“Ma, melali yuk, ke Yogja, nyingakin Malioboro, bek ade hiburan ditu, sesekali refresinglah,” ajak seorang anak muda Bali kepada ibunya
“Nyen men orin mebanten yen Mama liburan, dadong di Solo?” sahut mamanya ketus sambil melanjutkan pekerjaannya.
***
PERCAKAPAN di atas merupakan satu di antara ketakutan sejumlah orang Hindu-Bali jika meninggalkan rumah terlalu lama, khususnya kaum ibu-ibu. Ida Sang Hyang Widhi Wasa, leluhur di merajan beserta dewa-dewa yang setiap hari dihaturkan banten akan marah kalau rutinitas mebanten tidak dilaksanakan.
Karena orang Bali percaya jika sampai leluhur marah apapun jalan yang dikehendaki akan selalu menemui kesusahan. Mau tidak mau, bagaimanapun keadaannya, mebanten kegiatan multak, tidak ada tawar-menawar. Harus.
Di Bali, ada satu tipe ibu-ibu menarik dan patut dipertahankan keberlangsungan hakikat hidupnya, yaitu ibu-ibu yang bekerja di perusahaan swasta atau memilih membuka perusahaannya sendiri. Kendati mengejar karir dan omzet penjualan, mereka tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga.
Bisa dibayangkan akumulasi pekerjaanya, mulai dari urusan banten (dari pra sampai pasca), mengurus anak sekolah, melayani suami minimal membuatkan kopi di pagi hari, hingga remeh temeh menyama braya, belum lagi pekerjaan di kantor yang menuntut kredibilitas dan profesionalitas kerja.
Setiap hari tipe ibu-ibu ini bangun lebih pagi dari anak dan suaminya. Ia seolah menjelma tentara untuk menyisir pasar mencari keperluan keluarga. Semisal bumbu masak, sayur, daging, janur, jaje banten, jaje Bali untuk kudapan, sarapan pagi dan lain sebagainya. Cepat, tepat dan efisien waktu, bila perlu menghunus bayonet jika ada yang menghalang. Sesekali mereka saling adu mulut dengan sesama kaumnya, meminta pedagang agar melayaninya terlebih dahulu.
“Selag je tiang sik neh, sampun tengai niki, durung ngudiang-ngudiang.” Itu kalimat yang sering saya dengar, jika mereka ingin didahulukan. Apa boleh buat, pasrah saja, daripada kena tusuk bayonet, atau kena semprot gas air mata. Bahaya melawan ibu-ibu tipe ini di pagi hari. Ibarat membangunkan singa yang sedang tidur pulas di atas kasur King Koil.
Sesampai di rumah ia menjadi seorang multitasking, memasak, nanding banten, mebanten, membersihkan rumah, hingga sarang bertanya sang anak atau suami jika barang yang ingin dicari tidak ditemukan. Syukur anggota lain berinisiatif membantu pekerjaan di pagi hari tersebut.
Saya jadi ingat ketika SD saat bertugas mebanten keliling, di lingkungan rumah, serta sejumlah pura. Sering kali saat itu saya hanya menaruh banten saiban lalu ngayabin sekadarnya, karena takut, suasana masih gelap jam 05.00 wita, Broo. Sing ade nak bangun jam monto, kalau saya diterkam sesuatu gimana, atau melihat yang tidak sepantasnya dilihat? Sereeem…
Kembali lagi ke topik. Jika semuanya telah selesai, barulah ibu tipe ini mempersiapkan dirinya. kadang kala berias pun dilakukan terburu-buru, sebab waktu kian menghimpit. Belum lagi ada berkas kerjaan yang harus dibawa ke kantor.
Sepulang kerja, pekerjaan rumah tangga tak hentinya menghantui, mebanten sore hari, mengurus baju kotor, masak untuk makan malam, mengajarkan anak, dan lain lain. Itu baru rutinitas sehari-hari, belum jika ada rahinan namun kantor melarang mengambil libur. Tentu pekerjaan akan berlipat ganda, berkali lipat.
Pantas saja dadong di solo selalu menjadi kambing hitam, jika ibu-ibu ini mengambil pekerjaan tambahan di luar rutinitasnya. Contohnya berlibur. Apalagi jika berkaitan dengan yang “diatas”, jangan dipalas. Oh ya kiasan dadong di Solo semacam kelakar yang berarti kemustahilan, ketidakmungkinan.
Memang benar kepanjangan Bali, BAnyak LIbur. tapi libur orang Bali bukan libur ala orang Eropa, yang mengalokasikan waktunya untuk mengunjungi tempat-tempat baru. Libur orang Bali tidak jauh-jauh dari urusan adat, agama dan menyama braya.
