2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Sedikit-Sedikit Mengenai Puisi Wislawa Szymborska: Keanggunan Berpikir, Kenakalan Perspektif

Zulkifli SongyananbyZulkifli Songyanan
February 2, 2018
inUlasan

Foto diambil dari internet

58
SHARES

SUNGGUH sulit membayangkan kehidupan tanpa humor. Namun anehnya, saya pikir lebih sulit lagi membayangkan humor dapat hidup dalam puisi. Kesan ‘angker’ bahwa puisi selalu anggun dan serius, sedikit-banyak telah membentuk sebuah perspektif bahwa puisi dan humor adalah dua hal yang bertentangan.

Perspektif demikian, setidaknya dalam kepala saya pribadi, hidup cukup lama sampai akhirnya saya bertemu puisi-puisi Yudhistra AM dan Joko Pinurbo. Tapi, lupakan dulu puisi-puisi Yudhis dan Jokpin. Dalam tulisan singkat ini saya ingin mengungkapkan kesan-kesan saya selepas membaca beberapa puisi karya perempuan penyair terbaik Polandia, marhumah Wislawa Szymborska.

Sudah lama saya jatuh cinta pada puisi-puisi penyair bernama lengkap Maria Wislawa Anna Szymborska ini. Puisi-puisinya yang tenang dan sederhana, sering kali memendam ungkapan-ungkapan filosofis yang memukau. Bahkan sampai sekarang, ungkapan ‘maafkan aku, wahai perang yang jauh karena pulang membawa bunga’ (Di Bawah Bintang Kecil—terjemahanAgus R. Sarjono dalam Majalah Horison) masih saya anggap sebagai salah satu ungkapan puisi paling mengesankan yang pernah saya baca.

Puisi-puisi Szymborska penuh dengan ironi. Di satu sisi ia menampakkan keanggunan berpikir, di sisi lain ia menunjukkan kenakalan perspektifnya yang penuh humor. Kekuatan puisi Szymborska memang terletak di situ. Dalam ungkapan-ungkapan puisinya yang bersahaja, ia sanggup membuat pembaca untuk merenung sekaligus tersenyum sambil menahan tawa. Simak baris puisi berikut.

Apa yang didapat dunia dari dua manusia/ yang tinggal di dalam dunia mereka sendiri?//…// Lihatlah pasangan yang bahagia./ Bisakah mereka, setidaknya, menyembunyikan kebahagiaan itu/ dengan pura-pura sedikit depresi, demi kepentingan teman-temannya?/ Dengarkan mereka tertawa—itu adalah penghinaan./ Bahasa yang mereka gunakan— sungguh jelas menipu./ Dan perayaan kecil mereka—ritual demi ritual,/ rutinitas yang rumit—/ merupakan alur bagi kemunduran umat manusia!// (Cinta Sejati)

Bagi saya pribadi, puisi di atas jadi mengejutkan lantaran, pertama, ditulis oleh seorang perempuan; kedua, pernyataannya benar. Bagi kebanyakan perempuan (pernyataan ini bukan berarti tidak berlaku bagi kebanyakan laki-laki), puisi cinta selalu identik dengan kelembutan dan keagungan. Cinta yang mereka dambakan, yang sering kali terkesan tidak berpijak di bumi—meski dibalut ungkapan-ungkapan garang dan menggugat—kerap terasa romantik dan sentimental.

Pada Szymborska, kecenderungan demikian tidak tampak. Dengan jelas, puisi di atas berusaha mewartakan pada pembaca bahwa sejatinya cinta sejati tidak melulu bersifat teknis dan seremonial. Dalam pandangan Szymborska—yang terasa kritis dan penuh semangat menertawakan—cinta sejati tidak hinggap pada jiwa satu-dua individu semata. Ia mestilah universal.

Dan ya, universalitas! Nilai itulah yang kemudian menjadi kekuatan lain puisi-puisi Szymborska. Sebagai peraih Nobel, meski banyak bicara mengenai perasaan maupun ‘urusan-urusan sepele’, beberapa puisi Szymborska seakan-akan menjelma menjadi corong yang menyuarakan kesedihan sekaligus kegembiraan umat manusia. Dan uniknya (hal ini amat wajar dan sering kali dibicarakan dalam esai-esai mengenai puisi), puisi-puisi Wislawa yang bersifat universal justru terpancar dari gaya tuturnya yang sangat otentik dan personal.

