PUISI-puisi bertebaran di balik tiga daun genting yang menutupi wajah Frank, Bass, dan Bob. Kata-kata puitis yang begitu menarik, namun tak pernah sampai secara maksimal ke telinga penonton.
Entah karena memang tak perlu didengarkan, atau genting-genting itulah yang menjadi penanda bahwa sejatinya ada sesuatu, semacam ruang, orang atau tempat mereka mengadu, namun tak ada satupun jawaban yang mereka terima. Suara-suara mereka terpental layaknya doa-doa yang kerapkali didengungkan kepada Tuhan dan seketika itu juga, kembali pada diri mereka sendiri.
Onani. Nikmat sendiri. Begitulah kiranya ruang yang diciptakan Andy Sri Wahyudi dkk dalam pentas “Energi Bangun Pagi Bahagia”. Di Bali, pentas ini dilakukan di Basement Kampus Bawah Undiksha, Singaraja (13/01/2017), dan di Phalam Batik, Tohpati, Denpasar (15/01/2017).
Pentas yang diadakan di Basement Kampus Bawah Undiksha, Singaraja itu begitu banyak menyisakan pertanyaan bagi penonton. Misalnya, ketika MC yang disiapkan panitia tak diizinkan untuk membuka pentas. Tak ada waktu buat penonton mempersiapkan diri memulai kuda-kuda untuk menikmatinya.
Andy SW dkk memulai pentas dengan dialog di balik genting begitu saja, tanpa memperdulikan siapa yang sudah siap mendengar dan yang masih sibuk atau malu-malu mencari tempat duduk yang pas untuk menyaksikan pertunjukan.
Ping-pong dialog dengan kata-kata puitis yang cukup lama dan begitu cepat dilontarkan ini sengaja ‘dipelihara’ sedemikian rupa. Yang semakin lama, kian menimbulkan rasa jenuh pada penonton.
Tak ada waktu untuk menguliti. Apalagi memahami apakah sesungguhnya yang ingin disampaikan. Hal ini kemudian memunculkan relasi makna tentang ‘kelas sosial’ yang terjadi antara penonton dan pemain itu sendiri.
Para pemain adalah orang-orang yang mengadu entah tentang apa, entah pada siapa. Sedang penonton merupakan sebentuk benda, orang, atau tempat mereka mengadu. Hanya mampu mendengar dan menikmati. Tak bisa memahami secara utuh maksud yang disampaikan. Bahkan pada suatu titik tertentu, melahirkan semacam ‘penolakan’ atau ‘antipati’ melalui rasa jenuh itu sendiri yang ditimbulkan atas ketidakjelasan dialog yang dilontarkan.
Kejenuhan inipun akhirnya diputus oleh kedatangan narator yang diperankan oleh Jovanka Edwina Dameria Ametaprima yang membawa obor dari belakang penonton. Tiga daun genting yang semula menutupi wajah tokoh Frank, Bass dan Bob perlahan naik. Lagu O ina ni keke dinyanyikan. Pertunjukan sesungguhnya pun dimulai.
“Tahun 1997. Adalah tahun dimana kami tumbuh menjadi seorang remaja. Ditandai dengan kegiatan wajib dimasa remaja yaitu mengikuti penataran P4: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Salah satu kegiatannya menyanyikan lagu-lagu daerah seperti tadi. Yah, kami remaja yang asal-asalan sekolah, tak pernah juara kelas dan sedikit nakal, juga manja….”
Dari dialog di atas, kita dibuat berada pada pusaran pemerintahan Orde Baru Soeharto. Masa di mana suara-suara dibiarkan begitu saja bahkan dibungkam dan dipangkas habis-habisan apabila tak sesuai dengan keinginan penguasa saat itu.
Dalam konteks ini, ingatan pun akan meluncur pada tokoh-tokoh pejuang reformasi seperti Gus Dur, Megawati, Akbar Tanjung, Amien Rais dan sebagainya. Fokus utama bayangan kita, boleh jadi adalah mahasiswa yang kala itu merupakan roda penggerak dalam menggulingkan kekuasaan Soeharto.
