SELAIN alunan syahdu musik pengiring, terdengar pula deras sungai mengalir, suara katak saling bersahutan, desis angin mendesing di antara bisik daun. Itu terdengar saat pementasan Schizoprenia karya Kadek Sonia Piscayanti oleh teater Creamer-Box asal Bandung, di Tukad Abu Jalan Cekomaria, Gang Margot, Denpasar, Rabu 30 November 2016. Begitu khusyuk atmosfer pementasan malam itu.
Sesekali tiga anjing menyalak bersahutan ketika penonton datang hendak mencari tempat duduk. Di sisi penonton gelap, latar belakang panggung hanya pekat bayang hitam sejumlah pohon yang menjulang (entah itu pohon kelapa, pohon bambu, pohon beringin, nggak jelas saya tahu). Bulan dan bintang tampak diselimut awan, tidak ikut nimbrung nampaknya.
Pencahayaan hanya satu, bersumber dari cahaya proyektor yang menghujam ke bawah tepat menyiram tubuh sang aktor, Nandy Rahmatuloh alias Odoy. (Persis seperti adegan Mr. Bean jatuh dari langit, kan di sorot lampu tuh!?)
“Now, I know who I am, I am sick. I am sick and I am different. I am man with nothing to show or to prove. I am a monster. I will kill the monster in myself. I will kill you”
Kalimat berbahasa Inggris di atas adalah satu di antara lafal yang diucapkan berulang kali oleh sang aktor. Waktu itu Odoy mengenakan setelan pakaian berwarna putih pudar yang mengesankan seperti pasien rumah sakit. Matanya menerawang, jenggotnya lantang, mukanya tirus, rambutnya terurai panjang. Saat berputar tak jarang rambutnya ikut mengawang lalu jatuh sembarang di wajahnya.
Sepanjang pementasan Odoy terus berputar, seperti tarian meditasi untuk mencari ketenangan dalam diri, sufi. Kadang suaranya meninggi, kadang juga samar tak terdengar. Mengikuti alur geraknya yang berputar cepat, kadang pula melamban. Saking cepatnya sesekali ia seolah terhempas keluar dari lingkar cahaya sorotan proyektor. Kemudian perlahan tapi pasti ia kembali menuju poros semula.
Pementasan berdurasi 40 menit tersebut juga menghidangkan video art yang menyetubuhi sang aktor. Pola garis, lingkaran, memutar, berpendar, serta paduan warna merah, biru dan hitam turut andil dalam membangun suasana serta imaji penonton untuk memasuki dunia Odoy. Ia seperti bayang-bayang masa lalu yang pernah terekam di kepala, silih berganti datang, seperti kilatan cahaya. Namun menghilang saat tempo putarnya mulai lamban.
Musik pengiring nampaknya mendapat sentuhan serius oleh sang sutradara, Bob Teguh. Bersama seorang teman karibnya, ia merancang bangunan musik yang benar-benar mampu menghadirkan suasana senada pementasan.
Berulang kali penonton dikejutkan dengan indah, oleh bunyi dengung dan lengkingan halus. Nuansa musik elekronik bercampur alat musik piano berpadu, Musik pengiring ini terasa tak lepas dari keseluruhan pementasan, hanya saja kehadirannya mampu menyesuaikan porsi. Sehingga tak terkesan mendominasi, atau hilang seutuhnya.
Seluruh kesatuan komponen ini berhasil membawa saya berziarah ke ruang Schizoprenia dengan takaran bumbu emosi yang pas. Sehingga saya tak terasa terbawa arus. Seringkali ketika menyaksikan Odoy berputar cepat, saya seolah hilang dari tempat duduk penonton, mengawang ke dunia alam bawah sadar lalu kembali lagi saat sang aktor berteriak lantang menyadarkan.
Sialaan benaar. Apakah itu salah satu tujuan pementasan Schizoprenia, Sama seperti mendengarkan Band Sigur Ros, asal Islandia itu? Dengan musik menyayat nan megah yang mampu menyentuh kesadaran psikologi pendengarnya? Sedasyat itukah?
Beberapa Diskusi
Setiap orang memiliki seleranya masing-masing dalam menikmati karya seni. Tak salah jika terjadi perdebatan antara penikmat dan sang peracik pementasan. Hal ini bertujuan untuk melegalkan hal-hal yang mengganjal di hati. Juga sebagai bahan referensi serta mencuri ilmu sebanyak-banyaknya, terlebih lagi Creamer-Box adalah teater yang cukup produktif berkarya dari tahun 2001.