Aku minta maaf kepada kesempatan lantaran menyebutnya keharusan./ Aku minta maaf kepada keharusan, jika, setelah segalanya berlalu, aku terbukti keliru./ Tolong, jangan marah, kebahagiaan, jika kau kuambil sebagai hakku./ Semoga kematianku akan bersabar lantaran kenanganku pun turut memudar./ Aku minta maaf kepada waktu atas dunia yang kuabaikan setiap detik./ Aku minta maaf pada cintaku di masa lalu lantaran kupikir/ bahwa cintaku yang baru ialah yang pertama./ Maafkan aku, perang yang jauh,lantaran aku pulang membawa bunga.// (Di Bawah Sekeping Bintang Kecil)

Larik-larik di atas ditulis dengan nada pertentangan yang lembut, namun ketat sekaligus penuh perhitungan. Hal-hal demikian memang menjadi kekhasan dalam puisi-puisi Szymborska. Pertentangan dan kelembutan, gagasan liardalam bentuk yang tertib, sering kali tampak pada hal-hal detail yang dikemukakan Szymborska dalam puisinya.

Membaca puisi dengan detail-detail semacam itu—dengan tema yang sangat beragam: sejarah, kenangan, cinta, politik, perubahan iklim, kontes binaraga, kapitalisme, tumbuh-tumbuhan, terorisme, perang, dan lain sebagainya—yang kemudian ditegaskan oleh Szymborska bahwa dirinya memendam rasa penasaran yang besar terhadap segala sesuatu,menjadikan puisi-puisinya tidak sematahadir sebagai hasil keperajinan (craftmanship) berbahasa, namun sebagai ruang intropeksi yang terasa sangat meditatif.

Hanya, hasilmeditasi yang dilakukan Szymborska ujung-ujungnya malah lebih sering menelurkan suara polos nan riang milik anak-anak tinimbang suara berat nan karismatik milik seorang petapa. Karenaitulah bukan hal berlebihan bila sosok yang dikenal sebagai perokok berat ini dijuluki publik sebagai “The Litle Mozart”, atau Mozart-nya para penyair.Simak dua baris Keajaiban yang Wajar dan Perihal Kematian, Tanpa Ungkapan Berlebihan berikut.

Sebuah keajaiban, apa pun dapat kau sebut begitu:/ hari ini matahari akan terbit pukul delapan lebih empat belas/tapi ditetapkan pukul delapan lebih semenit//. Sebuah keajaiban lain, tapi tak begitu mengejutkan:/ meski tangan memiliki jemari kurang dari enam/ ia masih berjumlah lebih dari empat.Hanya dengan melihat ke sekitar, keajaiban ialah:/ dunia ada di mana-mana./ Dan keajaiban tambahan,/ sebagaimana tambahan-tambahan lainnya:// bahwa apa yang tak terpikirkan/ ialah hal-hal yang masuk akal. (Keajaiban yang Wajar)

Ia tak bisa diajak bercanda/ menunjuk sekeping bintang, atau membangun jembatan./ Ia tak tahu apa-apa mengenai tenunan, pertambangan, pertanian,/ membuat kapal, bahkan memanggang roti.// Dalam rencana kami esok hari,/ ia hanya kata terakhir,/ yang disimpan di samping titik.// Salah satu cirinya/ia tetap tak berdaya/ meski banyak hal telah dilakukan untuknya:/menggali kubur,/ membuat peti mati/,membereskan pemakaman.// Oh, rupanya kematian telah mendapat kemenangan, /tapi lihatlah kekalahannya yang tak terbilang,/serangannya yang luput,/ juga usahanya yang berulang!// Kadang-kadang ia tak cukup kuat/untuk sekadar menepis lalat di udara./ Dan banyak ulat/ merayap pelan di atas tubuhnya.//

(Perihal Kematian, Tanpa Ungkapan Berlebihan)

Wislawa Szymborska adalah satu dari sekian banyak penyair dunia yang nama serta karyanya cukup dikenal luas di Indonesia. Beberapa karyanya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh banyak pihak dan untuk berbagai kepentingan. Kesederhanaan bahasa, juga gagasan-gagasannya yang unik dan universal, saya kira merupakan alasan mengapa sajak Szymborska ‘cenderung mudah’ diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Saya tak dapat membayangkan betapa indahnya puisi-puisi tersebut sekiranya dibaca dan dilafalkan dalam bahasa aslinya, bahasa Polandia.