Namun dalam pentas “Energi Bangun Pagi Bahagia”, hal tersebut tampaknya hanya jadi wacana saja. Andy SW sebagai penulis, sutradara sekaligus pemain terlihat menjauhkan diri dari hingar-bingar reformasi.
Persoalan yang diangkat justru adalah orang-orang yang menjadi figuran dalam masa-masa reformasi saat itu yakni, para pedagang; kaum pinggiran yang sebenarnya menjadi sumber daya masa dalam melakukan demo besar-besaran.
Siapa yang menyuplai kebutuhan para pendemo? Kostum, alat propaganda, bahkan makanan dan minuman? Atas nama apa para reformis tersebut memperjuangkan bangsa? Ke mana mereka sekarang? Adakah kemudian yang berubah ketika para pejuang reformasi berhasil menggulingkan kekuasaan?
Tokoh Frank, Bob, dan Bass adalah representasi masyarakat pinggiran yang tak pernah tercatat dan cederung dilupakan oleh sejarah. Andy SW tampak begitu pasih membicarakan persoalan ini.
Tokoh Bass yang diperankannya diceritakan sebagai seorang anak yang bersahabat dengan sebuah patung, yang kemudian diusir oleh ibunya lantaran kemiskinan. Tokoh Frank yang diperankan oleh Dinarto Ayub Marandhi a.k.a Odon adalah anak haram yang muak pada ayahnya, tak mengakuinya sebagai putra sendiri. Sedang Bob yang diperankan oleh Yudhi ‘Becak’ adalah anak yang ditinggal mati neneknya yang selanjutnya bercita-cita untuk mati muda.
Di tengah kegelapan yang menghimpit inilah, mereka bertemu menjadi sahabat yang tak pernah lepas dalam keadaan apapun, dalam suasana apapun, sampai hayat dikandung badan.
Dagelan Para Badut yang Menyisakan Tanya
Kehidupan Frank, Bass, dan Bob dimunculkan melalui fragmen-fragmen kecil. Penonton dibiarkan menjalin cerita-cerita menurut interpreasinya masing-masing. Menariknya, hampir semua adegan hanya dimainkan dengan duduk di atas kursi panjang. Dengan mimik wajah, gerak tubuh yang menyerupai pantomime, serta bahasa-bahasa yang kadang komunikatif, kadang oratoris dan banyak pula yang puitis silih berganti saling menjalin, menghantarkan imajinasi penonton ke berbagai ruang, tempat, waktu, dan suasana psikologis yang dihadapi para pemainnya.
Melihat pentas ini, seperti melihat film anak-anak semacam Spongebob dengan satire yang begitu kuat bertaburan di atas pentas. Para tokoh tertawa, penonton tertawa, sedang kita tak tahu apa sebenarnya sebab kita tertawa. Apakah kita benar-benar tertawa karena permainan tokoh, atau sebenarnya kita menertawai diri sendiri.
Atau jangan-jangan kita tak tahu apa sebenarnya yang kita tertawai. Sebagaimana kita tak pernah tahu, apakah kita berada ruang yang berbeda dengan posisi Frank, Bass, dan Bob yakni sebagai yang menertawai dan yang ditertawai, tokoh utama dan figuran. Atau berada di tempat yang sama, yakni sama-sama menertawai diri sendiri, sama-sama menjadi figuran di tengah wacana besar para penguasa.
Hanya di atas pentas inilah, Frank, Bass, dan Bob mempunyai kesempatan untuk berdialog seenaknya. Ini ditunjukan dalam pilihan bloking yang kebanyakan mengahadap penonton. Boleh dikata, kontak antar pemain cenderung minim. Bangunan dramatik, proses aksi reaksi dalam panggung justru lebih banyak diperuntukan oleh pemain pada penonton. Frank, Bass, dan Bob seolah berpidato, sekaligus mengadu, curhat, dan sejenisnya.
