MOTOR, siapa sih yang tidak tahu apa itu motor? Lah, motor digunakan untuk sarana transportasi untuk mencapai tujuan. Lalu bagaimana kaitan sepeda motor dengan anak Sekolah Dasar (SD)? Mungkin bayangan kita akan terlintas seorang anak yang dibonceng oleh orang tuanya pergi ke sekolah atau pergi ke suatu tempat. Benarkah seperti itu? Saya rasa tidak sepenuhnya demikian.
Pernahkah melihat seorang anak bau kencur menaiki sepeda motor dengan gayanya yang songong seolah menjadi pembalap motor GP? Mungkin tidak semua orang pernah namun itulah yang terjadi, mungkin tidak di kota besar seperti Denpasar. Namun di pelosok desa itu lumrah.
“Hah? Lumrah? Yang benar saja!?”
Sebagian orang akan mempertanyakan, benarkah itu ada? Ada buktinya? Tidak semua kok seperti itu? Saya akan menjawab “Ya itu ada, cobalah kapah-kapah melali ke desa. Benar tidak semua, tapi ADA”
Bagaimana fenomena ini bisa terjadi? Saya rasa ini kompleks, begitu kompleksnya sehingga banyak aspek yang dapat menjadi landsaran terjadinya hal ini. Namun ada aspek penting yaitu pertama tidak adanya sarana transportasi umum yang memadai, kedua orang tua yang membiarkan dan cenderung BANGGA anaknya bisa mengendarai sepeda motor, ketiga pergaulan lingkungan
Bayangkan, kesan pertama yang terlintas ketika seorang anak menaiki sepeda motor? Ya, tampang polos (namun tidak semua) terpaku ke depan dengan tubuh yang kecil dan kaki pendek yang notabene belum bisa menyentuh tanah alias kaki ngak nyampe. Pakai helm? “Hmmm seberapa ada helm untuk kepala anak kecil? Tentu tidak”
Jauh dari bayangan. Lalu apakah ini generasi kita ke depannya? “Saya akan menjawab, ya inilah generasi kita, harus kita akui, beginilah keadaan di masyarakat.” Lalu apakah kita akan menerima seperti ini? Ya mungkin tiap orang sudah tahu jawabannya dalam hati, namun mungkin enggan mengungkapkan.
Oke, mari kita lihat mengapa fenomena ini bisa terjadi? Mengapa seorang anak SD bisa menaiki sepeda motor hingga kadang menimbulkan kecelakaan? Ya pasti ada yang mengajari, siapa? Tentu orang dekat di sekitarnya, terutama orang tua.
Orang tua yang bangga
Bagaimana jadinya kalau orang tua malah bangga jika anaknya yang masih kecil sudah bisa mengantarkan ibunya ke pasar naik motor? Banggalah sang orang tua karena anaknya sudah menjadi anak yang berbakti.
Benarkah demikian? Jika kita lihat, jika kita pertimbangkan dengan akal sehat dan hati nurani, apakah baik mengajari seorang anak yang belum terkendali emosinya untuk mengendarai sepeda motor? Cobalah pertimbangkan kembali.
Di mana kejadian jika orang tua yang mengajarkan anaknya yang belum cukup umur untuk menaiki sepeda motor adalah tindakan yang kurang mempertimbangkan resiko ke depannya. Di mana saat terjadi kecelakaan siapa yang akan disalahkan?
Hal itu perlu kita hindari, sebagai orang yang sudah dewasa seharusnya memberikan contoh yang baik. Lah, gimana kalau orang tuanya tidak baik? Hm, berpikir lagi jadinya. Inilah kenyataannya.
Tidak ada transportasi umum
Mari kita tengok sedikit ke pedesaan, jarak SMP dengan rumah yang berkisar antara 3-5 km tanpa angkutan umum. Apa yang terlintas di benak kita? “Orang tua harus mengantar anaknya dong”.
Namun kenyataannya tidak demikian, yang terjadi adalah seperti ini “Cening ne jemak kunci e abe motore masuk nanang nu sibuk sing ngidang ngatehang” Intinya sang orang tua membiarkan anaknya untuk menaiki sepeda motor ke sekolah karena alasan kerja dan sibuk lain sebagainya. Tidakkah pernah terlintas, perkembangan anak, akhlak anak pada orang tua akan berkembang tergantung orang tuanya mengasuh.
Tidak adanya angkutan umum bukan hanya urusan orang tua dan sekolah, melainkan urusan pemerintah. Terbukti angkutan umum Sarbagita saja belum berjalan optimal, bagaimana menyasar angkutan sekolah? Inilah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, bagaimana angkutan umum sangat dibutuhkan, bukan hanya untuk transportasi namun untuk kebutuhan moral dan kebiasaan kita.
Mungkin sebagian sudah ada yang memiliki angkutan umum untuk ke sekolah. Ya, benar ada apa itu? “pick up yang mengangkut anak-anak SMP dengan jumlah penumpang dalam satu pick up 20 orang” Wow ekstrim sekali, namun inilah kenyataan kita di Bali. Tidak muluk-muluk dan inilah kenyataan. Kita perlu berubah. Bukan mengubah yang tak mungkin kita ubah, tapi mengubah POLA PIKIR kita.
Pergaulan trek-trekan
Mungkin sebagian orang tak kenal istilah trek-trekan, istilah lainnya adalah kebut-kebutan, balapan liar. Oh, yang di film Anak Jalanan itu? “Lah kok nyambungnya ke sana?” Namun saya kira ini berkaitan, bagaimana pengaruh TV ke anak sangatlah berpengaruh, bagaimana TV kita mencontohkan balapan dan akan ditiru oleh anak yang belum dapat mencerna dengan baik informasi yang ia terima.
Selain itu bagaimana pergaulan si anak dengan teman-temannya sangat mempengaruhi kejadian naik motor di usia dini ini. Mungkin tidak semua anak akan menjadi pengendara motor namun sebagian lainnya akan menjadi joki ala cabe-cabean.
Boncengannya pun tidak tanggung-tanggung bisa 2 sampai 3 ekor (eh maksud saya dua sampai tiga anak). Jadi si anak yang menjadi pengendara akan mengajak anak lainnya menjadi joki-nya. Tidak tanggung-tanggung seorang anak SD bisa mengangkat motornya bagaikan pengendara motor cross.
Percaya tak percaya inilah kenyataan di luar sana, entah kita mengabaikan atau itu bukan urusan saya. Namun mau tak mau ini memang terjadi. Kecelakaan anak di bawah umur pun tak terhitung lagi jumlahnya.
Lalu apa yang harus kita lakukan? “Ya jawabanya adalah ubahlah pola pikir kita yang membenarkan bahwa anak SD naik motor adalah benar”. Balik lagi ke keluarga masing-masing yang memberikan peranan paling utama terhadap pola kembang anak. (T)