TOKOH itu bercerita, tentang kebahagiaannya menjadi seorang ayah, memiliki anak perempuan, membawakannya oleh-oleh sepulang dari kerja, dan melihat anaknya tersenyum girang penuh kelucuan. Lalu cerita berlanjut dengan ingatan akan masa-masa sebelum anak itu lahir, tentang persiapan-persiapan yang ia dan istrinya lakukan untuk si kecil, tentang masa pacaran mereka yang menggebu, sehingga si cabang bayi tumbuh di perut si ibu, tentang cita-cita mereka berdua bersama buah hatinya kelak.
Rasa haru meletup ketika si anak hanya bisa menjawab dengan tertawa dan tersenyum terhadap monolog yang dituturkan si ayah. Si tokoh aku terus bertutur, mengajak anaknya bercanda, menggodanya dengan lebih antusias. Narasi mengalir begitu hidup, hangat dan menyentuh. Kalimat-kalimat penuh pengharapan itu hadir dengan begitu lancar dan riang, namun di sisi lain juga kelam dan mencekam.
Di bagian berikutnya giliran tokoh anak yang bermonolog. Dia berterimakasih atas semua yang telah dilakukan kedua orang tuanya dalam menyambut kelahiran dirinya. Si anak juga berpesan agar ayahnya tetap menyayangi ibunya, apa pun keadaannya kini, karena dia sendiri kini sudah berada di tempat terbaik. Monolog si anak penuh kesadaran akan harapan-harapan yang rontok, mimpi-mimpi yang tak terwujud, namun juga penerimaan bahwa takdir tak bisa dielakkan.
Lalu kita tahu ini adalah cerita kehilangan. Ayah itu kehilangan sang buah hati yang meninggal sesaat setelah dilahirkan. Dan jawaban-jawaban si anak (yang tentunya tak bisa bicara secara langsung), bisa diterjemahkan sebagai jawaban dari doa-doa si ayah sendiri yang berusaha menerima kehilangan itu secara tabah. Bahwa tetap ada kehidupan setelah kehilangan paling menyakitkan sekali pun.
Inilah Rare Kumara, salah satu cerpen dalam buku kumpulan cerpen terbaru Gede Putra Ariawan yang berjudul sama. Rare Kumara berisi 15 cerpen, ditulis selama rentang 2015-2016. Sama seperti buku kumpulan cerpen pertamanya, Ngurug Pasih yang memperoleh hadiah Sastra Rancage 2015, sebagian besar cerpen-cerpen dalam buku ini juga memotret gejala dan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Pengarang menunjukkan kepekaan luar biasa dalam menangkap fenomena-fenomena ini lalu mengemasnya dalam bentuk cerita.
Dalam pengantar bukunya, Gede Putra Ariawan menekankan bahwa ia berusaha sebisa mungkin meramu fenomena dan realitas sosial dengan kearifan lokal Bali. Dalam beberapa cerpen, ia tampak berhasil, terutama cerpen-cerpen yang terlihat melibatkan sisi personal sekaligus keliaran imajinasi, diantaranya Rare Kumara, Kepuh Kembar dan Sirep Ngajak Meme.
Kepuh Kembar menceritakan Putu Mirna, seorang istri dengan empat anak dan bersuamikan pekerja kapal pesiar. Meski hidup mewah, kebahagiaan Mirna terasa kurang lengkap karena tidak mampu memberikan anak lelaki. Mirna bahkan merasakan tekanan dan siksaan batin yang luar biasa karena suaminya terus menuntut anak laki-laki. Realitas ini jamak terjadi di masyarakat.
Saat hamil untuk kelima kalinya, suaminya pun dengan tegas memperingatkan agar Mirna menggugurkan kandungannya bila cabang bayinya itu perempuan lagi. Suaminya kemudian kembali berangkat ke kapal pesiar, meninggalkan Mirna dengan anak-anaknya dalam ketakutan sekaligus kerinduan. Oleh ibu mertuanya, Mirna disarankan untuk memohon berkah di pohon kepuh kembar yang ada di ujung barat desa. Meski ragu, Mirna tetap menuruti nasehat mertuanya.
Tak disangka Mirna pun melahirkan bayi laki-laki, tak hanya satu tapi dua. Mirna melahirkan bayi laki-laki kembar. Harusnya Mirna bahagia, harusnya dia senang karena sudah bisa memenuhi harapan sang suami, namun ketakutan baru justru datang menghantuinya. Yakni ingatan akan kaul yang dia ucapkan ketika memohon di bawah pohon kepuh kembar dulu, kaul yang dapat mengakhiri cerita ini sebagai sebuah kebahagiaan tragis.
Di cerpen ini, Gede Putra Ariawan memotret realitas dan fenomena sosial berupa kekerasan dalam rumah tangga serta kungkungan budaya patriarki yang mengutamakan keturunan laki-laki. Ia juga mencampurkannnya dengan mitos tentang keyakinan memohon berkah di tempat-tempat keramat atau disucikan yang masih berkembang di masyarakat. Keunggulan lain cerpen ini terletak pada kepiawaian Gede Putra Ariawan dalam membuat ending yang membentangkan ironi.