Terus terang saya kurang setuju dengan adegan pembuka pementasan tersebut. Seusai Bob Teguh, sang sutradara yang berpenampilan sederhana itu menutup kata sambutannya, sang aktor langsung beraksi tanpa jeda mempersilahkan penonton untuk bersiap. Kampret bener dah!
Saya datang dengan kepala penuh isi, dengan kepala yang tidak kosong melompong, masak pementasanya dimulai seperti itu. Maksud saya kenapa sutradara tidak memberikan jeda sekitar 10 detik agar penonton duduk rapi serta dengan sadar memahami pertunjukan akan dipentaskan.
Saya kelabakan mengambil smartphone, untuk mencatat, untuk merekam beberapa kalimat, bahkan sekedar minum air pun saya tak sempatkan. Seolah penonton langsung diseret terjun ke jurang, tanpa ancang-ancang.
“Begitulah Schizoprenia, saya tidak memberikan jeda pada penonton untuk bersiap. Karena penyakit ini juga seperti itu, menyerang siapa saja, kapan saja, secara tiba-tiba, semua orang berpotensi,” papar Bob Teguh dengan bersemangat.
Kejengkelan saya langsung sirna, saat mendengarkan penjelasan singkat yang dipikirkan dengan matang itu. Rupanya Bob mencoba menghadirkan Schizoprenia dengan serius, detail, tidak premature.
Ia menjelaskan semua adegan memiliki alasan serta hukum sebab akibatnya. Misalnya seperti gerakan monoton berputar, itu adalah gejala awal bagi pengidap Schizoprenia yang bersangkutan akan merasa berputar-putar lalu pusing.
Pusing ini akibat dari aktifitas berhalusinasi, melamun yang berlebihan. ketika berimajinasi nafas akan terhenti, sehingga pasokan oksigen ke otak berkurang, inilah yang menyebatkan kepala menjadi sakit, malah sakitnya ada yang tak tertahankan.
Sembari merokok santai Bob menambahkan jauh sebelum menggarap naskah Schizoprenia, dirinya pernah melakukan pendampingan serta terapi terhadap penderita sakit jiwa melalui kesenian teater. Di lapangan ternyata banyak perlakuan yang kurang baik kepada mereka pengidap penyakit jiwa. Terutama masyarakat luas yang menganggap orang Schizophrenia pasti orang gila.
“Terapi untuk pengidapnya bisa kita kerjakan perlahan, selanjutnya terapi keluarga, lalu yang paling sulit adalah terapi masyarakat, susah sekali menjelaskan dan meluruskan stigma yang dianggap buruk,” jelasnya menggebu saat sesi diskusi lesehan berlangsung.
Kembali lagi ke ulasan pementasan. Dari segi keaktoran saya menyoroti beberapa hal semisal penjiwaan Odoy, aktor tunggal yang berperan sebagai penderita Schizoprenia. Ekspresi wajah yang nun, hampa, kosong mampu menghadirkan sosok pengidap yang sebenarnya, ditambah lagi perawakannya yang kurus, wajahnya tirus, rambut panjang, serta jenggot lantangnya, seolah membabtis Odoy memerankan pengidap Schizoprenia.
Apalagi ketika dia berteriak menyalak mencoba membunuh monster yang bercokol di kepalanya. Sungguh ekspresi yang kuat. Tapi sayang bahasa Inggris yang dilafalkan Odoy kadang tak terdengar jelas, terhalang artikulasi, serta pelafalan yang membuat saya sedikit bingung. Seringkali ketika ia setengah berbisik, saya harus mendekatkan telinga ke sumber suara.
Bob nampaknya tidak menjadikan Odoy seorang ayah, seorang ibu, atau seseorang-seseorang lain yang menjelma di imajinasinya. Lebih kepada menghadirkan kegelisahan, kebingungan, kebimbangan, atas kehadiran mereka. Dialog pun tak jauh dari seputaran siapa dirinya sebenarnya, apakah ibu, ayah, atau monster, atau ia sendiri bukanlah produk nyata.
Satu lagi yang saya heran, seberapa besar stamina Odoy, sebab ia kok kagak muntah yah, 40 menit muter-muter terus. Ya walaupun kadang ada gerak lambat sih, tapi tetap saja berputar. Pasti nganggo sabuk ye to. Hehehe.