Siapapun yang membaca puisi-puisi Wislawa Szymborskasudah selayaknya dapat belajar banyak untuk dapatberpikir cerdas, santai, dan kritis.Lewat sajak-sajaknya, Wislawa menunjukkan bahwa pikiran-pikiran sederhana sekalipun, ditunjang dengan kepribadian yang kokoh dan cara pandang yang segar, dapat jadi modal untuk merenungi sekaligus menertawakan kehidupan.

Hidup sudah terlalu suntuk dengan hal-hal biasa yang selalu dibesar-besarkan. Sedang apa yang kita perlukan ialah kemampuan untuk terbiasa menyederhanakan persoalan-persoalan besar. Wislawa Szymborska mengajari kita untuk berlaku seperti itu.

Catatan: Kutipan puisi-puisi Szymborska di atas, juga beberapa puisinya berikut, diterjemahkan penulis dari beberapa sumber, antara lain situs poemhunter.com dan antologi puisi Wislawa Szymborska, North. Semuanya berdasar pada terjemahan Bahasa Inggris versi Clare Cavanagh dan Stanislaw Baranczak.

Puisi-puisi Wislawa Szymborska

UTOPIA

Inilah pulau di mana segala hal tampak jelas.
Tanah yang kokoh tersimpan di bawah kakimu.
Satu-satunya jalan menawarkan jalan masuk.
Semak belukar merunduk di bawah pijakan yang nyata.

Di sini Pohon Perkiraan Yang Benar tumbuh
dengan cabang-cabang yang menjulur dari masa lalu.

Dengan penuh pesona, Pohon Pemahaman pun tumbuh lurus dan sederhana
berakar pada musim semi yang disebut Telah Kudapatkan.

Lebih lebat dari hutan, lebih luas dari pemandangan:
Lembah Kesungguhan.

Apabila keraguan muncul, angin menghempasnya seketika.

Gema keributan datang tiba-tiba
dengan penuh semangat menguraikan seluruh rahasia dunia.

Di kanan Goa Makna pun terbaring.

Di kiri Danau Keyakinan Yang Dalam.
Di situ Kebenaran terpendam lalu timbul ke permukaan.

Di atas lembah, Menara Kepercayaan yang Tak Tergoyahkan.
Puncaknya menawarkan pemandangan indah berupa Hakikat Benda-benda.

Yang lebih mempesona, pulau ini tak berpenghuni,
tapi samar jejak kaki tersebar di tepian pantainya
lurus, mengarah ke laut.

Seakan apa yang kau dapat lakukan disini hanyalah pergi
lalu melompat tak kembali, menuju kedalaman.
Kedalaman hidup yang tak terduga.

CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

 

Keduanya percaya
luapan emosi yang tiba-tiba telah memenuhi jiwa mereka.
Keindahan adalah suatu perkara yang pasti.
Tapi ketidakpastian selalu lebih indah.
 
Karena tak saling mengenal sebelumnya,
mereka mengira tak akan terjadi apa-apa pada diri mereka.
Lantas bagaimana dengan jalan demi jalan, tangga demi tangga,
serta koridor tempat mereka pernah berpapasan di masa silam?
 
Ingin kutanyakan pada mereka
apakah mereka ingat —
misal, di sebuah pintu-putar
mereka pernah saling bertatapan?
Mengucapkan ‘permisi’ di tengah orang banyak
atau mengatakan ‘salah sambung’ saat menerima panggilan.
Tapi aku tahu jawabannya:
mereka tak akan mengingat hal-hal semacam itu.
 
Sungguh mereka akan merasa heran
bahwa dalam waktu yang cukup lama
mereka pernah belajar dan bermain bersama.
 
Saat itu takdir belum sepenuhnya siap
untuk masuk dalam hidup mereka,
tapi kini ia mulai mendekat, berjalan mundur
lalu sambil tertawa gembira
melompat menghadang mereka.
 
Ada banyak tanda, juga isyarat:
tapi apa artinya jika semua tak terlihat?
Mungkin tiga tahun lalu,
atau selasa kemarin
sebuah selebaran melayang
hinggap dari satu bahu ke bahu yang lain?
Ada sesuatu yang hilang sekaligus tertangkap.
Barangkali bola
dari semak-semak masa kanak.
 
Ada banyak pintu, juga lonceng
yang lebih dulu dipenuhi sentuhan.
Koper mereka berada dalam bagasi yang sama.
Bahkan di malam-malam tertentu
mungkin tidur mereka pun dilimpahi mimpi yang sama,
mimpi yang tiba-tiba hilang, setiap kali pagi datang.
 