Mitos juga diolah dalam cerpen lain berjudul Sanggulan, yang bercerita tentang adanya raksasa gundul di desa Sanggulan, Tabanan pada zaman dulu. Raksasa ini diceritakan suka menculik dan memangsa manusia dan pada akhirnya berhasil dibunuh menggunakan batang pohon timbul. Diyakini sejak itulah warga Sanggulan tidak diperkenankan mengkonsumsi buah timbul. Apabila ada yang melanggar, bencana akan menimpa desa.
Sanggulan tampak mewakili realitas pemikiran masyarakat yang masih berada di persimpangan antara percaya dan tidak percaya terhadap mitos. Membaca akhir cerita ini, kita seperti bercermin barangkali sebenarnya kita belum bergerak apalagi meninggalkan mitos-mitos itu. Justru seringkali mitos berusaha dilogikakan dan dihubung-hubungkan dengan kejadian-kejadian yang dihadapi.
Sirep Ngajak Meme adalah cerpen menarik lainnya kendati tema yang diangkat tidak benar-benar baru. Dituturkan dengan sudut pandang orang pertama, yang sebagian besar berupa ingatan anak kecil, bercerita serba sedikit, perlahan, tapi liar secara imajinasi. Cerpen ini menyuguhkan fenomena kekerasan terhadap perempuan, penyimpangan seks, serta trauma masa kecil. Sekilas, Sirep Ngajak Meme mengingatkan akan nuansa cerpen-cerpen Avianti Armand di Sastra Indonesia.
Cerpen-cerpen lain dalam kumpulan ini, kendati menunjukkan kepekaan pengarang dalam menangkap fenomena, tetap tak bisa menghindarkan dirinya dari jejalan gagasan-gagasan dan nasehat-nasehat yang banal. Tanpa bermaksud mengabaikan usaha pengarang, juga fungsi cerita yang kadang sebagai satire kehidupan, sebagian cerpen tak ubahnya sebuah esai bercerita. Realitas justru tampil secara mentah, unggul secara isu yang melatarbelakanginya namun datar sebagai sebuah cerita.
Gagasan, kritik sosial, di sebagian besar cerpen dalam buku ini tidak menyatu utuh dengan karakter para tokohnya. Mereka seolah ada hanya sebagai mulut yang dipinjam untuk bersuara. Bahkan ada beberapa dialog antar tokoh hanyalah sebuah parade diskusi menyampaikan pendapat tentang fenomena kekinian yang dipandang pengarang penting untuk dikritisi. Menyederhanakan kompleksitas realitas hidup orang Bali ke dalam cerita hitam putih yang moralis, bersahaja, minim gejolak fsikologis bisa menjadi pilihan beresiko.
Kecenderungan seperti ini sejatinya tidak hanya dijumpai di cerpen-cerpen Gede Putra Ariawan. Banyak penulis Sastra Bali Modern kini terjangkiti masalah serupa. Mereka memiliki tendensi tinggi untuk menyampaikan kritik sosial dengan sangat apa adanya, hasrat bertutur dan menasehati yang menggebu sampai lupa bahwa mereka sebenarnya tengah bercerita dan terikat dengan bentuk penceritaan. Diakui atau tidak cerpen Sastra Bali Modern seolah tak bisa membebaskan dirinya dan senantiasa terikat dengan misi mulia leluhurnya satua, yang sebagian besar harus nyatua, harus nuturin, menasehati.
Banyak cerpen hadir begitu saja seolah semua realitas dan fenomena adalah penting untuk diceritakan, tanpa mempedulikan bagaimana realitas itu mestinya dikemas dengan perenungan lebih mendalam. Jarang sekali menemukan realitas-realitas itu disublimasi ke dalam cerita yang menjadikannya sebuah refleksi bermakna, sebuah kenikmatan membaca sekaligus pengalaman batin berharga.
Harapan berlebihan? Sama sekali tidak. Gede Putra Ariawan memiliki keterampilan berbahasa yang mumpuni, kelancaran dalam bertutur, kerapian, perpaduaan antara kesederhanaan sekaligus keaslian yang unik. Karena tak selamanya akrobat kata-kata atas nama imajinasi menjanjikan isi yang juga betul-betul berisi. Di beberapa cerpen terbukti ia berhasil menjadi suara dari orang-orang kecil dengan plot yang bergerak luwes dan halus, diselipi kelakar jenaka khas Bali.
Bersama penulis-penulis lain, sudah saatnya berangkali cerpen-cerpen sastra Bali Modern menaikkan level kualitasnya, tak cukup hanya semarak dalam jumlah penerbitan dan lahirnya penulis-penulis baru. Sudah saatnya barangkali penulis menaikkan kriteria penilaian atas karyanya sendiri di tengah banyaknya anggapan bahwa sastra bali modern hadir dan hidup tanpa kritik, sekaligus sambil menunggu munculnya kritikus-kritikus ganas bila memang itu yang benar-benar dirasa perlu.
Dan para penglingsir Sastra Bali Modern, para sesepuh, barangkali bisa bernafas lega kelak karena tak selamanya harus bertindak sebagai pembela dan pelindung dari karya-karya yang dikritik, atas nama apresiasi sekali pun, yang justru memanjakan dan meninabobokan para penulis. Kritik tak harus disikapi sebagai langkah mematikan karier penulis bukan?
Mungkin menyenangkan menunggu lahirnya karya antara kombinasi keterampilan berbahasa Gede Putra Ariawan, dengan keliaran imajinasi Putu Supartika, meskipun pada dasarnya setiap penulis memiliki ciri khasnya tersendiri. (T)