BUKAN maksud menceritakan jalannya debat pilgub DKI, tulisan saya ini mengulas satu topik spesifik yang muncul dalam debat semalam sembari nyeruput segelas susu skim. Isunya tentang penanganan anak bermasalah yang melakukan tindak kekerasan, bullying, tawuran.
Pasangan calon nomor urut dua, Ahok/Djarot ,mengatakan ingin menerapkan disiplin dengan cara memberlakukan tindakan bertingkat. Artinya, tingkat kesalahan siswa akan selaras dengan tindakan sanksi yang diperoleh, mulai dari teguran, pencabutan beasiswa, tidak naik kelas, dipindahkan, sampai dikembalikan ke orang tua.
Menurut pasangan calon nomor 3, Anies/Sandi, siswa-siswa bermasalah seperti tersebut di atas harus diselesaikan dengan pemecahan masalah secara sistematis dengan melibatkan guru, orang tua, ahli psikologi, tokoh masyarakat kependidikan sebagaimana tertuang di Permendikbud No. 83, tahun 2015. (Sebelum saya lanjut, saya terus terang tidak bisa menemukan laman yang memuat peraturan ini karena di laman resmi kemendikbud hanya tertuang sampai Permendikbud No.81 tahun 2015).
Bagi yang juga tergelitik dengan keadaan ini, tentu sebagian berpikiran sama dengan pasangan calon nomor 2, dan sebagian lagi mungkin berpikiran sama dengan pasangan calon 3. Tanpa bermaksud mengkotak-kotakkan pemikiran Anda, ijinkan saya menjelaskan kenapa saya sependapat bahwa penerapan disiplin bertingkat adalah solusi.
Lho? Bukannya merangkul, memecahkan masalahnya bersama, memberi pengertian, adalah hal ideal yang mesti dilakukan?
Begini, pemerintah sudah menyadari sulitnya membentuk karakter anak yang ideal dan juga peran penting orang tua sebagai barisan pertama pendidikan anak. Oleh sebab itu pula, pemerintah menuangkannya dalam Undang Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang merupakan Undang-Undang Perubahan dari UU No.23.Th.2002.
Pada pasal 26 ayat 1 menyebutkan bahwa orang tua wajib untuk: (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya, (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, dan (d) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.
Disadari atau tidak, pendidikan pertama memang datang dari orang tua, khususnya pendidikan karakter. Bagaimana cara menyapa dengan santun, berpamitan, meminta sesuatu, cara bertutur dengan orang lain, dan hal hal yang terlihat kecil lainnya, namun sangat fundamental karena mendukung proses tumbuh kembang anak selanjutnya.
Pendidikan kedua datang dari lingkungan sekolah. Ini tempat di mana anak mendapatkan pendidikan formal dan pendidikan karaker sekunder. Kenapa sekunder? Karena kebutuhan karakter primer sejatinya sudah diajarkan oleh orang tua. Sekolah dan tenaga pendidiknya befungsi menyiapkan anak untuk menghadapi proses pendidikan yang ketiga, yaitu sosial masyarakat.
Banyak yang (terlalu) berharap, sekolah akan menjadi tempat satu satunya proses semua hal baik dilakukan, termasuk penanaman karakter. Maka jangan heran ada perspektif yang mengatakan, jika anak kurang pintar, itu salah gurunya tidak bisa mengajar. Jika anak terlibat tawuran, salah guru dan sekolah tidak mengawasi. Jika anak melakukan bullying, salah gurunya tidak kasih tahu cara bertutur yang benar. Apa-apa salah gurunya deh.
Contoh kecil lain, ingat tidak kejadian demi kejadian di mana siswa tidak menghormati gurunya yang juga sempat viral di beberapa media sosial? Ada yang memukul, bolos, sampai duduk di depan bahkan sampai menaikkan kaki di sebelah gurunya. Juga beberapa fenomena siswa terlibat konflik horizontal dengan siswa sekolah lain.
Padahal, hormat menghormati harusnya sudah diajarkan di jenjang yang paling awal. Harusnya lho. Herannya, berapa kejadian menunjukkan orang tua justru sangat membela anaknya, tidak tahu salah benar, juga datang ke sekolah menghardik bahkan ada yang berujung kekerasan. Duh, bapak, ibu. Sekolah itu sudah melakukan yang terbaik membina anak-anak semacam itu. Jika sampai mereka tidak sanggup lagi dan menerapkan sanksi bertingkat, wajar-wajar saja.
Lihat rasio seorang guru harus menghadapi berapa siswa saat ini, berapa beban administrasi yang mereka jalankan, beban jam mengajar dengan pengintegrasian penanaman karakter, belum lagi tuntutan akademiknya dan berapa jam sekolah berjalan. Lah bukannya menjalankan profesi itu harus dengan hati sehingga tidak ada alasan seperti itu?
Oh iya, mereka harus menjalankannya dengan hati, tapi juga dalam batas rasionalitas. Memangnya gampang menjaga karakter siswa sedemikian banyak berbanding jumlah gurunya? Wajarkah para orang tua menyalahkan sekolah dan guru semata padahal mereka harus menghadapi puluhan siswa per gurunya. Bandingkan sekarang dengan orang tua yang, saya yakin, tidak menghadapi anak sebanyak itu di rumah.
Makanya, penegakan disiplin bertingkat itu perlu. Yang menjadi masalah biasanya tingkat terakhir (mengembalikan ke orang tua). Tidakkah itu hanya memindahkan masalah? Bagi saya, lebih baik dia mengulangi dari dasar lagi ketimbang meracuni pikiran anak lain untuk melakukan serupa. Jika dikembalikan ke tahap awal, orang tua bisa memberikan pemahaman lebih dalam ke anaknya, ketentraman siswa lain bisa terjaga. Jangan salah kaprah ya, saya bukan merekomendasikan ini serta merta. Jangan dikira anak salah sedikit, saya sarankan untuk dikeluarkan.
Oh enggak, saya ingatkan lagi. Penegakan disiplin bertingkat. Sebisa masih ditangani sekolah dengan kerjasama pihak orang tua, ya bagus. Cuma kalau dipaksakan tetap di sekolah padahal tindakannya sudah di luar ambang batas demi gengsi daerah dalam angka partisipasi aktif dan persentase lulusan, ya percuma juga. (T)