Setiap awalan
hanyalah sebuah lanjutan
dari kitab kejadian
yang tak sepenuhnya terbuka.
 

KEHIDUPAN SULIT BERSAMA KENANGAN

 
Aku seorang pendengar yang buruk bagi kenanganku.
Ia ingin aku memperhatikan suaranya tanpa henti,
sedang aku gelisah, menggerutu,
mendengar dan abai,
melangkah keluar, kembali, lalu meninggalkannya lagi.
 
Ia menginginkan seluruh waktu dan perhatianku.
Ia tak punya masalah saat aku tidur.
Saat hari menawarkan hal berbeda, ia cukup terganggu.
 
Dengan penuh semangat ia sodorkan surat-surat lama dan potret-potret kepadaku,
membangkitkan peristiwa-peristiwa penting dan tak penting,
mataku beralih pada pemandangan yang diabaikan,
orang-orang mengisinya dengan kematian.
 
Dalam ceritanya aku senantiasa lebih muda.
Itu bagus, sayangnya hanya berlaku pada cerita yang sama.
Sedang padaku tiap cermin mengabarkan hal berbeda.
 
Ia marah saat kuangkat bahu.
Dan membalas dendam dengan mengungkit kesalahan lama—
berat, tapi mudah dilupakan.
Ia menatap mataku, memeriksa reaksiku.
Lalu menghiburku, hal itu bisa jadi lebih buruk.
 
Ia ingin aku hidup hanya untuknya dan bersamanya.
Baiknya, dalam ruang gelap dan terkunci.
Tapi rencana-rencanaku masih membutuhkan matahari
serta arakan awan pada jalurnya sendiri.
 
Terkadang aku muak dengan dirinya.
Kusarankan untuk berpisah. Sejak saat ini hingga selamanya.
Lantas ia tersenyum kasihan kepadaku,
sebab tahu hal itu akan jadi akhir hidup bagi dirinya dan aku.
 

SEDIKIT PERNYATAAN TENTANG JIWA

 
Sesekali kita memiliki jiwa.
Tapi tak seorang pun sanggup menjaganya
setiap saat.
 
Hari demi hari
tahun demi tahun
mungkin berlalu tanpa kehadirannya.
 
Kadang-kadang
ia menetap sebentar
dalam ketakutan dan ketakjuban anak-anak.
Kadang pula dalam keadaan heran
bahwa kita sudah tua.
 
Ia jarang sekali mengulurkan tangan
dalam pekerjaan-pekerjaan berat,
misalnya memindahkan perabotan,
mengangkat bagasi,
atau pergi jauh bermil-mil dengan sepatu kekecilan.
 
Biasanya ia keluar
saat daging-daging mesti dicincang
saat berkas-berkas perlu diisi.
 
Dalam tiap seribu percakapan
ia hanya turut sekali,
dan itu pun
ia jalani dengan diam.
 
Hanya saat tubuh kita merasa sakit dan nyeri,
ia tanggalkan pekerjaan-pekerjaannya.
 
Ia suka pilih-pilih:
tak suka melihat kita dalam keramaian,
terburu-buru mencari keuntungan yang meragukan,
dan ia bakal sakit mendengar suara akal-bulus berderitan.
 
Kesenangan dan penderitaan
bukanlah dua hal berbeda baginya.
Ia menyertai kita
justru hanya jika dua hal itu duduk bersama.
 
Kita bisa mengandalkannya
saat kita benar-benar ragu
serta serba ingin tahu terhadap segala sesuatu.
 
Di antara objek-objek material
ia mirip bandul jam
dan cermin, mereka terus bekerja
bahkan saat tak seorang pun melihatnya.
 
Ia tak kan mengatakan dari mana ia datang
atau kapan ia akan pergi
meski jelas, ia mengharapkan pertanyaan demikian.
 
Kita membutuhkan jiwa
tapi tampaknya
untuk beberapa alasan tertentu
ia membutuhkan kita juga.
 

ANAK ZAMAN KITA

Kita adalah anak zaman ini,
zaman politik.
 
Sepanjang hari, sepanjang malam,
segala urusan—milik siapa pun—
adalah urusan politik.
 
Persetan engkau suka atau tidak,
dalam darahmu mengalir silsilah politik,
pada kulitmu menempel balutan politik,
pada matamu terdapat pandangan politik.
 
Apa pun yang kau katakan akan bergema,
apa yang tak kau katakan akan bicara sendiri.
Dengan begitu, kau larut dalam pembicaraan politik.
 