Menurut Silvester Petara Hurit olah tubuh di atas kewajaran merupakan salah satu ciri pementasan teater ini, bahkan dalam garapannya Underdog The End (2003) para aktornya seperti tengah main sirkus, bergerak seperti kutu loncat. Begitu tulisnya di website resmi Yayasan Kelola. Jadi wajar saja Odoy tak mengeluarkan isi perutnya, mungkin pementasan ini termasuk yang sederhana dibanding pementasan lainnya.
Beberapa penonton tidak setuju atas pencahayaan yang dihasilkan oleh video art. Karena itu mengurangi kekuatan penghayatan sang aktor. Karena dengan lampu konvensional ekspresi aktor lebih kentara, lebih jelas hadir di hadapan penonton. Jika dengan video art ada ruang gelap yang tak tersentuh cahaya.
“Sekarang ini apapun bisa diciptakan lewat animasi macam seperti itu, tapi yang ingin dicapai kan keaktorannya. Itu yang tidak dapat dibuat oleh teknologi zaman sekarang,” kata Hendra Utay aktivis teater Denpasar yang hadir dengan seruling kesayangannya.
Menarik juga sih pernyataan Utay. sah–sah saja. Tapi di sisi lain pementasan seperti ini adalah ruang kontemporer yang kian marak di kalangan dunia teater. Saya pribadi cukup puas dengan kehadiran bentuk pementasan Creamer-Box, Mewakili sisi kemajuan dunia global sekarang ini. Tak apalah dihujat sebentar, demi bentuk-bentuk yang lebih absurd tapi tak melupakan akar begitu saja.
Teater Rumahan
Konsep pementasan Schizoprenia sangat sederhana dan militan seperti gerakan-gerakan gurem melawan arus dominan (nyak serem bahasane?). Hehehe.
Pementasan dilaksanakan di sebuah rumah yang berdampingan dengan sungai. Untuk mencapai tempat itu, kita memasuki gang Margot yang hanya cukup di lalui satu mobil. Di caption yang beredar di media sosial dijelaskan, tempat pementasan Gang Margot Paling Ujung, Denpasar. Kurang marginal apa coba?.
Panggungnya di halaman beralas paving, beratap langit, sementara penontonnya duduk santai di sofa, di kursi kayu, selonjoran dan duduk bergerombol di lantai. Penonton yang datang nampaknya orang-orang yang berkecimpung di dunia kesenian.
Terbukti saat pementasan dimulai mereka semua diam, membeku kayak mengikuti mannequin challenge yang lagi viral itu. Penonton yang datang pun tak lebih dari 50 orang, hadir pula beberapa orang ras Kaukasoid bercampur baur di kerumunan penonton pribumi. Menarik.
“Pementasan ini memang cocok untuk bentuk teater rumahan, sama seperti pemilik rumah ini dulu, yang suka berteater di sudut rumah mana saja. Misalnya di tengah sini (menunjuk bagian tengah tempat diskusi) bisa disorot lampu satu saja, dan main di sana, jadi sudah,” tambah Utay menyela sesi diskusi yang saat ini mengaku bertapa untuk memikirkan garapan pementasan selanjutnya.
Tapi sayang pementasan Schizoprenia ini tidak ditonton oleh mereka para pengidapnya, atau kawan-kawan yang berkecimpung di gerakan serupa, seperti aktivis, psikiter, pendamping pasien atau lembaga terkait. Padahal isu Schizoprenia gencar didengungkan di Kota Denpasar akhir-akhir ini, terkait perubahan jaminan kesehatan mereka. Semoga pementasan selanjutnya dapat diundang secara khusus.
Satu lagi ke mana para punggawa teater SMA yah? Anak Angin Smansa Denpasar, Anak Topenk Resman Denpasar, Anak Teater Tiga Trisma Denpasar, dan penggiat teater lainnya.
Padahal ini pementasan dari teater luar, kan menarik sebagai bahan referensi. Agar tak terlalu sibuk untuk urusan internal doang. Malah kawan saya yang sedang studi di Singaraja, nekat menembus malam, pulang pergi hanya untuk menonton, diskusi serta menjalin silahturahmi. Yaaaah mungkin bagi anak-anak SMA teater bukan jadi pilihan jalan hidup, tak ada uangnya… hahahahaha… (mengheningkan cipta). (T)