Begitu kocaknya para aktor memainkan peranannya, membuat penonton terpingkal-pingkal dengan tingkah polah yang dilakukan. Nada-nada dialog dimainkan begitu naif. Penonton seolah melihat tiga badut lugu yang mengoceh tentang segala hal yang ada dalam benak mereka. Entah hal itu memang penting adanya. Atau sebenarnya cuma omongan ngarul gidul yang sifatnya personal bahkan tak begitu berarti di hadapan publik.
Di mata masyarakat luas, pertanyaan semacam benarkah awan warnanya putih, seorang yang menjadikan patung sebagai teman mereka, ayah yang tak peduli pada anaknya, apakah kejahatan yang berasal dari hati nurani, hanyalah bualan dari orang-orang kesasar yang tak punya kerjaan. Dalam lingkungan yang materialisitik, orang-orang yang mengalami dan mempertanyakan hal yang serupa dengan tokoh-tokoh ini tak pernah memiliki ruang untuk mengadu. Namun disaat yang sama tetap saja ada dan hidup sebagai kaum subhaltern bahkan boleh jadi, bagi masyarakat kebanyakan hanya menganggapnya sebagai fiksi belaka.
Kursi panjang dengan senderan yang menjadi tempat Frank, Bass, dan Bob untuk duduk sepanjang pentas, boleh jadi simbol yang dibuat sebagai wadah mereka tinggal, berkumpul, melakukan adegan dan dialog, sekaligus menggenapi kesepian ataupun masalah personal yang ada dalam diri mereka. Sedang lagu-lagu daerah yang selalu mereka nyanyikan setiap kesempatan merupakan satu-satunya hal yang menjadi sumber hiburan.
Di satu sisi, lagu-lagu itu menunjukkan semangat pemerintah dalam mengukuhkan kesatuan bangsa serta menjadi simbol perhatian terhadap orang-orang daerah. Di sisi lain, persoalan modernitas menjadi sesuatu yang krusial. Yang memaksa masyarakat beripikiran materialistis, menjadi agen pariwisata yang kodrat sejatinya serupa babu.
Secara tidak langsung, hal ini semakin memperlebar jarak antara si kaya dan si miskin, si pusat dan pinggiran, si kota dan daerah. Frank, Bass dan Bob yang senantiasa bernyanyi lagu daerah hanyalah manusia biasa, yang tak punya prestasi apapun untuk dihadapankan pada khalayak ramai.
Apa yang dibanggakan dari pemain teater, sebagaimana yang dicita-citakan oleh Frank? Apa yang dibanggakan dari penyair yang diimpikan oleh Bass? Di antara cita-cita ini, mungkin yang boleh berbesar hati hanyalah impian Bob yang menginginkan cepat-cepat mati muda tanpa bunuh diri.
Pertanyaan yang muncul kemudian, orang sepenting apakah Bob hingga ada yang sudi mengotori tangan untuk membunuhnya? Tak ada. Sampai tiba suatu saat, di mana mereka berjualan slayer di tengah pendemo yang ingin menggulingkan kekuasaan Soeharto, Bob terus saja berteriak, “Hidup Soeharto!”
Namun tetap saja, tak ada yang peduli, apalagi membunuhnya. Di sini terlihat betapa suara mereka tak mempunyai nilai sama sekali. Mereka adalah wacana kecil yang kerap dianggap tak ada, tenggelam dalam persoalan wacana besar yang lalu lalang di tengah kehidupan mereka.
Untuk menjadi ‘ada’ mereka harus duduk bersama-sama sampai hayat dikandung badan. Bahkan, saat mereka berseberangan pendapat, Bob yang sudah frustasi dengan kehidupan yang mereka jalani, membunuh orang-orang yang menghinanya. Frank dan Bass dengan sukacita menerimanya kembali. Adegan ditunjukkan dengan menebas gedebong pisang yang turun dari atas. Hal ini jadi sangat menarik karena efek aroma getah pisang yang menyebar ke mana-mana.
Begitu sederhananya pembunuhan. Peristiwa ini juga menunjukkan betapa darah manusia tidaklah seamis darah binatang. Ia bisa jadi menyejukkan dan menyegarkan bagi sang pembunuh sebagaimana aroma getah gedebong pisang yang berceceran sekitar panggung.