Tapi bagi orang Bali hal tersebut juga berlibur ketemu sanak keluarga dari segala penjuru, kemudian maceki, minum tuak hingga teler. Esensinya sama kan, bersenang-senang.
Kaum ibu pekerja memang tidak pula ikut teler minum tuak, tapi mereka sibuk mengurus segala kebutuhan sesaji, jangan dianggap remeh hal tersebut. Sebab di Bali ibu-ibu harus menghafal banyak bentuk banten, sampian, serta detail-detailnya.
Mama saya saja membawa sejumlah catatan dari mertuanya untuk membuat sejumlah banten. Tapi ketika saya tanya, apa maknanya. Jawabnya pasti pendek, “mule keto catatanne”. Jawaban pamungkas, tidak boleh ditanya lagi, hasilnya akan sama.
***
Jika ditelisik lebih jauh, apakah benar Tuhan, leluhur, serta dewa-dewa yang kita puja setiap hari itu memberatkan. Apakah mungkin mereka (sugra pakulun) menebar ketakutan kepada umatnya, sehingga rutinitas mebanten setiap hari dilaksanakan. Jadi, mebanten bukan lagi korban suci tulus ikhlas yang dilakukan dengan kidmat, tapi karena alasan ketakutan, takut kena musibah, takut tidak direstui, takut rezeki tidak lancar, dan alasan takut lainnya.
Tidak adakah pengecualian bagi kaum ibu-ibu pekerja untuk meliburkan diri dalam urusan mebanten tersebut. sehingga mereka bisa liburan ke Gunung Bromo misalnya melihat kehidupan Suku Tengger yang beragama Hindu dengan tata cara adat yang lebih sederhana. Sekalian studi bandinglah bedik.
Ada seorang kawan pernah bercerita tentang tetangganya yang tidak lagi mebanten saiban ke sejumlah tempat yang seharusnya. Tetangganya itu hanya mebanten di merajan dan di dapur, sejumlah tempat yang diangap penting.
Yang terjadi adalah istrinya sakit, dan keluarganya banyak masalah, serta bisnisnya tidak lancar karena sang istri jatuh sakit. Hal tersebut dikaitkan sedemikian rupa hingga menjadi masuk akal, bahwa kalau tidak mebanten musibah akan datang.
Ratu Bethara, kok ada manusia berfikir sesempit itu. Tidak semua hal mesti dikaitkan ke dunia irasional. Bukankah sakit masalah medis, dan dapat ditelaah penyebabnya. Sementara urusan mebanten keyakinan masing-masing setiap individu, jadi tak perlu disoalkan dan digosipkan di ranah publik.
***
Kalau ada ibu-ibu pekerja yang keluar kota, pastilah urusan kantor, atau urusan bisnis. Ia menitipkan urusan mebanten kepada suami atau anak-anaknya. Yang penting kegiatan banten-mebanten berlangsung tanpa dirinya. Tidak jarang sang ibu akan menelepon suaminya untuk menanyakan “sudah ngatur rarapan, sudah mebanten, sudah ngatur kopi di tugunkarang”. Bukan menanyakan hal yang lebih kontekstual misalnya sekolah anaknya, perkembangan anaknya di sekolah hari itu, makanan suaminya, atau apapun-lah.
Beberapa ibu yang memiliki usaha sendiri menjelaskan kepada saya, ia sedikit memikirkan kualitas pendidikan anaknya, sibuk untuk bekerja agar bisa maturan, mebanten setiap hari, membuat prani (gebogan) saat Galungan, singkatnya urusan agama dan adat nomor satu. Jadi urusan lainnya tidak menjadi prioritas, apalagi liburan.
Untuk itu dalam rangka menyambut Hari Ibu ini, saya sarankan bagi para suami, siswa, mahasiswa, kaum pekerja atau siapapunlah yang masih memiliki ibu di rumah, khususnya tipe ibu-ibu yang saya jelaskan di atas. Akuisisi semua pekerjaannya lalu ajak jalan-jalan ke tempat yang belum pernah ia kunjungi. Bila perlu keluar kota. Sampaikan jika ia khawatir, pekerjaan rumah sudah di-handle seseorang termasuk urusan mebanten.
Kalaupun Anda berbohong, saya yakin Tuhan, leluhur dan dewa-dewa tak akan marah. Mereka pasti memakluminya. Cepok gen, sing engken kok. Hehehehehe.
Selamat Hari Ibu. (T)