MARILAH kita tonton proses Pilkada sebagai sebuah seni pertunjukan drama. Kita mulai dari prosesi pendaftaran pasangan calon kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) 21-23 September 2016. Prosesi itu, sadar atau tidak, adalah sebuah seni pertunjukan drama dengan kisah yang sama namun dengan bentuk berbeda-beda, dan tentu saja endingnya pastilah berlainan.
Pemain utamanya adalah pasangan calon. Penontonnya: calon pemilih atau orang di luar daerah yang tak punya hak untuk memilih di daerah itu. TV dan media massa lainnya adalah panggung.
Prosesi pendaftaran pasangan calon Ahok-Jarot di Jakarta ditonton oleh orang-orang di Indonesia, padahal calon pemilihnya hanya warga DKI. Tentu saja, karena sesuai kata banyak pengamat, Pilkada DKI itu Pilkada rasa Pilpres.
Di Buleleng, prosesi pendaftaran pasangan calon juga diperhatikan banyak warga Pulau Dewata. Padahal calon pemilihnya hanya di Buleleng. Bukan karena Pilkada Buleleng beraroma Pilpres, namun karena pada Pilkada serentak tahun 2017 ini hanya Buleleng satu-satunya kabupaten di Bali yang menggelar Pilkada. Daripada nganggur, lebih baik nonton.
Media massa sebagai panggung juga tak banyak punya pilihan kisah politik untuk dipertontonkan ke publik.
Kata-kata yang Ditunggu-tunggu
Sebagai seni pertunjukan drama, pasangan calon tentu sangat sadar diri mereka sedang ditonton. Maka, mereka pun mencari sutradara andal, pemain pembantu yang mumpuni, dan figuran yang membantu suksesnya pertunjukan. Pilihan bentuk pertunjukan pun beda.
Ada yang memilih pertunjukan kolosal dengan banyak pemain. Ada yang memilih drama mini kata: pemainnya sedikit, dialognya tak banyak, namun menampilkan banyak simbol (baca: misteri) agar penonton bisa terkesan dan terus bertanya-tanya.
Yang ditunjukkan oleh pasangan Ahok-Jarot bersama Megawati dan tokoh-tokoh PDI Perjuangan di Jakarta adalah pertunjukan drama dengan mengandalkan kata-kata sebagai daya tarik. Terjadi banyak monolog dan dialog dengan diksi atau pilihan kata-kata yang dipersiapkan dengan matang oleh para pemainnya.
Pilihan menampilkan kata-kata (bukan pengerahan massa) saat mendaftar di KPU memang pilihan tepat. Banyak kisah yang harus didedahkan dengan kata-kata. Misalnya, yang paling ditunggu, kisah bagaimana tiba-tiba Megawati akhirnya memilih Ahok padahal sebelumnya Ahok terkesan dicueki.
Kata-kata Megawati ditunggu. Kata-kata Ahok tentu juga ditunggu. Kata-kata sejumlah tokoh PDI Perjuangan yang sebelumnya berseberangan dengan Ahok juga ditunggu.
Jika hanya kata-kata yang ditunggu penonton, kenapa harus mengerahkan massa? Di situlah Ahok dengan cerdik mengeluarkan himbauan agar para pendukungnya tak perlu beramai-ramai mengantarnya ke KPU. Kata-kata himbauan itu adalah kata-kata dari “naskah” drama yang sudah diperhitungkan.
PASS dengan Drama Kolosal
Di Buleleng, pasangan Putu Agus Suradnyana-Nyoman Sutjidra (PASS), memilih untuk mempertunjukkan drama kolosal. dengan jumlah pemain, baik aktor utama maupun pemain figuran, dengan jumlah melimpah. Bahkan, agar kesan kolosal lebih mantap, pertunjukan itu juga diisi permainan dari grup musik lokal yang terkenal.
Pasangan Suradnyana-Sutjidra bersama petinggi PDI Perjuangan Bali dan Buleleng dan massa pendukung berkumpul di Gedung Kesenian. Permainan musik digelar, massa bergembira. Setelah itu, massa berjalan kaki dengan diiringi gamelan balaganjur dari Gedung Kesenian ke KPU untuk mendaftar.
Selayaknya drama kolosal yang hanya mengandalkan jumlah pemain, pertunjukan tentu lebih banyak mengandalkan komposisi gerak ketimbang monolog dan dialog. Pemain yang melimpah itu diatur blokingnya agar jumlah yang mengesankan itu tampak menggetarkan hati penonton. Berita-berita di media massa pun tampaknya lebih banyak menggunakan lead tentang jumlah yang mengesankan. Ribuan massa, atau puluhan ribu massa…
Pilihan PASS untuk menghadirkan drama kolosal memang pilihan pas. Tidak ada “kata-kata” yang ditunggu penonton. Proses penetapan pasangan incumbent itu sebagai calon kepala daerah untuk keduakalinya di Buleleng nyaris tak memiliki kisah rumit dan menarik. Semuanya berjalan mulus. Tak ada lagi kisah yang perlu disampaikan lewat kata-kata.