Puisi-Puisi yang Terus Bergerak
Begitu banyaknya puisi-puisi yang ada dalam pementasan ini layaknya tak bisa dilepaskan dari buku puisi terbaru Andy SW “Energi Bangun Pagi Bahagia”. Sebagaimana yang diakui oleh Andy, bahwa teater yang dibuat adalah alih wahana dari buku puisinya sendiri. Saat menerbitkan buku puisi, saat itu pula ada niatan untuk membuat pentas. Karena itulah, di samping pentas teater, juga diisi oleh acara diskusi buku puisi “Energi Bangun Pagi Bahagia”.
Di Kampus Bawah Undiksha, Singaraja, puisi Andy SW dibedah oleh I Made Astika, S.Pd., M.A. Diskusi sendiri dimoderatori oleh I Gede Gita Wiastra. Meski jalannya diskusi sempat terhambat karena hujan, hal ini tak mengganggu apresiasi penonton terhadap acara.
Dalam pemaparannya, Astika beranggapan bahwa puisi “Energi Bangun Pagi Bahagia” Andy SW justru membuat dirinya jauh dari dunia yang bahagia. Ini dapat dilihat dari keutuhan/kastupaduan puisi-pusinya yang longgar, penyikapannya tentang metafora, serta usaha dalam membebaskan diri dari tekanan makna kata-kata sebagaimana yang terjadi dalam puisi-puisi bergaya postmodern.
Hal yang serupa diungkapkan pula oleh Ni Ketut Sudiani sebagai apresiator dalam acara diskusi buku puisi yang dilakukan di Phalam Batik, Tohapati, Denpasar. Meski mengamini perihal kepadatan isi puisi dan keketatan pemilihan diksi, puisi-puisi Andy mempunyai daya visual yang cukup kuat. Ini tentu tak terlepas dari latar belakang Andy SW sendiri sebagai seorang seniman teater.
Puisi-puisi Andy tak hanya bergerak sebatas alih wahana antara puisi dan pentas saja, melainkan bergerak antarkota dengan para pembicara dan ruang yang berbeda. Jika dikaitkan kembali dalam pentas, tampak pula ada perbedaan dalam penyikapan ruang yang dipilih Andy SW sebagai tempat pentas.
Jika di Singaraja pentas diselenggarakan dalam basement kampus bawah yang cenderung menimbulkan gema saat bersuara, dalam pentas di Denpasar, Andy SW berada dalam ruang lapang yang justru menenggelamkan suara mereka. Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat, saya pribadi belum menemukan pembacaan interteks yang ingin disampaikan, keterkaitan pilihan tempat yang berbeda terhadap teks dalam pentas itu sendiri.
Apakah Andy SW dkk ingin mengungkapkan, bahwa apa yang dialami oleh tokoh Frank, Bass, dan Bob bisa terjadi d imana saja, kapan saja, oleh siapa saja? Ataukah semacam tawaran artistik yang sangaja menyisakan lapisan ruang buat merenung dan bertanya bagi penonton masing-masing?
Entahlah. Satu hal yang pasti, sebagaimana yang dikatakan Andy SW dalam diskusi di Singaraja dan Denpasar, “Buku Puisi (Energi Bangun Pagi Bahagia) saya itu, ga usah dibaca dalem-dalem. Bukannya bahagia, tapi malah jadi sedih”.
Itu pula yang saya jumpai pada tokoh Frank, Bass, dan Bob yang senantiasa tertawa. Di saat yang sama, meninggalkan ketakutan untuk menjadi manusia yang biasa-biasa saja. Bangsat kau, Bass! (T)
Singaraja, 2017
Baca juga: Tumbuh Bersama Puisi – Ulasan (Lagi) Buku Puisi Andy Sri Wahyudi
Juga baca : Puisi yang Gagal Membuat Pembacanya Bahagia – Ulasan Buku Puisi Andy Sri Wahyudi