Bahkan ketika kau pergi ke hutan,
kau tengah mengambil langkah politik
atas alasan yang politis.
 
Puisi-puisi apolitik tetap saja bersifat politis,
di atas kita bulan memancar
meskipun sinarnya tak murni lagi.
Bagaimanapun, itulah pertanyaan.
Dan meski cukup mengganggu pencernaan
hal itu tetap merupakan pertanyaan —tentunya—pertanyaan politik.
 
Untuk mendapat makna politik
tak usahlah engkau jadi manusia.
Biarkan sumber daya mentah mendapatkannya,
bersama makanan berprotein, minyak bumi,
 
atau sebuah meja konferensi yang bentuknya
telah menjadi perdebatan berbulan-bulan;
haruskah kita menentukan hidup dan mati
di atas meja yang bundar atau persegi ini?
 
Sementara itu, orang-orang meninggal
hewan-hewan mati,
rumah demi rumah terbakar,
dan tanah lapang pun hancur berantakan
seperi peristiwa di masa lampau
yang —padahal— kurang berpolitik.
 

MENSYUKURI KEBURUKAN DIRIMU

 
Burung elang tak pernah mengatakan bahwa tindakannya terkutuk.
Harimau kumbang tak akan tahu artinya keberatan.
Ketika seekor piranha menyerangmu, ia tak mungkin merasa malu.
Jika ular memiliki tangan, mereka akan menyatakan tangannya bersih.
 
Serigala tentu tak memahami penyesalan.
Singa dan kutu tak meragukan kebiasaan mereka.
Mengapa harus mereka, kapan mereka sadar
bahwa apa yang mereka lakukan adalah perkara yang benar?
 
Meskipun jantung paus pembunuh bobotnya satu ton
namun dengan cara-cara tertentu mereka justru merasa ringan.
 
Di bumi ini, ciri paling utama dari kebuasan
tak lain ialah suara bening hati nurani.
 

REMAJA


Aku— seorang remaja?
Jika ia tiba-tiba berdiri, kini, di sini, sebelum aku,
haruskah kuperlakukan dirinya dengan ramah dan penuh sayang,
meski bagiku ia asing dan berjarak?
 
Meneteskan air mata, mengecup keningnya
demi alasan sederhana
bahwa kami memiliki tanggal lahir yang sama?
 
Sejak matanya terlihat lebih besar,
bulu matanya lebih panjang, ia pun lebih tinggi
dan seluruh tubuhnya terbungkus rapat
dalam kelembutan, kulit tak bercacat.
 
Kerabat dan sahabat masih menghubungkan kami, itu benar,
tapi dalam dunianya segala hal masih hidup
sedang dalam duniaku tak satu pun bertahan
dari lingkaran yang sama itu.

Kami sungguh sangat berbeda,
bicara dan berpikir mengenai hal-hal yang sama sekali berbeda.
Ia serba tahu—
dan dengan kegigihan ia layak mengemukakan alasan-alasan yang lebih baik.
Aku tahu lebih banyak—
Tapi pernyataanku tak ada yang meyakinkan.
 
Ia menunjukanku beberapa puisi,
ditulis dalam kalimat jernih dan hati-hati
yang tak kupakai selama bertahun-tahun.
 
Kubaca puisi, kubaca semuanya.
Nah, andai saja salah satunya
ditulis lebih pendek
dan tetap berada di berbagai tempat.
Sisanya, bukan pertanda yang baik.
 
Dalam perpisahan, tak ada senyum yang bertahan
dan tanpa emosi
kecuali saat ia berlalu
meninggalkan syalnya terburu-buru.
 
Syal dari bahan wool asli,
dengan corak bergaris
disulam untuknya
oleh ibu kami.
 
Aku masih memiliki syal itu.
 
Penterjemah : Zulkifli Songyanan

Tags: PuisiWislawa Szymborska
Previous Post

Ditunggu Karena Makna, Isi Angpao itu Bonus | Cerita Engkong Tentang Imlek

Next Post

Pesan Cinta yang Tak Pernah Terkirim

Zulkifli Songyanan

Zulkifli Songyanan

Alumni program studi Manajemen Pemasaran Pariwisata, Universitas Pendidikan Indonesia. Menulis puisi, esai, feature, dan berita. Kumpulan puisi pertamanya, Kartu Pos dari Banda Neira (Gambang Buku Budaya, 2017). Saat ini tinggal di Jakarta

Next Post

Pesan Cinta yang Tak Pernah Terkirim

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co