Jika kemudian kata-kata harus disampaikan saat prosesi pendaftaran PASS itu, misalnya dalam bentuk sambutan, kata-kata yang keluar akan jatuh sebagai kata-kata normatif, dan terkesan pengulangan dari kata-kata yang pernah diucapkan sebelumnya. Penonton tak perlu kata-kata, karena tak ada pertanyaan lagi untuk dijawab dengan kata-kata. Maka “jawaban” yang disampaikan adalah pertunjukan jumlah dukungan yang tetap besar.
Wartawan pun, sebagai pihak yang akan mementaskan kembali drama itu di panggung mereka, seakan tak punya pertanyaan untuk memancing kata-kata jawaban. Berbeda dengan drama pencalonan Ahok, di mana wartawan membutuhkan banyak kata-kata sebagai jawaban dari drama politik penuh liku dan jebakan itu.
Kalau pun ada pertanyaan untuk PASS, paling pertanyaan masih berputar soal sikap partai terhadap Dewa Sukrawan (kader PDI Perjuangan yang mencalonkan diri lewat jalur perseorangan). Jika pertanyaan itu dijawab panjang-lebar apalagi dengan penuh semangat, tentu panggung itu akan berubah menjadi panggung Dewa Sukrawan.
SURYA Memainkan Misteri
Meski sebelumnya beredar berita bahwa pasangan Dewa Sukrawan-Dharma Wijaya (SURYA) akan diantar oleh ribuan massa saat mendaftar ke KPU Buleleng, namun kenyataannya pada 23 September 2016 ini SURYA diantar sedikit orang.
Di sini, pertunjukan yang dimainkan paket SURYA adalah pertunjukan drama mini kata dengan mengandalkan simbol-simbol. Yang “dijual” dalam pertunjukan itu adalah sejumlah misteri yang terus menjadi pertanyaan penonton. Misteri itu bahkan tetap menjadi misteri kembali karena dijawab dengan mini kata dan simbol-simbol.
Misteri itu misalnya benarkah Koalisi Bali Mandara (KBM) yang dimotori Partai Golkar dan Demokrat mendukung paket SURYA? Mampukah SURYA memenuhi kekurangan KTP dukungan agar bisa memenuhi syarat untuk lolos sebagai calon perseorangan, yakni mencapai paling tidak 43.000 KTP?
Misteri yang cukup bisa “dijual” bahkan jauh-jauh hari sebelum pendaftaran adalah keberadaannya sebagai kader PDI Perjuangan? Bagaimana sikap pengurus partai besar itu, bagaimana pula sikap teman-temannya sesama kader PDI Perjuangan di Buleleng? Belum lagi pertanyaan tentang bagaimana sikapnya jika dipecat dari PDI Perjuangan.
Jawaban-jawaban dari misteri itu cukup membuat drama yang dimainkan SURYA menjadi menarik pada saat mendaftar ke KPU. Paket itu tak perlu mengerahkan massa, karena tak akan mempengaruhi perhatian penonton, karena toh yang menjadi perhatian adalah pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menjadi misteri.
Untuk menjawab misteri itu, SURYA cukup hanya memasukkan simbol-simbol dalam pertunjukannya. Jika banyak orang sangsi terhadap dukungan KBM, pada saat pendaftaran di KPU penonton paket SURYA memperlihatkan seorang atau sejumlah tokoh Partai Demokrat dan Partai Golkar.
Jika banyak orang bertanya soal kemampuannya memenuhi syarat dukungan KTP, dia cukup tersenyum dan memasang wajah santai dengan ekspresi tidak cemas sama sekali. Cukup menjawab dengan mini kata, misalnya “tunggu saja nanti,” atau “itu rahasia”.
Kalau boleh menduga, paket SURYA mungkin memang sengaja menciptakan banyak misteri dan rahasia agar kisahnya tak mudah diputarbalikkan oleh lawan.
Soal jumlah dukungan KTP misalnya, bisa saja SURYA sengaja menyetor KTP dengan jumlah pas-pasan pada tahap awal, sampai akhirnya KPU meminta tambahan lagi karena ada yang gagal verifikasi. Tujuannya, tentu membuat penonton terus bertahan mengikuti dramanya sampai akhir. (T)