LEWAT di depan warung, di sebuah desa di Jembarana, orang-orang Indonesia yang sedang ngopi masih membicarakan semifinal Piala AFF 2016, Indonesia lawan Vietnam, yang mereka tonton di TV, Rabu (7?12) malam. Kebanyakan dari mereka memuji Vietnam, dan kerapkali mengejek permaianan Indoneisa.
Tapi semua itu mereka ungkapkan dengan senang. Karena Indonesia mujur dan masuk final. “Garuda di dada, Vietnam di hati,” begitu kata seseorang sebelum nyiup kopi – mungkin mengutip salah satu komentar dalam status facebook.
Indonesia hanya perlu mendapat hasil imbang atau paling buruk minimal kalah 3-2 untuk bisa lolos ke final. Kalau menang, ya lebih bagus lagi. Bagaimanapun, kemenangan 2-1 di Pakansari pada leg pertama sudah jadi modal berarti, apalagi menghadapi tim sekelas Vietnam.
Tim yang kemajuannya bak roket, jadi begitu diperhitungkan meski hanya level Asia Tenggara. Hanoi tampak bergemuruh. Suporter tuan rumah tumpah ruah menyesaki tribun. Tentu saja, Vietnam akan main bak kerbau gila bin kepanasan, demi meraih kemenangan.
Di pihak Indonesia, grogi sedikit saja akibat suporter bah itu, bola bakal menembus jala sendiri. Hmmm, sudah diduga. Vietnam galak sekali, meneror di sepanjang laga. “7 hari 7 malam terornya”, begitu kata komentator salah satu stasiun televisi yang belakangan terkenal akibat intonasi dan diksi nyentriknya. Untunglah tidak seribu satu malam, memangnya Abunawas! Atau satu malam seribu candi, Loro Jonggrang lah jadinya.
Sial sekali, Indonesia hanya bisa bertahan, menahan perihnya disakiti skill-skill individu, kolektivitas dan kecepatan para pemain Vietnam. Sungguh, super defensif Indonesia vs ultra ofensif Vietnam.
Sesekali Indonesia melakukan serangan balik, selebihnya ya kebanyakan salah passing dan cepat hilang bola. Pokoknya seperti parkir bus. Tak ada bus, bajaj atau metromini pun jadi. Beruntung, di sela antara badai petir tornado bernama Vietnam itu, Indonesia berhasil mencetak 2 gol lewat cocoran kaki Stefano Lilipaly dan penalti Manahati Lestusen.
Yang ajaib tentu Vietnam. Bermain dengan 10 orang akibat kipernya dikartu merah, plus bek yang ngelekas alias berubah raga jadi kiper akibat habisnya kuota pergantian pemain, Vietnam tetap mampu bermain bak kesetanan dan dengan heroik berhasil bikin 2 gol. Tak ketinggalan, wasit juga jadi sorotan pada laga ini, akibat keputusan kontroversialnya yang membatalkan satu penalti untuk Indonesia.
Ah, tak bisa dibayangkan kalau ini terjadi di Indonesia. Bisa jadi kepala wasit akan berubah jadi bola, atau bahkan jadi tong sampah karena dilempar botol air mineral. Paling buruk bisa-bisa kepala sama kakinya misah (seperti kata Alm. Kasino Warkop).
Melalui perpanjangan waktu, skor akhir 2-2, agregat 4-3. Indonesia melenggang ke final AFF 2016, menunggu lawan Thailand atau Myanmar.
Barangkali terasa tak adil bagi Vietnam, karena permainan mereka sungguh luar biasa. Tapi itulah sepakbola. Masih ingat timnas Portugal di Euro beberapa waktu lalu? Nah begitulah. Semoga di final, Indonesia masih dinaungi bau harum Sang Dewi Fortuner, eh, Fortuna.
Yaa, terlepas dari itu, setidaknya semangat dan perjuangan itu sudah terasa. Terasa memenuhi sanubari tiap-tiap individu publik negeri ini. Negeri yang belakangan gerah didera wabah pertentangan politik bercampur agama.
Indonesia memang harus menang, meski “diserang 7 hari 7 malam”. Kemenangan itu bisa memberi kekuatan bagi seluruh warga Indonesia karena telah memberi vibrasi yang sama bagi warga yang berbeda-beda agama dan keyakinan politik ini. Mungkin peserta dan pendukung aksi 212 pada Rabu malam itu memanjatkan doa yang sama dengan peserta dan pendukung aksi 412.
Umat Kristiani di Bandung, setelah acara kebaktian mereka dibubarkan oleh ormas tertentu mungkin juga memanjatkan doa yang sama dengan yang dipanjatkan anggota ormas yang membubarkan acara kebaktian mereka. Doa yang sama untuk kemenangan tim Indonesia.
Untuk itulah Indonesia harus menang, demi membuktikan bahwa kita masih memiliki sejumlah hal yang sama, di luar agama dan keyakinan politik. Indonesia harus tegak berdiri, agar kita tetap bisa melihat keajaiban.
Jika Vietnam ajaib karena dengan 10 pemain bisa memporak 11 pemain, Indonesia juga bisa disebut ajaib. Ingatlah, hampir 1,5 tahun tim sepakbola Indonesia vakum akibat sanksi FIFA. Ketika AFF tiba, liga kopi malah tetap bergulir, sehingga tiap klub yang ada hanya bisa menyumbang maksimal 2 pemain saja. Nama-nama seperti Raphael Maitimo, Johan Alfarizi, dan Sergio Van Dijk tak bisa memperkuat timnas akibat hal itu. Skuat jadi amat terbatas.
Persiapan pun cuma kurang lebih 2,5 bulan. Wajar saja kalau lantas pelatih Riedl berkata, “Saya tak peduli kritik”. Nyatanya, timnas memang lebih instan daripada mie. Entah itu Thailand atau Myanmar yang mesti dihadapi di final, entah akan juara atau tidak, Indonesia sudah bisa berbangga hati. Tak ada yang pasti, apapun bisa terjadi dalam sepakbola selama mau berjuang.
Peterpan pun bisa berubah jadi Noah dan lagu-lagunya bisa meledak meski sebelumnya Ariel disanksi oleh FIFA. Eh! Eh, sori. (T)