memang melahirkan sebuah karya seni yang sangat menarik.
Seni Instalasi Mural Padmaksara ini menghadirkan sebuah peristiwa kebudayaan dengan memakai media mural dan instalasi sebagai sarana untuk memasyarakatkan bahasa dan aksara Bali kepada publik.
Media ini dapat dimaknai sebagai sebuah upaya untuk memperluas misi kebudayaan, dalam hal ini merayakan sekaligus pengembangan bahasa dan aksara Bali dengan cara dan pendekatan yang lebih kontemporer.
Mural misalnya sebagai bentuk seni rupa publik telah menjadi bagian dari urban culture yang sangat lekat dengan kalangan muda. Sehingga pilihan untuk mengkolaborasikan bahasa Bali dengan bentuk seni mural yang digarap oleh komunitas Djamur dan Hellmonk adalah upaya bagaimana melakukan pendekatan yang lebih intim pada generasi muda serta masyarakat Kota Denpasar.
Di samping media mural, pilihan pengunaan media instalasi interaktif berupa instalasi pohon dari anyaman bambu oleh perupa Wayan Sudarna Putra (Nano U Hero) yang dikolaborasikan dengan pohon impian, berupa happening art di mana publik diminta untuk menulis impiannya terhadap Kota Denpasar dengan bahasa dan aksara Bali.
Pengunjung akan menulis impian dan harapannya di atas daun lontar. Lalu harapan dan impian tersebut akan digantung pada pohon harapan tersebut. Pada pohon impian tersebut, selain berisi harapan masyarakat Kota Denpasar juga berisi gantungan aksara-aksara Bali sesuai dengan pangider bhuwana.
Pohon harapan ini sekaligus menjadi sarana untuk pengunjung belajar bahasa Bali. Pohon harapan ini menjadi simbol kehadiran pemerintah Kota Denpasar yang menyerap harapan masyarakatnya.
Pada sesi akhir kegiatan ini, akan dilakukan ritual yang disebut dengan Aksaram Pula Kertih. Ritual tersebut adalah puncak dari kegiatan yang telah dilaksanakan, di mana semua harapan dan impian masyarakat Kota Denpasar yang telah digantung pada pohon harapan akan ditanam bersamaan dengan penanaman bibit pohon jempiring di sudut taman kota.
Pohon jempiring sebagai simbolis kota Denpasar, filosofinya adalah agar kota Denpasar dapat tumbuh dan berkembang bersama impian dan harapan masyarakatnya. Sehingga Denpasar benar-benar menjadi rumah, menjadi ruang yang nyaman bagi setiap insan di dalamnya.
Hasil karya yang dibuat dalam waktu singkat namun memberikan makna yang begitu mendalam ini masih akan nyejer sampai dengan tanggal 3 Maret 2017. Bagi masyarakat Denpasar dan sekitarnya segera kunjungi dan gantungkan harapan kalian di pohon impian tersebut.
Begitu juga agar kita sebagai generasi muda Bali bisa menelurkan kreatifitas dan karya-karya yang bisa memberikan ruang bagi masyarakat Bali untuk memahami budaya, bahasa, aksara dan sastra Bali.
Karena di zaman globalisasi sekarang ini bahasa Bali sudah mulai sedikit dipergunakan sebagai bahasa komunikasi di kehidupan sehari-hari. Di balik semua itu saya masih mempunyai keyakinan bahasa Bali tidak akan pernah mati selama budaya Bali kita jaga dan lestarikan.
Jadi, sebagai generasi muda Bali marilah kita contoh Instalasi Padmaksara sebagai hasil karya yang seakan memberikan percikan air diatas lahan yang dilanda kemarau panjang, dan buatlah karya-karya atau media-media yang baru untuk mempertahankan keajegan budaya dan tradisi Bali melalui bahasa, aksara dan sastra Bali. (T/Data disumbang Gede Gita Purnama).